Jumat, 07 Mei 2021

 

”Quo Vadis” Pajak atas Konsumsi

Adrianto Dwi Nugroho ;  Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM

KOMPAS, 7 Mei 2021

 

 

                                                           

Belum lama, publik disuguhi dengan berita pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Jika pada Januari 2021 pemerintah menerbitkan beleid tentang tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan pulsa seluler dan token listrik, pada Februari 2021 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah atas penyerahan kendaraan bermotor tertentu.

 

Mempertajam kesenjangan

 

Kebijakan yang bertolak belakang ini menimbulkan pertanyaan: ke arah mana kebijakan pemerintah di bidang pajak konsumsi, khususnya pada masa pandemi? Secara konseptual, PPN memiliki sifat regresif, yang pengenaannya tidak memperhatikan kemampuan membayar dari konsumen (sebagai penanggung beban ekonomi dari PPN). Artinya, beban PPN relatif ringan bagi mereka yang berpenghasilan relatif tinggi dan relatif berat bagi yang berpenghasilan relatif rendah.

 

Pajak sebesar 100 merepresentasikan 10 persen kemampuan ekonomi dari orang yang memiliki penghasilan 1.000, tetapi hanya 1 persen kemampuan ekonomi dari orang yang memiliki penghasilan 10.000. Efek regresif semakin tajam dengan pengenaan tarif PPN tunggal (Sukardji, 1999: 118).

 

Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya mengatur barang dan jasa yang tidak kena pajak (negative list).

 

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin kemampuan ekonomi masyarakat akan semakin tergerus dengan adanya pemungutan PPN atas barang dan jasa baru yang muncul di masyarakat, atau barang dan jasa yang sebelumnya tidak potensial, tetapi berubah menjadi potensial untuk dipungut pajak konsumsinya.

 

Sejatinya, efek regresif PPN dapat dikurangi dengan pengenaan PPnBM. Secara normatif, PPnBM merupakan pajak tambahan yang dikenakan setelah barang kena pajak terlebih dulu dikenai PPN.

 

Kriteria barang mewah yang menjadi syarat obyektif dari pengenaan PPnBM diatur menurut kaidah-kaidah yang mampu menciptakan progresivitas beban pajak antara mereka yang mengonsumsi barang mewah dan yang tidak melakukannya.

 

Rasionya, orang yang berpenghasilan tinggi cenderung mengonsumsi barang mewah yang kontraproduktif sehingga pengenaan PPnBM diharapkan mampu mengurangi pola konsumsi demikian (Sukardji, 1999: 120).

 

Oleh karena itu, pembebasan PPnBM justru memperuncing efek regresif yang sudah tercipta dari pengenaan PPN atas barang yang sama. Riset Walpole (2020: 644) menunjukkan bahwa pengurangan tarif atau pembebasan pajak konsumsi justru secara efektif akan menyubsidi orang-orang berpenghasilan tinggi dan pengusaha-pengusaha besar.

 

Bukan tidak mungkin, pembebasan PPnBM atas kendaraan bermotor tertentu justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang kebutuhan kendaraan bermotornya telah terpenuhi, tetapi memiliki kemampuan ekonomi untuk mengonsumsi kendaraan bermotor, atau sekadar ingin menikmati subsidi pemerintah tersebut.

 

Dari sisi anggaran negara, subsidi itu mengurangi penghasilan negara Rp 2,3 triliun. Namun, belanja pajak itu disinyalir akan menghasilkan surplus penerimaan negara Rp 1,62 triliun, yang didapat dari meningkatnya produksi kendaraan bermotor sebesar lebih dari 81.000 unit (Kontan, 13/2/2021).

 

Kontraproduktif

 

Semakin jelas bahwa kebijakan PPnBM ditanggung pemerintah merupakan kebijakan subsidi, bukan insentif pajak.

 

Masalahnya, pembebasan PPnBM hanya berlaku bagi pengusaha kendaraan bermotor tertentu sehingga menyimpang dari arah kebijakan pajak konsumsi yang selama ini selalu didengungkan oleh pemerintah: penciptaan kesetaraan (level playing field) antarpengusaha di berbagai sektor industri jasa dan barang.

 

Padahal, jargon tersebut dicanangkan pada pemungutan PPN atas pulsa seluler dan token listrik, dan pada kebijakan high profile pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atas barang dan jasa digital, yang mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

 

Bahkan, penciptaan level playing field diserukan pada rencana pemungutan PPN atas jasa pinjaman elektronik (KompasTV, 25/2/2021).

 

Penulis tidak sedang menilai bahwa level playing field akan dapat tercipta dari kebijakan pajak konsumsi, tetapi ingin menunjukkan bahwa argumentasi itu tidak diimplementasikan secara konsisten oleh pemerintah.

 

Konsiderans Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2021 menyatakan bahwa salah satu alasan penerbitan aturan itu adalah untuk mewujudkan dukungan pemerintah dan menjamin keberlangsungan sektor industri kendaraan bermotor, yang terdampak pandemi Covid-19. Pertanyaannya, apakah hanya sektor industri ini yang terdampak pandemi Covid-19 dan akan didukung serta dijamin keberlangsungannya oleh pemerintah?

 

Akhirnya, perlakuan pajak preferensial untuk pajak konsumsi umumnya didasarkan pada lobi-lobi yang dilakukan sebuah kelompok kepentingan kepada pemerintah. Zu (2020: 660) mengatakan bahwa asimetri informasi dan sifat pajak konsumsi yang tak intuitif telah menyebabkan kelompok-kelompok kepentingan membangun narasi yang bertumpu pada keadilan (fairness-centric).

 

Narasi ini akan digunakan sebuah kelompok kepentingan untuk menciptakan rezim pajak preferensial bagi kelompoknya dan menolak keberadaan rezim pajak preferensial bagi kelompok lainnya (Zu, 2020: 660).

 

Hasilnya adalah kebijakan pajak konsumsi yang tanpa arah dan justru bertolak belakang dengan upaya menciptakan level playing field. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar