Kamis, 06 Mei 2021

 

Nestapa Pendidikan Pancasila

Syaiful Arif ;  Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, CEO Silapedia

KOMPAS, 5 Mei 2021

 

 

                                                           

Tidak diwajibkannya pendidikan Pancasila dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan mengusik akal sehat kita. Kenapa Pancasila yang merupakan dasar negara tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib? Ketergopohan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevisi PP itu menambah keterusikan tersebut.

 

Ini merupakan nestapa ke sekian kali yang dialami pendidikan Pancasila. Sejak dasar negara kita identikkan dengan rezim tertentu, ia tidak kita tempatkan sebagai milik bersama yang harus dijaga. Namun, sebagai warisan rezim, yang ketika rezim tersebut runtuh, Pancasila pun tidak boleh bangkit.

 

Pendidikan Pancasila sama dengan indoktrinasi Pancasila dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Jika P4 sudah dihapus, mengapa pendidikan Pancasila mau dibangkitkan? Begitulah cara berpikir kita yang alergi dengan ideologi bangsa sendiri.

 

Sebenarnya pendidikan Pancasila mulai bangkit, tetapi tidak utuh. Dalam UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pancasila telah menjadi mata kuliah wajib. Kesalahan PP No 57 Tahun 2021 ialah karena tidak merujuk pada UU ini melalui prinsip lex specialis. Dalam konsiderans "Mengingat", PP itu hanya merujuk pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 37 Ayat (1) dan (2), UU ini memang tidak menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib.

 

Dengan demikian, persoalan langsung menghadang ketika pemerintah ingin merevisi PP No 57 Tahun 2021 untuk menghidupkan Pancasila. Bagaimana bisa PP yang merupakan aturan yuridis turunan bisa berbeda dengan UU di atasnya? Jika UU Sisdiknas menghapus pendidikan Pancasila, bagaimana bisa PP Standar Nasional Pendidikan menghidupkannya?

 

Saat ini penulis terlibat dalam tim penyusunan buku mata pelajaran Pancasila yang dibentuk oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pertanyaannya, bagaimana buku tersebut bisa dijalankan ketika payung hukumnya tidak ada?

 

Nestapa yang dialami pendidikan Pancasila merupakan bagian dari nestapa yang dialami penguatan Pancasila, dan Pancasila itu sendiri. Dalam konteks pendidikan, hal ini disebabkan oleh mandeknya revisi UU Sisdiknas yang sebenarnya telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2018.

 

Celakanya, pada Prolegnas tahun ini, revisi UU tersebut justru menghilang. Hanya ada RUU BPIP yang kemungkinan akan mendapatkan tantangan. Oleh karena itu, alih-alih menerbitkan PP untuk menghidupkan pendidikan Pancasila, yang harus dilakukan pemerintah ialah mendorong DPR untuk merevisi UU No 20 Tahun 2003.

 

Fetisisme Pancasila

 

Persoalannya, pelaku pendidikan sendiri mungkin sudah status quo dengan kondisi yang ada. Sebab, sejak Kurikulum 2013, nomenklatur Pancasila telah dimasukkan ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Bagi sebagian kalangan, PPKn sudah dianggap cukup untuk mendidikkan Pancasila. Namun, bagi sebagian lainnya belum memadai, sebab Pancasila tidak berdiri sendiri sebagai mata pelajaran wajib.

 

Nasib pendidikan Pancasila yang ditempelkan dalam PPKn sebenarnya mencerminkan perlakuan kita terhadap Pancasila yang sejak dulu bersifat minimalis. Artinya, Pancasila hanya kita pahami, kenalkan, dan didikkan sebagai ”akta legal” pendirian negara, tanpa substansi pengetahuan di dalamnya.

 

Seperti pandangan Dipo Alam dalam artikel ”Pancasila Milik Bersama” (Kompas, 16/4/2021). Artikel yang merupakan tanggapan terhadap tulisan Guntur Soekarnoputra, ”RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila” (Kompas, 30/3/2021) ini mewakili ”pandangan minimalis” terhadap Pancasila.

 

Menurut Dipo, Pancasila resmi (18 Agustus 1945) ialah norma yang berbeda dengan wacana Pancasila oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Pertanyaannya, apakah Pancasila sebatas norma? Bukan. Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang bersifat meta-legal, yang menaungi norma hukum di bawahnya. Sebagai norma dasar, Pancasila bukan ”legalisme negara”, melainkan filsafat dasar negara.

 

Tepat di sini pidato 1 Juni Soekarno menjadi penting, sebab norma dasar yang bersifat meta-legal itu dirumuskan berdasarkan penggalian Soekarno terhadap nilai-nilai filosofis bangsa. Hubungan antara Pancasila 1 Juni dan 18 Agustus bukan hubungan wacana dan norma, melainkan filsafat dasar negara dan norma dasar negara. Filsafat merupakan isi, sedangkan norma dasar menjadi wadah.

 

Hanya saja, akibat proyek de-Soekarno-isasi Orde Baru, isi filosofis Pancasila dibuang dari dasar negara. Maka, Pancasila lalu mengalami pembendaan (fetisisme), menjelma prinsip legal negara yang kosong konsepsi.

 

Diabaikannya pemikiran Panitia Lima (1977) yang diketuai Bung Hatta oleh Orde Baru telah mengeringkan Pancasila dari konsepsi intelektual para pendiri bangsa. Setelah dikeringkan dimensi intelektualnya, Pancasila lalu disulap Orde Baru menjadi ”kode etik” perilaku dalam bentuk nilai-nilai normatif. Pancasila lalu menjadi moralitas. Padahal, sejak awal, Pancasila merupakan filsafat negara dan ideologi politik.

 

Dengan demikian, perlakuan minimalis kita terhadap Pancasila dan pendidikannya merupakan pengamalan kita terhadap warisan Orde Baru. P4 memang telah dihapus, tetapi paradigma berpikirnya ternyata telah menjadi paradigma kita dalam memperlakukan dasar negara.

 

Menjadi ilmu

 

Berpijak dari hal ini, penghidupan mata pelajaran Pancasila menjadi bagian dari penghadiran Pancasila sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini yang belum dilakukan sebab Pancasila telah mengalami ”legalisasi” pada satu sisi dan ”normativisasi” pada saat bersamaan. Pancasila tidak menjadi khazanah ilmu pengetahuan sesuai sifat dasarnya sebagai filsafat kenegaraan.

 

Secara historis, kita pernah memiliki model pendidikan Pancasila yang indoktrinatif. Pada masa Demokrasi Terpimpin melalui pendidikan Pancasila dalam kerangka Manipol-Usdek dan pada masa Orde Baru melalui Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan P4.

 

Sudah saatnya pendidikan Pancasila kita hidupkan berdasarkan konsepsi orisinal Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. AMW Pranarka dalam Sejarah Pemikiran tentang Pancasila (1985), misalnya, menegaskan pidato 1 Juni Soekarno sebagai konsepsi orisinal ideologi kebangsaan Pancasila.

 

Konsepsi ini dibedakan dengan Manipol atau P4 yang merupakan tafsir negara. Ditambah pemikiran perumus Pancasila lainnya, bangunan ilmu Pancasila bisa kita tata secara obyektif berdasarkan metodologi ilmiah, bukan tafsir kekuasaan.

 

Jika upaya menghidupkan pendidikan Pancasila tidak dibarengi dengan pembangunan ilmu pengetahuan Pancasila, upaya tersebut akan tetap melahirkan nestapa karena usaha yang kita lakukan tidak tulus. Hanya kemurnian ilmu pengetahuanlah yang melahirkan ketulusan tersebut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar