Kamis, 06 Mei 2021

 

Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

Dedi Haryadi ;  Staf Ahli pada Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi

KOMPAS, 5 Mei 2021

 

 

                                                           

Lanskap ekonomi, sosial-budaya, dan politik Indonesia saat ini lebih digital ketimbang satu dekade yang lalu.

 

Perkembangan Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau Electronic Government Development Index (EGDI) saat ini menunjukkan kecenderungan demikian. Dalam periode (2010-2020) SPBE meningkat dari 0,4026 menjadi 0,6824 (skala 0-1). Makin besar skor indeksnya, berarti makin digital sistem pemerintahan negara tersebut.

 

Dari 193 negara yang disurvei, peringkat kita membaik dari ke-107 pada 2018 menjadi ke-88 pada 2020. Ranking sepuluh teratas ialah Denmark, Korea Selatan, Estonia, Finlandia, Australia, Swedia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Belanda, Singapura, Eslandia, Norwegia, dan Jepang. Negara-negara itu juga punya skor dan peringkat yang baik dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

 

Indeks yang dikembangkan PBB ini disusun dari tiga komponen: 1) indeks layanan daring, 2) infrastruktur telekomunikasi, dan 3) indeks sumber daya manusia. PBB merasa perlu mengembangkan indeks ini karena digitalisasi sistem pemerintahan dianggap bisa menjembatani tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

 

Dari ketiga komponen itu, infrastruktur telekomunikasi skor Indonesia masih di bawah rata-rata kawasan Asia dan subkawasan Asia Tenggara. Ini artinya, kalau mau memperbaiki skor dan peringkat Indeks SPBE, memperbaiki kondisi infrastruktur telekomunikasi niscaya dan perlu diberi prioritas tinggi.

 

Semasa pandemi Covid-19 ini, kekurangan infrastruktur telekomunikasi itu terasa manakala ada ribuan siswa sekolah dasar dan menengah tidak bisa mengakses layanan belajar daring.

 

Kekurangan daya beli bisa diatasi dengan subsidi, tetapi kekurangan infrastruktur telekomunikasi tidak serta-merta bisa dipenuhi. Digitalisasi juga membuka kedok adanya ketimpangan akses, relasi dan kuasa digital dalam masyarakat.

 

Keniscayaan digitalisasi

 

Digitalisasi berbagai aspek kehidupan itu sebuah keniscayaan. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE yang jadi beleid digitalisasi semua aspek kehidupan.

 

Dengan beleid itu, saat ini pemerintah sedang mendigitalisasi tata kelola pemerintahan seperti layanan perizinan (online single submission), proses perencanaan dan penganggaran, pengadaan barang dan jasa, manajemen aparatur sipil negara, sistem penanganan perkara pidana terpadu berbasis teknologi informasi (SPPT-TI), mekanisme penanganan pengaduan masyarakat, dan lain-lain.

 

Diyakini digitalisasi ini akan menciptakan sistem dan tata kelola pemerintah yang lebih efisien, efektif, dan berkelanjutan. Selain itu, risiko korupsi juga akan lebih terkendali. Itulah sebabnya, negara-negara yang skor dan peringkat Indeks SPBE-nya baik juga punya skor dan peringkat IPK yang baik.

 

Bagaimana sebenarnya praksis digitalisasi partisipasi publik? Sekurangnya ada tiga dimensi digitalisasi partisipasi publik, yaitu 1) aksesibilitas pengguna layanan publik pada layanan publik yang disediakan secara digital, 2) keikutsertaan publik secara digital dalam proses politik dan kebijakan, dan 3) aktivitas warga aktif, aktivis, akademisi dalam advokasi kebijakan secara digital.

 

Pandemi Covid-19 mempercepat proses transformasi modalitas partisipasi warga/publik dari yang tadinya manual, fisikal, ke digital. Jadi, serba digitalisasi sekarang ini jangan dilihat sebagai kesementaraan, apalagi darurat, tetapi harus dimaknai sebagai tujuan yang memang harus dicapai.

 

Sebenarnya ketiga praksis partisipasi digital tersebut sudah ada dan berlangsung dalam masyarakat jauh sebelum wabah Covid-19. Dimensi pertama dan cukup sederhana dari praksis itu adalah aksesibilitas pengguna layanan publik secara digital. Contohnya banyak, antara lain pelayanan paspor, penerimaan peserta didik baru tingkat SMP dan SMA di sejumlah daerah, dan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan beberapa kementerian/lembaga/pemda.

 

Dulu, Pemerintah Kota Bandung, dengan wali kotanya Ridwan Kamil, secara ekstensif melakukan digitalisasi pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai aplikasi. Kredonya, satu isu publik, satu aplikasi. Bahkan ada aplikasi untuk mengintip siswa bolos sekolah. Selama lima tahun menjabat, ada 400-an aplikasi yang dihasilkan. Namun, karena kurang hati-hati dalam pengembangannya, sebagian besar aplikasi tersebut kini mangkrak.

 

Platform partisipasi publik

 

KawalPemilu.org merupakan contoh klasik dan paling baik dari dimensi kedua praksis partisipasi digital. Apresiasi tinggi harus diberikan kepada Ainun Najib dan kawan-kawan yang mengembangkan inisiatif platform KawalPemilu.org ini.

 

Dalam platform ini ratusan sukarelawan berpartisipasi secara digital dalam proses pemilihan presiden, khususnya dalam tabulasi dan rekapitulasi data scan dan formulir C1. Hasil tabulasi dan rekapitulasi KawalPemilu.org menjadi pembanding hasil penghitungan suara pilpres versi Komisi Pemilihan Umum.

 

Sudah dua kali pemilu—Pemilu 2014 dan 2019—KawalPemilu.org jadi bagian penting dari pesta dan dinamika demokrasi di Tanah Air. Kelihatannya keberadaan KawalPemilu.org akan terus berlanjut di pemilu-pemilu berikutnya. Dengan adanya KawalPemilu.org, demokrasi menjadi berkualitas.

 

Dengan platform ini juga warga aktif menciptakan jalur sendiri memengaruhi dan menjadi bagian integral pemilu. KawalPemilu.org sudah ”buy in” dalam sistem pemilu kita. Dengan biaya yang sangat murah, publik terlibat dalam proses ini. Dalam istilah advokasi, kebijakan inisiatif KawalPemilu.org ini memenuhi kriteria low cost high impact. Ke depan kita ditantang mengembangkan berbagai gagasan semacam ini.

 

Platform digital lain yang cukup fenomenal dalam advokasi kebijakan di Tanah Air dalam satu dekade terakhir adalah Change.org. Dengan adanya platform ini, warga atau siapa pun bisa menggagas dan mengajak publik untuk menyampaikan petisi tertentu bukan hanya kepada pejabat negara/publik, melainkan juga kepada institusi bisnis (BUMN/swasta) penyedia layanan publik.

 

Selama 2018-2019, pengguna platform ini yang menyampaikan petisi meningkat dari 6,5 juta menjadi 13,3 juta orang, dengan rasio kemenangan 1:4. Artinya, dari empat petisi, satu menang. Tahun sebelumnya rasio itu 1:3.

 

Beberapa petisi yang menang, antara lain, Amnesti untuk Baik Nuril, Tolak RUU Permusikan, dan Batalkan Proyek PLTA Tampur. Petisi yang kalah di antaranya Tolak Revisi UU KPK.

 

Contoh tiga praksis tersebut menunjukkan relasi kuasa negara versus warga menjadi lebih digital sekarang ini. Dalam relasi baru ini siapa menguasai ”ruang digital”, ”kuasa digital”, tidak hanya menguasai, tetapi juga bisa menaklukkan dan menghegemoni pihak lain.

 

Dalam kasus pelemahan KPK, misalnya, negara begitu dominan menguasai ”ruang digital” dan ”kuasa digital” sehingga leluasa—hampir tanpa perlawanan yang berarti—mendekonstruksi dan merekonstruksi KPK seperti yang diinginkan.

 

Indeks partisipasi digital

 

Survei tentang Indeks SPBE tersebut juga mengungkap informasi tentang Indeks Partisipasi Digital (E-Participation). Peringkat E-Partisipasi kita selama periode 2018-2020 meningkat dari urutan ke-92 menjadi ke-57 dengan skor 0,75. Cukup sukses sebenarnya melakukan transformasi digital meski masih kalah dari negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Thailand yang berurut-turut ada di urutan ke-6, ke-29, dan ke-51.

 

Menimbang kemajuan digitalisasi sistem pemerintahan dan partisipasi digital, seperti yang dicerminkan oleh Indeks SPBE dan Indeks Partisipasi Digital, sebenarnya kita sudah ada di jalan yang benar.

 

Namun, capaian itu kurang optimal dan lamban. Ini sangat terasa, misalnya, dalam membangun sistem SPPT-TI. Pelaksanaan aksi SPPT-TI yang telah memasuki tahun kelima—dua tahun lebih awal dari terbitnya Perpres No 95 Tahun 2018 tentang SPBE—sudah menghabiskan anggaran ratusan miliar rupiah. Jangankan berdampak, di level keluarannya (output) saja masih bermasalah. Demikian juga aksi integrasi sistem perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik.

 

Persistennya konflik kepentingan, ego sektoral, dan rendahnya dukungan dan komitmen pemimpin di kementerian/lembaga/pemda diduga menjadi penyebabnya. Jadi, sebenarnya masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kalau kita mau meraih skor dan peringkat Indeks SPBE, Indeks Partisipasi Digital, dan tingkat kematangan (maturity level) penerapan SPBE yang lebih baik.

 

Dalam dua tahun terakhir (2019-2020) tingkat kematangan penerapan SPBE—seperti yang dicerminkan oleh Indeks SPBE versi nasional—baru berkisar 1,98-2,19 dari skala 0-5.

 

Sekurangnya ada empat pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dengan baik dan cepat untuk memperbaiki Indeks SPBE dan mengakselerasi digitalisasi partisipasi publik. Pertama, mengembangkan chemistry dan orkestrasi yang baik antarpemimpin—pada level menteri—sehingga bisa mengatasi konflik kepentingan, ego sektoral, dan kurangnya komitmen elite birokrasi (khususnya pejabat eselon I dan II).

 

Penyusunan regulasi tentang bagan akun standar (BAS), misalnya, atau pengembangan hub dan aplikasi sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) sangat mungkin akan berjalan dengan lancar dan sukses kalau ada chemistry dan orkestrasi yang baik antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.

 

Kedua, pemerintah (kementerian/lembaga/pemda) harus berupaya mengembangkan infrastruktur telekomunikasi yang bisa menjangkau kelompok masyarakat terpencil dan atau termarginalkan sehingga tak ada seorang pun yang tertinggal. Ke depan, di antaranya tidak ada lagi cerita tentang siswa yang tidak bisa mengakses layanan belajar daring, atau pengusaha menengah dan kecil yang tidak bisa mengakses marketplace.

 

Pengembangan infrastruktur telekomunikasi ini bagian penting dan tak terpisahkan dari penguatan dan percepatan pelaksanaan SPBE. Selain itu, kementerian/lembaga/pemda perlu segera membuat arsitektur SPBE dan peta rencana SPBE yang merujuk pada Arsitektur SPBE Nasional.

 

Ketiga, replikasi dan pengembangan praktik baik (best practices) digitalisasi partisipasi publik. Kalau platform KawalPemilu.org, Change.org, atau platform lain memenuhi kriteria praktik baik, bisa dan perlu direplikasi dan dijadikan contoh dalam mengembangkan digitalisasi partisipasi publik.

 

Masih banyak isu strategis lain yang perlu partisipasi dan dikawal publik dengan platform digital. Beberapa di antaranya tata kelola pelabuhan, impor bahan pangan strategis, dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).

 

Keempat, seserius dan sesistematis mungkin mengembangkan literasi digital bagi warga/publik. Editorial Kompas bertajuk ”Percepat Literasi Digital Warga” (22/3/2021) mengartikulasikan pesan yang sama tentang pentingnya literasi digital warga.

 

Kalau sudah melek digital, warga tidak hanya bisa mengakses dan berpartisipasi dalam pelayanan publik serta proses politik dan kebijakan, tetapi juga mampu mendefinisikan dan mengontrol peran negara dalam mengelola sumber daya publik secara digital. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar