Jumat, 07 Mei 2021

 

Tren Menuju Rekonsiliasi di Timur Tengah

Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan Kompas dari Kairo

KOMPAS, 7 Mei 2021

 

 

                                                           

Pada bulan suci Ramadhan ini, ada narasi membangun kebajikan dan rekonsiliasi di antara negara-negara di Timur Tengah yang selama ini terlibat konflik cukup sengit. Terjadi pula komunikasi langsung ataupun tidak langsung di antara sejumlah negara dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi.

 

Beberapa gerakan mengarah terciptanya rekonsiliasi kawasan. Pertama, delegasi Turki dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri (Menlu) Sedat Onal mengunjungi Kairo, Mesir, 6-7 Mei. Agendanya adalah bertemu dengan para pejabat tinggi Mesir guna normalisasi hubungan bilateral Turki-Mesir.

 

Peristiwa itu merupakan kunjungan pertama kali sejak 2013 saat hubungan Turki dan Mesir terpuruk menyusul penolakan Ankara terhadap aksi militer Mesir dalam menggulingkan Presiden Muhammad Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin (IM). Turki dikenal pendukung gerakan musim semi Arab yang menuntut tegaknya demokrasi di dunia Arab.

 

Kedua, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz, Selasa (5/5/2021), melakukan pembicaraan lewat telepon membahas hubungan bilateral kedua negara. Pembicaraan langsung lewat telepon antara Presiden Turki dan Raja Arab Saudi tersebut tentu merupakan perkembangan baru yang positif dalam hubungan bilateral kedua negara tersebut.

 

Selama ini, hubungan Turki-Arab Saudi cukup buruk. Turki mendukung musim semi Arab yang meletus tahun 2010-2011. Adapun Arab Saudi cenderung menolak musim semi Arab.

 

Puncak hubungan buruk Turki-Arab Saudi terjadi ketika aparat keamanan Arab Saudi terlibat pembunuhan wartawan senior asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Istanbul, pada 2 Oktober 2018.

 

Ketiga, kepala intelijen Arab Saudi, Mayjen Khaled Hamidan, seperti dilansir harian Inggris, The Guardian, mengunjungi Damaskus, Suriah, Senin (3/5) lalu.

 

Hamidan bertemu dengan penasihat keamanan Presiden Suriah Bashar al-Assad, Ali Mamluk, di Damaskus, membahas upaya normalisasi hubungan Arab Saudi-Suriah. Menurut The Guardian mengutip pejabat Arab Saudi, normalisasi hubungan Suriah-Arab Saudi akan dilakukan pasca-Idul Fitri nanti.

 

Hubungan Suriah-Arab Saudi sejak 2011 terpuruk menyusul kebijakan Arab Saudi mendukung gerakan revolusi rakyat Suriah yang ingin menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus.

 

Keempat, pada 26 April lalu, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz mengundang secara resmi Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani untuk mengunjungi Arab Saudi.

 

Undangan resmi Raja Salman kepada Emir Qatar tersebut tentu merupakan tindak lanjut dari hasil konferensi tingkat tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi, pada Januari lalu.

 

KTT GCC di Al-Ula itu menghasilkan rekonsiliasi antara Qatar dan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) yang memboikot Qatar sejak Juni 2017.

 

Kelima, pada 9 April lalu, pejabat tinggi Arab Saudi dan Iran dengan mediator PM Irak Mustafa al-Khadimi, seperti dilansir harian The Financial Times bertemu secara rahasia di Baghdad, Irak.

 

Tentu temu rahasia Iran-Arab Saudi tersebut merupakan perkembangan luar biasa karena dua negara itu dikenal merupakan musuh bebuyutan dalam konteks pertarungan geopolitik di kawasan Timur Tengah.

 

Iran dan Arab Saudi terlibat perang proksi di beberapa negara Arab, seperti di Lebanon, Suriah, dan Irak. Bahkan, Arab Saudi terlibat perang langsung di Yaman dengan kelompok Al Houthi yang didukung Iran.

 

Negara-negara yang melakukan pertemuan tersebut secara beruntun dalam waktu yang berdekatan adalah negara-negara kunci berpengaruh di Timur Tengah. Jika pertemuan itu nanti berakhir dengan rekonsiliasi, akan mengubah peta Timur Tengah secara signifikan.

 

Turki dan Mesir, misalnya, dengan kekuatan ekonomi, politik, dan demografinya, adalah dua negara kunci di  Timur Tengah. Turki berpenduduk sekitar 83 juta jiwa dengan produk domestik bruto (PDB) 794,530 miliar dollar AS atau dalam posisi ke-20 ekonomi terbesar dunia. Turki pun masuk anggota G-20 (dua puluh negara terbesar secara ekonomi di dunia). Mesir berpnduduk sekitar 101 juta jiwa dengan PDB 362 miliar dollar AS atau dalam posisi ke-34 ekonomi terbesar di dunia.

 

Secara politik pun, Mesir sejak era Presiden Gamal Abdel Nasser memimpin dunia Arab dan menjadi tuan rumah markas besar Liga Arab. Adapun Turki sejak era Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa (2002-2021) berhasil melakukan ekspansi pengaruh politik di kawasan Timur Tengah. Bahkan, Turki saat ini disebut mengontrol dua ibu kota Arab, yaitu Tripoli (ibu kota Libya) dan Doha (ibu kota Qatar).

 

Buruknya hubungan Turki-Mesir selama delapan tahun terakhir ini berandil besar atas terpuruknya situasi Timur Tengah mengingat dua negara tersebut sama-sama memiliki pengaruh besar di kawasan.

 

Seandainya segera terwujud normalisasi hubungan Turki-Mesir, ini akan memberi danpak positif pula terhadap situasi kawasan. Apalagi, jika hubungan Turki-Mesir nanti merangkak mencapai tingkat kerja sama atau koalisi dua negara, tentu itu akan mengubah wajah Timur Tengah menjadi sangat lebih ramah lagi.

 

Normalisasi hubungan Turki-Mesir itu bisa dipastikan akan membantu memperkuat pemerintah persatuan nasional Libya pimpinan PM Abdul Hamid Dbeibah yang telah mendapat dukungan dan pengesahan parlemen pada 9 Maret lalu.

 

Selama ini, Turki dan Mesir adalah dua negara regional yang paling kuat terlibat dalam konflik di Libya. Turki mendukung pemerintahan PM Fayez al-Sarraj yang menguasai kota Tripoli dan Mesir mendukung Jenderal Khalifa Haftar yang menguasai Libya timur.

 

Normalisasi hubungan Turki-Mesir juga dipastikan akan berandil menurunkan ketegangan di Laut Tengah bagian timur. Beberapa waktu terakhir terjadi eskalasi ketegangan di Laut Tengah bagian timur terkait dengan isu gas yang menjadi rebutan negara-negara kawasan. Diperkirakan laut Tengah bagian timur menyimpan 120 triliun meter kubik gas.

 

Turki yang miskin sumber alam memiliki ambisi besar untuk mendapat bagian dari kekayaan gas yang melimpah di Laut Tengah bagian timur itu.

 

Namun, pada Januari 2019, tujuh negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur sepakat membentuk forum gas Laut Tengah bagian timur (EastMed) dengan kantor pusat di Kairo, Mesir.

 

Tujuh negara tersebut adalah Mesir, Yunani, Siprus, Israel, Italia, Jordania, plus Otoritas Palestina. Turki pun merasa dikucilkan setelah dibentuknya EastMed itu.

 

Tentu yang ditunggu juga normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi. Jika hal itu terwujud, ini akan membantu tercapainya solusi politik di Yaman dan Suriah serta sekaligus menurunkan ketegangan politik di Lebanon.

 

Temu rahasia Iran-Arab Saudi di Baghdad tentu saja merupakan awal yang baik yang harus disusul berbagai pertemuan lanjutan mengingat isu-isu yang mengganjal hubungan kedua negara tersebut sangat banyak dan berat.

 

Jika terwujud normalisasi hubungan Arab Saudi-Suriah pasca-Idul Fitri nanti, diharapkan bisa membantu mencairkan hubungan Iran-Arab Saudi. Iran selama ini merupakan salah satu pendukung kuat rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus.

 

Maka, terjalinnya hubungan baik Arab Saudi dan rezim Damaskus nanti bisa mempersempit jarak perbedaan pendapat Iran-Arab Saudi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar