Kamis, 06 Mei 2021

 

Diskursus ”Guns” Vs ”Butter” dalam Tragedi KRI Nanggala-402

Herindra ;  Wakil Menteri Pertahanan RI

KOMPAS, 4 Mei 2021

 

 

                                                           

Tenggelamnya KRI Nanggala-402 merupakan sebuah dukacita yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Duka mendalam karena kita harus ikhlas melepas berpulangnya 53 personel TNI Angkatan Laut (TNI AL), yang adalah juga bagian dari putra-putra terbaik bangsa ini. KRI Nanggala-402 sendiri bagian yang telah melekat dalam tubuh TNI AL dengan masa bakti yang panjang: 41 tahun.

 

Sebagai wujud penghormatan, pemerintah memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat kepada 53 awak KRI Nanggala-402 yang dinyatakan gugur dalam tugas serta memberikan tiga bintang jasa atas dedikasi mereka dalam menjaga ketahanan negara. Ketiga bintang jasa itu adalah Satyalencana Ksatria Yudha, Satyalencana Jalasena Narariya, dan Satyalencana Dharma Samudra.

 

Presiden Jokowi pun menyediakan beasiswa bagi anak-anak para awak korban KRI Nanggala-402 sehingga mereka dapat menuntaskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan, Kementerian Pertahanan memberikan jaminan kepada mereka untuk dapat masuk ke SMA Taruna Nusantara dan Universitas Pertahanan, dua institusi pendidikan yang berada dalam lingkup Kementerian Pertahanan.

 

Pascamusibah tenggelamnya KRI Nanggala-402, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berharap peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dapat segera dilakukan. Menhan menjanjikan untuk segera mengajukan skema dan langkah strategis guna percepatan peremajaan alutsista. Selain akan dipresentasikan kepada Presiden, skema ini juga akan disampaikan kepada DPR agar mendukung kebijakan anggaran alutsista ke angka yang ideal.

 

Di kalangan masyarakat sendiri terekam ekspresi beragam dalam merespons musibah ini, termasuk aksi penggalangan dana; walaupun sebenarnya ini tidak perlu karena pembelian alutsista bersumber dari APBN, yang juga merupakan uang rakyat. Fenomena penggalangan dana ini kembali menyegarkan ingatan kita pada diskursus tentang teori yang terkait erat dengan faktor kualitas pertahanan: Guns vs Butter.

 

Teori ini sebenarnya mengungkap perdebatan lama tentang mana yang lebih utama bagi sebuah bangsa: pembelanjaan di sektor pertahanan (defense spending) atau penguatan alokasi anggaran di sektor kesejahteraan masyarakat (welfare expenditures), khususnya sektor pendidikan dan kesehatan.

 

Kondisi spesifik tiap-tiap negara berpengaruh besar pada kebijakan terkait alokasi anggaran. Sejarah membuktikan bahwa kenaikan belanja di sektor pertahanan akan meningkat manakala potensi perang atau konflik militer hadir di depan mata. Sebaliknya, anggaran belanja di sektor pertahanan akan otomatis menurun di masa damai—kebijakan ini akan dibarengi dengan naiknya alokasi pembelanjaan di sektor investasi publik dan kesejahteraan sosial masyarakat.

 

Perdebatan terkait alokasi anggaran sebenarnya tidak pernah mudah karena mekanisme pengelolaan anggaran negara akan masuk pada diskursus yang lebih luas tentang bagaimana kualitas dari aset manusia (human capital) akan memengaruhi kualitas dari sistem pertahanan; dan karena kedua sektor ini merupakan sektor publik, keseimbangan alokasi anggaran menjadi dilematis.

 

Kualitas manusia yang tinggi tanpa dukungan alat pertahanan hanya akan membawa kita pada konsepsi klasik tentang pertahanan fisik semata. Sebaliknya, alat pertahanan yang canggih tanpa dibarengi kualitas SDM yang cakap adalah mubazir.

 

Anggaran pertahanan

 

Untuk pagu anggaran 2021, pemerintah mengalokasikan Rp 134.254 triliun untuk Kemenhan, naik 14,12 persen dibandingkan pagu tahun lalu. Anggaran Kemenhan tahun ini sekaligus menjadi yang terbesar satu dekade terakhir. Namun, harus dipahami, mayoritas anggaran Kemenhan 2021 ini dialokasikan untuk program dukungan manajemen. Jumlahnya mencapai Rp 74,983 triliun atau 55,2 persen dari total anggaran.

 

Adapun alokasi untuk program modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarana serta prasarana pertahanan menyusul dengan nilai Rp 39,02 triliun atau 29,06 persen dari total anggaran. Sisanya untuk kebutuhan lain berupa operasi, latihan, dan pendidikan.

 

Meski Kemenhan salah satu kementerian yang menerima anggaran terbesar dari APBN, anggaran pertahanan yang ada saat ini belum ideal karena berada pada kisaran 0,78 persen terhadap rasio produk domestik bruto (PDB). Itu pun bagian terbesar dari alokasi ini untuk dukungan manajemen, termasuk belanja pegawai.

 

Akibatnya, Kemenhan tak banyak memiliki ruang fiskal untuk modernisasi alutsista, yang berarti pula TNI tak memiliki kemewahan untuk mengoperasikan alutsista terbaik. Keterbatasan mata anggaran untuk modernisasi alutsista ini akan berdampak pula pada proses maintenance alutsista (perawatan rutin dan berkala) dan kesiapan tempur TNI dalam menjaga kedaulatan negara.

 

Merujuk data Bank Dunia per 2019, dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional saja, anggaran pertahanan Indonesia termasuk yang terendah. Malaysia mengalokasikan 1 persen dari PDB, Singapura 3,2 persen, Thailand 1,3 persen, bahkan Timor Leste juga 1 persen dari PDB.

 

Pertaruhan ruang kedaulatan

 

Anggaran Pertahanan RI sewajarnya besar karena wilayah yang luas dan kekayaan alam yang harus dijaga. Kekuatan militer yang lemah akan melemahkan posisi tawar dalam diplomasi, terutama jika menyangkut pelanggaran wilayah dan kedaulatan negara. Situasi keamanan Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dan geostrategis di kawasan regional; salah satunya adalah menajamnya potensi konflik di Laut China Selatan (LCS).

 

Pembelian alutsista ini tentu harus menyesuaikan dengan tren keamanan yang berkembang dalam lingkup geopolitik dan geostrategis. Dalam artian, sistem pertahanan kita sebagai sebuah bangsa hendaknya memafhumkan realitas hubungan internasional, di mana relasi antarnegara itu bersifat anarki, sehingga kesiapan sistem pertahanan dan ketahanan kita adalah pertaruhan atas ruang kedaulatan kita karena potensi konflik senantiasa di depan mata.

 

Kita tentu tidak ingin mengulang beban sejarah ketika kapasitas pertahanan dan ketahanan kita berada pada titik nadir sebagai efek embargo militer yang dijatuhkan kepada Indonesia. Kesiapan alutsista TNI yang sangat minim kala itu bahkan tak membuka peluang bagi personel militer kita untuk mengambil porsi besar dalam bantuan kemanusiaan kepada rakyat Aceh yang jadi korban keganasan tsunami Desember 2004.

 

Kemandirian alutsista

 

Di dalam ruang-ruang kedaulatan ini pula problematik pengadaan dan modernisasi alutsista mengemuka dan tentunya sangat diwarnai oleh konteks global.

 

Terlepas dari ini semua, modernisasi alutsista hendaknya berfokus pada kemandirian alutsista pertahanan, karena itu dukungan rakyat—baik dari kalangan DPR maupun masyarakat luas—dalam mengatasi masalah anggaran pertahanan menjadi salah satu kunci.

 

Selain itu, sangat diperlukan juga dukungan dunia usaha untuk membuka investasi dalam industri pertahanan seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.

 

Kerja sama badan usaha industri strategis dengan swasta, misalnya dalam pengembangan R&D, layak dipertimbangkan selama APBN tidak mencukupi anggaran pertahanan yang ideal.

 

Di negara-negara Barat, kalangan swasta inilah yang menjadi tulang punggung industri pertahanan karena terbukti mampu menciptakan dampak berganda pada sektor perekonomian nasional. Adapun keberadaan UU Cipta Kerja merupakan landasan hukum bagi partisipasi swasta dalam industri pertahanan ini.

 

Perbaikan manajemen anggaran pertahanan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran menjadi kunci lainnya dalam mengatasi masalah anggaran. Kemenhan akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi prinsip-prinsip good governance dan clean government; dalam artian, transparansi dan akuntabilitas terjaga.

 

Kunci berikutnya adalah pemeliharaan kesejahteraan prajurit dan keluarganya demi pengembangan profesionalisme. Kesempatan belajar—selain untuk jalur kepemimpinan—harus dibuka selebar-lebarnya agar TNI memiliki banyak pakar (pool of experts) dalam berbagai bidang untuk antisipasi kemungkinan peperangan di masa depan (future warfare).

 

Berjalan simultan dengan langkah ini adalah konsentrasi perekrutan para profesional yang dapat mendukung tugas TNI sebagai bagian dari Program Komponen Cadangan sesuai UU No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar