Rabu, 01 April 2015

Akhir Kubu Agung vs Ical

Akhir Kubu Agung vs Ical

FS Swantoro  ;  Peneliti dari PARA Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SETELAH 4 bulan bergejolak, konflik internal Partai Golkar akhirnya mendekati titik akhir. Konflik antara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie memang belum berakhir tapi sudah ada kepastian siapa yang berhak memimpin Partai Beringin. Pemerintah lewat Menkumham Yasonna Laoly telah memutuskan mengakui kubu Agung hasil Munas Ancol sebagai pengurus sah Golkar.

Menurut Yasonna, pengakuan itu mendasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) sebagai instrumen yang oleh undang-undang diberi wewenang menyelesaikan konflik internal, yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Dalam amar putusan sidang MPG, Andi Mattalatta dan Djasri Marin memutuskan hasil Munas Ancol sebagai pimpinan sah Golkar.

Sebaliknya, Muladi dan Natabaya tidak menganggap sah Munas Ancol yang digagas Agung dan kembali mengukuhkan Ical sebagai ketua umum Partai Golkar hasil Munas Bali. Meski pendapat keempat hakim itu tidak bulat, tidak berlebihan bila kini kubu Agung merasa di atas angin.

Siapa pun maklum kubu Ical berusaha mati-matian menolak keputusan Kemenkumham. Adapun kubu Agung bergerak cepat menggalang dukungan dari partai pendukung pemerintah, antara lain dengan  menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PKPI Sutiyoso, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, dan pimpinan PKB.

Yang menarik kunjungan Agung dan kawan-kawan ke PDIP, diterima langsung oleh Megawati. Penerimaan Megawati itu menyiratkan dukungan partai utama pendukung pemerintah sekaligus mengindikasikan betapa penting dukungan kekuatan politik terhadap pemerintah Joko Widodo.

Kini kubu Agung telah mencabut keberadaan Partai Golkar di Koalisi Merah Putih (KMP) dan ingin bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), serta mengganti pimpinan Fraksi Partai Golkar di DPR. Keputusan itu akan memperkukuh dan menguntungkan pemerintahan Jokowi sehingga program pemerintah dalam kemandirian pangan dan energi bisa berjalan.

Selain itu mencuat kabar Menkumham meminta Presiden menerbitkan perpres menetapkan kepengurusan hasil Munas Ancol. Rencana itu banyak menimbulkan reaksi dan ditanggapi kuasa hukum kubu Ical, Yusril Ihza Mahendra yang berpendapat itu mustahil bisa dilakukan. Pasalnya, kewenangan mengesahkan partai ada pada Menkumham, bukan Presiden.

Kasus yang sama pernah muncul dalam konflik PKB antara kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar. Dalam konteks ini, Kemenkumhamlah yang harus menerbitkan keputusan menteri (kepmen), bukan peraturan menteri perihal pencatatan pengurus partai ataupun perpres.

Konflik Terburuk

Konflik internal Golkar sekarang ini merupakan yang terburuk karena memunculkan dua kubu kepemimpinan hasil dua munas yang berbeda. Teori elite dari Gaetano Mosca menekankan karakteristik sosiologis dan kelas penguasa (the ruling class), yang dalam tubuh Golkar terdiri atas elite dan subelite di bawah kepemimpinan Ical. Mereka merasa memiliki superioritas intelektual, material, dan pengaruh kuat pada elite Golkar di daerah.

Adapun kubu Agung yang secara kuantitas pendukungnya lebih kecil merasa memiliki legalitas hukum karena keberadaannya diputuskan dua dari empat hakim MPG dan diakui pemerintah meski disarankan kepengurusannya mengakomodasi kubu Ical, seperti pesan Presiden.

Meminjam pemikiran Ikrar Nusa Bhakti (2015), bila mendekati dari aspek psikologi dan superioritas para elite, para pendukung Ical masih merasa sebagai the governing elite yang berhadapan dengan non-governing elite. Mereka sulit menerima realitas bahwa sirkulasi elite atau penguasa Golkar bisa berganti tiap saat. Elite dan subelite pendukung Ical sulit menerima kenyataan bahwa posisi politik mereka dapat berubah dari posisi elite (penguasa) menjadi kelas yang tidak berkuasa.

Kini Golkar sedang mengalami kegamangan politik dari the ruling party menjadi partai penyeimbang atau oposisi. Gaya berpolitik parlementer muncul saat mereka berupaya mendapatkan dukungan teman sekoalisi di KMP melalui upaya pengajuan hak angket terhadap Yasonna Laoly. Padahal sistem presidensial yang kita anut, tidak mengenal hak angket terhadap menteri yang pembantu presiden.

Kelompok Ical berkata benar bahwa tak boleh ada intervensi pemerintah terhadap partai dalam era reformasi, sebagaimana dulu dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP dan PDI. Namun intervensi politik tak bakal terjadi bila semua elite Golkar dapat menyelesaikan konflik internalnya secara dewasa dan elegan.

Ini ujian terberat bagi Golkar apakah pelembagaan politik dan demokrasi internal sudah merasuk ke dalam diri elite,  atau Golkar hanya jadi partai paria yang legitimasi kepemimpinannya selalu bergantung penguasa. Itu menjadi PR terberat bagi kubu Agung ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar