Akhir Kubu Agung vs Ical
FS Swantoro ; Peneliti dari PARA Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 28 Maret 2015
SETELAH 4
bulan bergejolak, konflik internal Partai Golkar akhirnya mendekati titik
akhir. Konflik antara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie memang
belum berakhir tapi sudah ada kepastian siapa yang berhak memimpin Partai
Beringin. Pemerintah lewat Menkumham Yasonna Laoly telah memutuskan mengakui
kubu Agung hasil Munas Ancol sebagai pengurus sah Golkar.
Menurut
Yasonna, pengakuan itu mendasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG)
sebagai instrumen yang oleh undang-undang diberi wewenang menyelesaikan
konflik internal, yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Dalam amar
putusan sidang MPG, Andi Mattalatta dan Djasri Marin memutuskan hasil Munas
Ancol sebagai pimpinan sah Golkar.
Sebaliknya,
Muladi dan Natabaya tidak menganggap sah Munas Ancol yang digagas Agung dan
kembali mengukuhkan Ical sebagai ketua umum Partai Golkar hasil Munas Bali.
Meski pendapat keempat hakim itu tidak bulat, tidak berlebihan bila kini kubu
Agung merasa di atas angin.
Siapa pun
maklum kubu Ical berusaha mati-matian menolak keputusan Kemenkumham. Adapun
kubu Agung bergerak cepat menggalang dukungan dari partai pendukung
pemerintah, antara lain dengan
menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, Ketua Umum PDIP,
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PKPI Sutiyoso, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto,
dan pimpinan PKB.
Yang menarik kunjungan
Agung dan kawan-kawan ke PDIP, diterima langsung oleh Megawati. Penerimaan
Megawati itu menyiratkan dukungan partai utama pendukung pemerintah sekaligus
mengindikasikan betapa penting dukungan kekuatan politik terhadap pemerintah
Joko Widodo.
Kini kubu
Agung telah mencabut keberadaan Partai Golkar di Koalisi Merah Putih (KMP)
dan ingin bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), serta mengganti
pimpinan Fraksi Partai Golkar di DPR. Keputusan itu akan memperkukuh dan
menguntungkan pemerintahan Jokowi sehingga program pemerintah dalam
kemandirian pangan dan energi bisa berjalan.
Selain itu
mencuat kabar Menkumham meminta Presiden menerbitkan perpres menetapkan
kepengurusan hasil Munas Ancol. Rencana itu banyak menimbulkan reaksi dan
ditanggapi kuasa hukum kubu Ical, Yusril Ihza Mahendra yang berpendapat itu
mustahil bisa dilakukan. Pasalnya, kewenangan mengesahkan partai ada pada
Menkumham, bukan Presiden.
Kasus yang
sama pernah muncul dalam konflik PKB antara kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin
Iskandar. Dalam konteks ini, Kemenkumhamlah yang harus menerbitkan keputusan
menteri (kepmen), bukan peraturan menteri perihal pencatatan pengurus partai
ataupun perpres.
Konflik Terburuk
Konflik
internal Golkar sekarang ini merupakan yang terburuk karena memunculkan dua
kubu kepemimpinan hasil dua munas yang berbeda. Teori elite dari Gaetano
Mosca menekankan karakteristik sosiologis dan kelas penguasa (the ruling class), yang dalam tubuh Golkar
terdiri atas elite dan subelite di bawah kepemimpinan Ical. Mereka merasa
memiliki superioritas intelektual, material, dan pengaruh kuat pada elite
Golkar di daerah.
Adapun kubu
Agung yang secara kuantitas pendukungnya lebih kecil merasa memiliki legalitas
hukum karena keberadaannya diputuskan dua dari empat hakim MPG dan diakui
pemerintah meski disarankan kepengurusannya mengakomodasi kubu Ical, seperti
pesan Presiden.
Meminjam
pemikiran Ikrar Nusa Bhakti (2015), bila mendekati dari aspek psikologi dan
superioritas para elite, para pendukung Ical masih merasa sebagai the governing elite yang berhadapan
dengan non-governing elite. Mereka
sulit menerima realitas bahwa sirkulasi elite atau penguasa Golkar bisa
berganti tiap saat. Elite dan subelite pendukung Ical sulit menerima
kenyataan bahwa posisi politik mereka dapat berubah dari posisi elite
(penguasa) menjadi kelas yang tidak berkuasa.
Kini Golkar
sedang mengalami kegamangan politik dari the ruling party menjadi partai
penyeimbang atau oposisi. Gaya berpolitik parlementer muncul saat mereka
berupaya mendapatkan dukungan teman sekoalisi di KMP melalui upaya pengajuan
hak angket terhadap Yasonna Laoly. Padahal sistem presidensial yang kita
anut, tidak mengenal hak angket terhadap menteri yang pembantu presiden.
Kelompok Ical
berkata benar bahwa tak boleh ada intervensi pemerintah terhadap partai dalam
era reformasi, sebagaimana dulu dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP
dan PDI. Namun intervensi politik tak bakal terjadi bila semua elite Golkar
dapat menyelesaikan konflik internalnya secara dewasa dan elegan.
Ini ujian
terberat bagi Golkar apakah pelembagaan politik dan demokrasi internal sudah
merasuk ke dalam diri elite, atau
Golkar hanya jadi partai paria yang legitimasi kepemimpinannya selalu
bergantung penguasa. Itu menjadi PR terberat bagi kubu Agung ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar