Kamis, 06 Mei 2021

 

India di Kubangan Kurusetra

Putu Fajar Arcana ;  Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 5 Mei 2021

 

 

                                                           

Astinapura sedang berada di tubir penderitaan. Perang besar sesama saudara yang terjadi sekitar 3000 tahun SM di Kurusetra, niscaya akan menghancurkan silsilah keluarga Bharata. Tak ada yang benar-benar selamat dari perang, apa pun dalihnya. Sore hari saat matahari mendekati cakrawala, angin menerbangkan bau amis sampai ke tenda-tenda yang koyak oleh senjata. Di sana-sini darah menggenang serta tubuh-tubuh tergeletak penuh luka. Tak ada penguburan yang layak bagi para ksatria yang bertempur habis-habisan atas nama membela negara.Seluruh wilayah kerajaan tampak berangsur tenang, tetapi darah telanjur mengalir di seluruh negeri.

 

Seratus Korawa telah musnah dengan sempurna. Keangkaramurkaan, konon, telah sirna di muka bumi, terbenam bersama sifat-sifat buruk para raksasa. Kau tahu, Kurusetra kini jadi saksi bisu kehancuran sebuah peradaban yang telah dibangun selama berabad-abad. Dan kehancuran selalu memicu penderitaan yang menyayat-nyayat hati seluruh pelakunya. Astinapura telah jatuh ke lembah terdalam dari kubangan kenestapaan.

 

Pandawa memang memenangi perang Bharatayudha. Kelima saudara sekandung Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa, selamat dari amukan peperangan. Tetapi, apakah artinya Astinapura setelah kehilangan banyak anak dan cucu, banyak saudara dan kerabat? Seluruh wilayah kerajaan tampak berangsur tenang, tetapi darah telanjur mengalir di seluruh negeri.

 

Darah yang tumpah harus ditebus dengan darah. Begitu bunyi hukum peperangan di Kurusetra. Kematian Gatotkaca di tangan pamannya sendiri, Karna, membuat Arjuna geram, lalu menantang saudara tirinya itu untuk perang tanding. Kehilangan Abimanyu yang dikeroyok oleh seluruh Korawa membuat Bima serta para Pandawa geram, dan ingin membalaskan dendam itu dengan darah. Begitulah selalu hukum perang, sampai kedua belah pihak benar-benar binasa.

 

Kurusetra, wilayah yang berada di India Utara itu atau lebih dikenal dengan sebutan Uttara Kuru, sampai kini menjadi saksi sebuah perang besar.  Puing-puing perang saudara selama 18 hari, yang mengorbankan jutaan ksatria dan rakyat jelata itu, hari-hari ini bergolak kembali. Wilayah di hulu Sungai Gangga dan Sungai Saraswati itu kini sedang ”diserang” pandemi, sosok raksasa sakti mandraguna. Bukan hanya ksatria, tetapi terutama rakyat jelata tak luput menjadi korban.

 

Hampir seluruh rumah sakit di ibu kota India, New Delhi dan kota padat, seperti Mumbai, tak berdaya menghadapi ledakan kasus infeksi Covid-19. Dalam sehari pemerintah melaporkan terdapat lebih dari 400.000 kasus baru dari seluruh negeri. New Delhi yang selama  ini dikenal memiliki layanan kesehatan baik harus lintang-pukang menghadapi serangan pandemi.

 

Laman Worldometers melaporkan, India kini menjadi ”penyumbang” kedua terbesar kasus-kasus Covid-19 di dunia. Setidaknya, di negara itu tercatat lebih dari 19 juta kasus infeksi Covid-19 dan sudah lebih dari 200.000 orang meninggal dunia. Memang kasus tertinggi sampai saat ini terjadi di Amerika Serikat dengan sekitar 33 juta kasus dan dinyatakan meninggal lebih dari 500.000 orang, tetapi India sedang mengalami shock berat.

 

Setiap hari televisi dan kanal-kanal media sosial menayangkan, rakyat yang tak berdaya mengakses rumah sakit. Tabung oksigen yang jadi harapan pertolongan pertama pada kesesakan dada para penderita nyaris tak tersedia. Astaga, tabung-tabung penyambung napas itu justru jatuh ke tangan para calo, yang tega mencari keuntungan di tengah penderitaan.

 

Tragisnya, bahkan hanya untuk mendapatkan tempat tidur yang layak agar bisa merawat sanak-saudara pun tidak tersedia di seluruh rumah sakit. Rakyat kemudian ”berinisiatif” menggunakan mobil-mobil yang diparkir untuk merawat orangtua dan keluarga mereka. Pemandangan lebih horor lagi, seluruh krematorium di New Delhi tak sanggup lagi menampung jenazah yang terus berdatangan. Banyak warga antre selama 24 jam untuk mendapatkan krematorium.

 

Sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadap orangtua dan sanak famili, banyak warga ”membangun” krematorium darurat di jalan-jalan atau tempat parkir. Mereka kemudian menebang pohon-pohon peneduh jalan untuk mengkremasi jasad keluarganya. Sedih saja, seperti kata Putu Wijaya dalam novel Tak Cukup Sedih, mungkin benar-benar sudah tak cukup lagi. Jikalau ada kesedihan paling dalam di hati manusia dan kemudian menumpahkan air mata hingga membentuk anak-anak sungai, hari ini di India-lah tempatnya.

 

Aku ingin mengingatkanmu tentang sebuah nasihat yang dituturkan oleh Krisna di saat-saat Arjuna ragu memasuki medan laga. Di tengah kecamuk perang Bharatayudha, sebagai manusia Arjuna telah mencium amis darah, telah melihat kehancuran dan penderitaan yang bakal menjadi ”tsunami” dalam kehidupan bangsanya. Ia harus berperang dan sudah pasti akan membunuh kakek, paman, saudara tiri, para guru, serta para sepupunya.

 

Apakah itu artinya ia akan menjemput penderitaan?

 

Secara sabar Krisna, antara lain, menerangkan siklus kehidupan sebagaimana kemudian dituangkan dalam kitab bernama Bhagawad Gita (Nyanyian Tuhan).

 

//…Setiap kali keseimbangan alam terkacaukan/dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam/maka Aku menjelma dari masa ke masa/untuk mengendalikan keseimbangan alam/Aku ini bersemayam pula di dalam dirimu/bahkan di dalam diri setiap mahkluk hidup/segala sesuatu yang bergerak maupun tak bergerak//

 

Arjuna bergeming, keraguan tetap menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu apakah harus meletakkan senjata atau meneruskan peperangan. Krisna kemudian melajutkan:

 

//Menemukan Sang Aku ini merupakan pencapaian tertinggi/Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati/segala apa yang kau butuhkan akan kau/peroleh dengan sangat mudah/Sesuai dengan sifat dasar masing-masing…//

 

India sedang berada di tengah kubangan Kurusetra. Bangsa ini sedang berperang melawan diri sendiri. Akhir tahun 2020 ketika kurva orang-orang terinfeksi menurun drastis, banyak yang mengira mereka telah berhasil memukul mundur ”musuh” di dalam dirinya. Bahkan, banyak di antaranya telah merasa ”memenangi” peperangan dan kembali ke rumah-rumah masing-masing untuk menyampaikan kabar gembira itu kepada sanak famili. Lalu mereka menggelar upacara besar Kumbh Mela, bermaksud membersihkan diri dengan air suci Sungai Gangga.

 

Pembersihan diri (ruwatan) setelah dilumuri kecemaran menjadi hakikat dalam kepercayaan. Upacara Kumbh Mela yang datang setiap 12 tahun, digelar 10-14 April 2021 di kota Haridwar, negara bagian Uttarakhand. Diperkiraaan puluhan ribu orang telah membersihkan diri dengan mandi di tepi Sungai Gangga. Tak lama setelah itu, ribuan orang terinfeksi positif Covid-19. Pelonggaran terhadap pengendalian diri telah mendorong negeri ini ke jurang kehancuran.

 

Ketika kemudian begitu banyak orang menjalani penderitaan dan berada dalam masa-masa tergelap dalam kehidupan mereka, aku ingin bertanya kepadamu: apakah ini wujud dari ketakseimbangan itu? Apakah alam semesta, seperti katamu, akan kembali menuju pada titik keseimbangan dengan kehadiranmu?

 

Aku yakin, semua bermula dari kepercayaan diri yang berlebihan. Kemenangan tak selalu membawa kegembiraan. Ketika benar-benar merasa telah memenangi peperangan dengan membasmi angkara murka, para Pandawa diikuti Drupadi kesepian. Mereka dicekam rasa bersalah yang tak henti mengoyak diri. Oleh sebab itulah, Yudistira merasa ia sudah cukup memegang tampuk pimpinan kerajaan. Lalu Astinapura diserahkan kepada Parikesit, anak bau kencur yang masih dalam kandungan Dewi Utari, ketika Bharatayudha berkecamuk. Ayahnya, Abimanyu, telah gugur dalam usia muda ketika turut ambil bagian membela panji-panji kebenaran.

 

Saat berjalan menuju pertapaan di Gunung Himalaya, diawali tewasnya Drupadi, satu per satu Pandawa berguguran. Bukan surga yang mereka raih, tetapi justru terlempar ke lumpur neraka. Klaim kebenaran yang mereka perjuangkan dengan mengobarkan perang berakhir dalam jilatan api yang berkobar-kobar.

 

Begitulah yang terjadi pada saudara-saudaraku di India hari-hari belakangan ini. Kebenaran yang telah disuratkan dalam kitab-kitab tradisi dan telah dipercaya serta dijalankan selama berabad-abad justru membuat banyak orang terperosok ke jurang penderitaan. Bukankah Krisna berkata, menemukan Aku Sejati merupakan pencapaian tertinggi? Benar memang, tetapi dalam perjalanan menemukan Sang Aku Sejati itu, kau tidak bisa lepas dari Karma. Krisna berkata pula, bahwa pencapaian itu sesuai dengan sifat dasarmu masing-masing? Bukankah begitu?

 

Pada saat-saat berada dalam dilema pencarian kebenaran itu, aku mengingat apa kata penyair besar Rabindranath Tagore dalam sebuah puisi berjudul ”Izinkan”: //Izinkan aku berdoa bukan agar terhindar dari/bahaya, melainkan agar aku tiada takut/menghadapinya/Izinkan aku memohon bukan agar/penderitaanku hilang agar hatiku/teguh menghadapinya/Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam/medan perjuangan hidupku melainkan/memperoleh kekuatanku sendiri/Izinkan aku tidak mengidamkan dalam/ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan/melainkan harapan dan kesabaran untuk/memenangkan kebebasanku/Berkati aku sehingga aku tidak menjadi/pengecut, dan merasakan kemurahanMu/dalam keberhasilanku semata; melainkan/biarkan aku menemukan genggaman tanganMu/dalam kegagalanku//

 

Aku saksikan onggokan kayu bakar  berjejer-jejer di jalanan dan api menjilat-jilat seperti hendak membakar langit. Perlahan tubuh-tubuh penuh derita itu luluh menjadi abu. Ia melebur ke ruang hampa, menjadi bagian dari semesta, kembali ke asal mula. Bukankah kitab suci menyebut pula: segala yang berasal dari-Ku, setelah melalui bhakti yang murni akan kembali kepada-Ku….

 

Hidup, seperti kata Tagore, adalah medan pencarian diri untuk mencapai keteguhan. Penderitaan tidak lenyap karena lantunan doa-doa suci, tetapi menghilangkan rasa takut agar memperoleh kekuatanmu sendiri. Semuanya hanya mungkin diperoleh dengan membentangkan harapan dan mempertebal kesabaran, justru untuk memperoleh kebebasan sejati. Aku yakin, kebebasan itulah sesungguhnya menjadi jalan penemuan Diri yang Sejati itu.

 

Semoga orang-orang yang kini terjebak dalam penderitaan berangsur menemukan kesadaran Diri yang Sejati, diri yang senantiasa mampu mengendalikan hawa nafsu dari rasa puas akan kemenangan; rasa gembira akan keberhasilan; serta rasa sedih akan kegagalan…. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar