Petani, Bulog, dan Inpres Perberasan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
|
KORAN
TEMPO, 31 Maret 2015
Presiden
Jokowi menepati janjinya. Pada 17 Maret lalu, ia mengeluarkan Inpres Nomor
5/2015, menggantikan Inpres Nomor 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Substansi isi tidak
berbeda. Inpres ditujukan kepada menteri terkait (delapan kementerian) dan
para gubernur/bupati/wali kota guna mengatur koordinasi dan pelaksanaan di
setiap kementerian terkait dengan kebijakan perberasan nasional.
Inpres Nomor
5/2015 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil
pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi
dan evaluasi. Yang tak diatur adalah pola pembiayaan dan siapa yang
bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di
petani Rp 3.700 per kilogram (sebelumnya Rp 3.300 per kilogram), gabah kering
giling di gudang Bulog Rp 4.650 per kilogram (sebelumnya Rp 4.200 per
kilogram) dan beras di gudang Bulog Rp 7.300 per kilogram (sebelumnya Rp
6.600 per kilogram). Rata-rata naik 11 persen.
Inpres ini
ditunggu-tunggu oleh banyak pihak: petani, pedagang pengumpul, pemilik
penggilingan padi, dan Bulog. Bagi petani, Inpres Perberasan penting guna
mendorong peningkatan produksi padi. Karena itu, Presiden Soeharto biasa
mengeluarkan Inpres pada Oktober atau menjelang tanam agar petani terangsang
berproduksi. Dengan adanya patokan harga gabah/beras baru, petani bisa
mengkalkulasikan untung-rugi. Tujuannya jelas. Namun, setelah Reformasi,
tidak ada pola tetap. Bahkan Inpres sering dikeluarkan pada Januari-Februari,
yang fungsinya hanya sebagai patokan harga di pasar. Tak lebih, tak kurang.
Pedagang
pengumpul dan pemilik penggilingan padi berkepentingan karena dari Inpres
itulah mereka mengais untung. Dalam Inpres biasanya dicantumkan pengadaan
beras untuk keluarga miskin (raskin). Dalam setahun, jumlah raskin kira-kira
3 juta ton. Para pedagang dan pemilik penggilingan akan berlomba-lomba
memburu gabah sehingga harga terangkat signifikan. Mereka akan bertanya-tanya
kalau tak ada raskin. Mereka tak bergairah jika pengadaan beras hanya untuk
cadangan pemerintah, yang cuma 0,35 juta ton.
Bagi Bulog,
Inpres Perberasan penting karena bakal menjadi pedoman pembelian gabah/beras.
Apabila ada raskin, pengadaan Bulog dalam setahun minimal 3 juta ton setara
beras. Apabila ditambah dengan cadangan beras pemerintah, pengadaan Bulog
paling tidak harus 3,5 juta ton setara beras. Jika pengadaan kurang dari itu,
pasar mudah sekali "panas" karena cadangan kurang memadai. Apalagi
bila dalam waktu berjalan terjadi banyak bencana yang menguras cadangan beras
pemerintah dan raskin diberikan lebih dari 12 kali. Ujung semua itu membuat
cadangan menipis, dan pasar mudah sekali memanas.
Inpres
Perberasan yang baru amat penting bagi Bulog karena tiga hal. Pertama, Inpres
Perberasan Nomor 3/2012 tidak memadai lagi untuk dijadikan landasan
operasional di lapangan. HPP gabah dan beras yang ditetapkan di Inpres itu
sudah jauh di bawah harga pasar. Tanpa perubahan HPP gabah/beras, Bulog akan
kesulitan membeli gabah/beras. HPP merupakan instrumen pokok bagi Bulog untuk
menambah persediaan beras. Saat ini cadangan beras di Bulog tinggal 1,2 juta
ton, hanya cukup untuk 4-5 bulan kebutuhan raskin.
Kedua, panen
raya merupakan momentum tepat bagi Bulog untuk melakukan pembelian
gabah/beras secara besar-besaran. Apabila momentum panen raya terlewatkan,
peluang Bulog untuk memperbesar cadangan lewat pembelian dalam negeri bakal
menguap. Memang pengadaan masih mungkin dilakukan saat panen gadu. Namun,
selain harga gabah/beras mahal, saat itu volume panen kecil. Melewatkan
pengadaan saat panen raya sama saja dengan melegalisasi impor beras. Tentu
ini tidak kita kehendaki bersama.
Masa tanam
padi yang serentak telah menghasilkan irama panen yang ajek, hampir tidak
mengalami perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei
dengan 60-65 persen dari total produksi padi nasional), panen gadu
(Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik
(Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama
panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik pada musim gadu
(Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Maret
sampai Juni mendatang merupakan musim panen raya, saat yang tepat untuk
menyerap gabah/beras.
Ketiga,
sesuai dengan hukum supply-demand,
karena pasokan melimpah sedangkan permintaan tetap, harga gabah/beras
cenderung tertekan rendah saat panen raya. Pada saat itulah Bulog perlu turun
tangan membantu petani. Dengan menyerap surplus produksi petani, Bulog akan
menjadi aktor penting sebagai penyeimbang supply-demand.
Kehadiran Bulog merupakan pengejawantahan dari "kehadiran negara"
seperti amanat suci konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar