Jumat, 22 Mei 2015

Bangkit Menjalankan Amanat Konstitusi

Bangkit Menjalankan Amanat Konstitusi

Alek Karci Kurniawan  ;   Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi FH Unand
HALUAN, 22 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pasca kunjungan ke Malaysia, Brunei, dan Filipina, Jokowi mengalami kemasygulan. Pengalaman paling pahit ketika berkunjung ke negeri Jiran, Malaysia (6/2/2015). Beliau menerima la­poran bah­wa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sana se­banyak 2,3 juta orang dan 50 persen di anta­ranya berstatus ‘ilegal’.

Besarnya jumlah TKI ile­gal di Malaysia itulah yang membuat Jokowi bersusah hati. Mengapa sejumlah besar warga negara Indonesia nekat bekerja di mancanegara tanpa dokumen resmi? Bukankah itu melanggar undang-undang, dan pastinya berisiko tinggi.

Sponsor (Pelaksana pe­nempatan TKI swasta) atau orang yang menjanjikan peker­jaan dapat saja melarikan uang yang disetor oleh calon TKI. Tidak adanya jaminan per­lindungan di negara pe­nem­patan. Rentan diper­la­ku­kan tidak manusiawi, mulai da­ri penampungan sampai su­dah di luar negeri. Menerima ga­ji sangat rendah bahkan ada yang tidak dibayar. Was-was dan khawatir ditangkap oleh apa­rat keamanan negara se­tem­pat, lalu dipenjara dan deportasi (dipulangkan pak­sa).

Tidak adanya jaminan asu­ransi jika mengalami sakit, musibah, kecela­ka­­an dan ke­matian. Bahkan, fakta terbaru dari catatan Badan Nasional Pe­nem­patan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) ada 229 WNI terancam hukuman mati. Sung­­guh, kompleks per­ma­salahan yang bakal dialami oleh TKI ilegal.

Menelisik kenyataan ini tentu punya musababnya sen­diri. Tak bisa dinafikan, dengan terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri sehingga membuat orang berbondong-bondong mencari lapangan pekerjaan di luar negeri, yang juga diyakini mampu mem­berikan jaminan hidup yang lebih baik.

Sebagaimana BNP2TKI juga mencatat remitansi TKI (kiriman uang dari hasil beker­janya di luar negeri yang di­kirim ke tanah air) terhitung dari bulan Januari sampai September 2014 mencapai Rp 77,47 Triliun. Namun iro­nisnya, besarnya remitansi itu kurang diimbangi dengan per­hatian terhadap TKI.

Pemulangan massal TKI ilegal (sekitar 1.800 orang) dari Malaysia kali ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita, terutama bagi calo tenaga kerja, TKI sendiri, dan pemerintah. Harus diinsafi bersama, ketika “jalan gelap” men­jadi TKI ilegal dipilih, se­be­narnya kita telah mem­per­taruhkan dua hal be­sar se­ka­ligus. Yaitu mem­per­ta­ruh­kan nasib dan ke­sela­matan TKI ilegal sen­diri, dan pada saat yang sama mem­per­taruh­kan martabat bangsa.

Untuk kita direnungkan, apakah dua hal besar itu rela “dibarterkan” begitu saja de­ngan devisa? Jika “tidak”, maka, pertama, praktik calo tenaga kerja yang ikut mem­bidani lahirnya TKI ilegal harus diakhiri. Kedua, pem­berian sanksi kepada calo dalam rangka “membasmi” praktik percaloan perlu jadi agenda bersama.

Ketiga, menerapkan me­ka­nisme satu pintu sebagai upaya selektif penyeleksian pe­ru­sahaan pengerah TKI yang kredibel sebagai pe­ngi­rim. Keempat, calon TKI hen­dak­nya lebih berhati-hati da­lam memilih perantara tenaga ker­ja. Kelima, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi pada masyarakat soal prosedur yang benar bekerja di luar negeri dan bahaya praktik calo TKI.

Penghentian “pentas dra­ma” TKI ilegal tak boleh ditunda lagi agar tidak melahirkan babak berikut. Semua itu hanya mungkin terjadi jika seluruh “pemeran utama” mau menyadari, upaya me­ngais rezeki seharusnya seiring dengan upaya menjaga mar­tabat bangsa.

Perlu diinsafi bersama, se­ba­gaimana Noam Chomsky (2006) merumuskan dalam Fai­led States: The Abuse of Po­wer and the Assault on Demo­cracy, setidaknya ada dua ka­rak­­ter utama atau dua ka­tegori yang membuat negara tertentu da­­pat disebut sebagai ne­gara ga­gal. Salah satunya ada­­lah ne­gara yang tidak me­mi­liki kema­uan atau ke­mam­puan melin­du­ngi warga negara dari berbagai bentuk keke­ra­san, dan bah­­kan kehancuran. Ne­gara yang tidak dapat men­ja­min hak­-hak warga ne­ga­ra­nya, baik di tanah air sendiri ma­upun di lu­ar negeri, dan ti­dak pula mam­pu mene­gak­kan ser­ta mem­­pertahankan ber­fung­si­nya institusi-institusi de­mo­kra­si. Dalam konteks hukum in­ter­nasional Presiden Jokowi layaknya segera meratifikasi Domestic Workers Convention No. 189, yang mana Inter­national Labour Organization (ILO) telah memfasilitasi  adanya perjanjian internasional tentang Pekerjaan Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini layak dilakukan agar proses perlindungan pekerja rumah tangga Indonesia baik di dalam dan diluar negeri dapat lebih dilindungi.

Ratifikasi itu akan mem­berikan dampak yang sig­nifi­kan dalam rangka perlindungan PRT, termasuk pekerja migran Indonesia di sektor domestik. Misalnya, konvensi itu mengamanatkan adanya upah minimum, jam kerja, libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja migran. Bah­kan, Domestic Workers Con­vention No. 189 juga memberi landasan bagi pemerintah un­tuk melakukan inspeksi ke lokasi kerja PRT.

Presiden tentu tidak boleh lupa, salah satu janji kam­panyenya pada Pilpres 2014 lalu, yaitu menghadirkan kem­bali negara untuk me­lindungi segenap bangsa dan mem­berikan rasa aman pada se­luruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif (Lihat Nawacita Jokowi poin pertama). Tanpa gerak cepat dan tindakan nyata di la­pa­ngan, itu tidak akan tuntas.

Seyogianya, Hari Ke­bang­­­ki­­tan Nasional (2/5) jadilah re­flek­si bagi kita. Akankah hanya di­­jadikan seremonial belaka atau kita bangkitkan apresiasi ter­­­hadap jasa para ‘pahlawan de­­visa’ kita ini. Marilah kita mak­nai pe­ri­nga­tan Hari ke­bang­kitan Na­si­onal, un­tuk se­lan­jutnya negeri ini harus bang­kit demi men­jalankan ama­nat konstitusi; melindungi se­genap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar