Kamis, 06 Mei 2021

 

Transparansi Suku Bunga Kredit

Adhi Nugroho ;  Analis Bank Indonesia Sumatera Utara

KOMPAS, 5 Mei 2021

 

 

                                                           

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 19-20 April 2021, memutuskan kembali mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50 persen. Kebijakan suku bunga rendah itu dibarengi dengan upaya transparansi suku bunga dasar kredit atau SBDK perbankan guna mengurangi ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) di antara nasabah dan perbankan.

 

Isu ketidakseimbangan informasi memang selalu melekat pada industri perbankan. Kekurangmampuan bank dalam menilai calon debitornya secara komprehensif cenderung menyebabkan tingkat suku bunga kredit menjadi lebih tinggi daripada seharusnya. Selain itu, distribusi informasi yang tidak berimbang dapat memperlambat respons perbankan terhadap perubahan kebijakan suku bunga acuan bank sentral.

 

Hasil kajian Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kesenjangan informasi antara bank dan nasabah juga bisa memicu peningkatan rasio kredit bermasalah. Kegagalan bank dalam menetapkan suku bunga kredit yang tepat berdampak pada peningkatan biaya bunga yang harus dibayar nasabah. Alhasil, risiko terjadinya gagal bayar kredit akan membesar.

 

Di kalangan otoritas, ketidakseimbangan informasi telah lama jadi topik hangat. Sebelumnya, BI telah membekali bank dengan Sistem Informasi Debitor (SID), yang kemudian berganti nama menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dan dikelola Otoritas Jasa Keuangan sejak 2018. Lewat SLIK, bank dapat mengecek riwayat kredit calon nasabah sehingga mampu menilai profil risiko calon nasabah secara lebih adil dan berimbang.

 

Akan tetapi, upaya itu hanya dapat mengurangi ketidakseimbangan informasi di sisi perbankan. Di sisi sebaliknya, nasabah juga mengalami isu serupa. Kekurangtahuan nasabah soal kinerja bank berpotensi menurunkan daya tawarnya di mata perbankan. Imbasnya, nasabah memperoleh tingkat bunga kredit yang lebih mahal dibandingkan profil risikonya.

 

Melalui kebijakan transparansi SBDK ini, masyarakat dan pelaku usaha dapat melihat dan membandingkan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh bank-bank. Pada gilirannya, penurunan suku bunga kebijakan yang sudah ditempuh BI sejak Juli 2019 mampu ditransmisikan oleh perbankan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit yang lebih sepadan.

 

Pada era resesi ekonomi seperti saat ini, penurunan SBDK akan mendorong permintaan kredit dan membantu pemulihan ekonomi.

 

Respons perbankan

 

Dari sisi kredit, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga acuan BI memang belum cukup menggembirakan. Penurunan nilai SBDK pada Februari 2021 baru sebesar 171 basis poin (bps) dalam setahun. Padahal, sepanjang periode yang sama, penurunan suku bunga deposito telah mencapai 200 bps. Dengan kata lain, perbankan masih memiliki ruang yang cukup untuk kembali menurunkan SBDK-nya.

 

Menurut kelompok bank, penurunan SBDK tertinggi dicatatkan oleh bank BUMN, yakni sebesar 210 bps. Penurunan SBDK pada bank pelat merah itu lebih tinggi daripada bank asing, bank pembangunan daerah, ataupun bank swasta, yang secara berturut-turut sebesar 113 bps, 97 bps, dan 88 bps. Transparansi SBDK yang mulai dipublikasikan BI sejak April 2021 dapat membantu perbankan untuk menetapkan suku bunga kreditnya secara lebih kompetitif.

 

Adapun penurunan SBDK diperlukan untuk memulihkan kinerja kredit yang masih lesu. Pertumbuhan kredit perbankan Februari 2021 masih terkontraksi hingga minus 1,49 persen. Padahal, peran intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas sangat diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi.

 

Selain pemulihan ekonomi, transparansi SBDK juga menjadi prasyarat mutlak dalam menyambut era digitalisasi perbankan. Bank dituntut bersikap terbuka demi mengimbangi laju teknologi informasi yang berkembang pesat sehingga kecepatan dalam memproses pengajuan kredit calon nasabah juga semakin cepat.

 

Transparansi suku bunga dan kecepatan proses itu dua alasan utama mengapa skema pembiayaan berbasis daring tumbuh subur di Indonesia. Dalam praktiknya, upaya transparansi SBDK oleh BI tak bisa berjalan sendirian.

 

Upaya serupa perlu ditempuh perbankan. Bank harus terbiasa memberikan informasi SBDK secara benar kepada nasabahnya, termasuk informasi soal faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan SBDK, seperti harga pokok dana untuk kredit, biaya operasional (overhead cost), dan margin keuntungan. Dengan begitu, struktur pasar kredit perbankan nasional akan semakin kompetitif dan terbuka. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar