Kamis, 06 Mei 2021

 

Uighur dalam Politik Global

Smith Alhadar ;  Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

KOMPAS, 5 Mei 2021

 

 

                                                           

Selain Rohingya, muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China, adalah etnis yang paling mengalami persekusi di dunia. Baru-baru ini AS, UE, dan Inggris menyatakannya sebagai genosida. Diamnya Dunia Islam terhadap penghilangan identitas religius Uighur oleh rezim China hanya menggambarkan betapa besar pengaruh China terhadap negara-negara Islam.

 

Karena itu, Presiden AS Joe Biden berniat memobilisasi Dunia Islam untuk juga menjatuhkan sanksi atas China. AS, Kanada, Inggris, dan UE, telah memboikot ekspor kapas China yang datang dari Xinjiang. Mereka juga telah menghukum empat pejabat China yang dituduh sebagai arsitek penindasan atas Uighur.

 

Sikap keras 40 negara maju terhadap China tak lepas dari nilai-nilai luhur hak asasi manusia yang mereka yakini telah dilanggar secara vulgar oleh Beijing. Tetapi sebagian dari mereka, khususnya AS, isu Uighur juga dijadikan pintu masuk bagi upaya menghambat perkembangan China. Apalagi belakangan ini Beijing kian asertif dan agresif di Laut China Selatan, Hongkong, dan Taiwan.

 

Kalau dibiarkan akan memberi pesan yang keliru kepada China dan merusak tatanan internasional. Model China, negara totaliter tetapi menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, ditakutkan akan melemahkan promosi sistem negara demokrasi di dunia.

 

Terkait situasi HAM di Xinjiang, Ketua Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mendesak Beijing memberi akses pada Pengawas HAM PBB untuk masuk ke Xinjiang untuk menginvestigasi situasi di sana.

 

Sebenarnya kegelisahan 11 juta etnis Uighur di Xinjiang – orang Uighur menyebutnya Turkistan Timur – sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-18 ketika Dinasti Qing menduduki provinsi terbesar di Cina itu menyusul pemindahan etnis Han – etnis mayoritas di China – ke wilayah itu. Tapi pemindahan besar-besaran yang lebih terencana terjadi setelah rezim komunis China di bawah Ketua Mao Zedong berdiri 1949.

 

Dengan maksud mengubah demografi dan menghilangkan identitas Islam di provinsi itu, orang Han dalam jumlah besar masuk hingga ke jantung wilayah Uighur. Kini jumlah etnis Han 70 persen dari total penduduk.

 

Nampaknya, Beijing ingin meng-Han-kan orang Uighur sebagaimana yang terjadi pada etnis Muslim Hui. Memang berbeda dengan Uighur, etnis Hui – yang kebanyakan tinggal di wilayah otonomi Ningxia dan Provinsi Gansu -- telah mengadopsi budaya dan bahasa Han. Penampilan fisiknya pun tak dapat dibedakan dengan orang Cina lainnya. Hanya saja asimiliasi orang Hui yang bernenek moyang orang Arab dengan orang Han terjadi secara alami.

 

Setelah tentara Mongol yang mendirikan Dinasti Yuan di China menghancurkan Baghdad pada pertengahan abad ke-13, ribuan orang Arab dibawa ke China untuk menjadi administrator pada dinasti itu.

 

Orang Hui terkenal dan dihormati karena kepintaran mereka berdagang dan loyalitasnya pada dinasti-dinasti kuno hingga negara modern China saat ini. Salah seorang Hui yang terkenal di Indonesia adalah laksamana Cheng Ho yang melaksanakan perintah Kaisar Chengzu dari Dinasti Ming untuk memimpin armada besar China ke Nusantara pada awal abad ke-15.

 

Orang Uighur, rumpun etnis

 

Orang Uighur, rumpun etnis Turki, masih bertahan di wilayah asli mereka dan mempertahankan budayanya yang jauh berbeda dengan budaya Han. Rezim China menganggap Uighur sebagai orang yang menderita “sakit mental”.

 

Menyusul peristiwa teror 9/11di AS, China memanfaatkan perang terhadap teror itu dengan program pembersihan identitas etnis. Imbauan Bachelet di atas muncul setelah dilaporkan bahwa Uighur menghadapi penahanan sepihak, pembatasan ibadah, dan indoktrinasi politik paksa dalam pengawasan yang dilakukan secara massif.

 

Pada Agustus 2018, Panel HAM PBB mengatakan, mereka menerima laporan yang kredibel bahwa sekitar satu juta orang Uighur ditahan dalam penahanan ekstra legal di Xinjiang, dan memintanya untuk dibebaskan.

 

Penahanan di kamp konsentrasi oleh rezim China memang menggetarkan. Paling tidak setiap satu dari 11 orang Uighur hilang ke dalam kamp-kamp konsentrasi. Angka itu bahkan lebih menggetarkan bagi mereka yang memiliki keluarga atau teman yang dikurung hanya karena mempraktekkan ajaran Islam di wilayah di mana agama ini diasosiasikan dengan subversi, separatisme, dan terorisme.

 

Memang sejak dulu Uighur mengangkat senjata melawan Beijing. Pada 1933 dan 1944 mereka berhasil mendirikan Republik Turkistan Timur Pertama sebelum dihancurkan pada 1934. Republik Turkistan Timur Kedua berdiri dari 1944 sampai 1949. Pada saat ini ada tiga organisasi Uighur yang terus berjuang untuk kemerdekaan: Gerakan Islam Turkistan Timur, Organisasi Pembebasan Turkistan Timur, dan Gerakan Kemerdekaan Turkistan Timur.

 

Ancaman terhadap penahanan di kamp konsentrasi adalah ketakutan yang melayang-layang di atas Xinjiang. Memang ketakutan akan penahanan telah menjadi fakta kehidupan sehari-hari. Dan ketakutan adalah senjata yang digunakan China untuk mencegah dan mengintimidasi Uighur agar tidak menjalankan perintah agama mereka, yang dilakukan dengan cara menyebarkan polisi dalam jumlah besar dalam komunitas Uighur, menyadap tetangga, kawan sekolah, dan teman sejawat untuk bekerja sebagai pengumpul data dan mata-mata, serta yang paling jahat adalah mewakilkan anak-anak Uighur untuk mengawasi dan menjerumuskan orangtua mereka sendiri.

 

Sementara otoritas China di Xinjiang telah mendaftarkan secara virtual setiap orang di dalam komunitas Uighur untuk ambil bagian dalam program persekusi terhadap Uighur.

 

Apakah kecaman dan sanksi dari Pengawas HAM PBB, AS, dan sekutunya dapat mengubah kebijakan China? Tidak juga. Pasalnya, kecaman dan sanksi itu nyaris tidak berdampak apa-apa terhadap China, anggota tetap DK PBB dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.

 

China hanya akan mendengar kalau Dunia Islam menekannya. Toh, China sangat bergantung pada pasokan energi dari Dunia Islam. Sayangnya, Iran dan Arab Saudi, pemasok energi terbesar kepada China, justru membangun hubungan yang kian erat dengan rezim komunis itu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar