Kamis, 06 Mei 2021

 

Pendidikan Transformatif, Pentingkan Proses dan Substansi

Rakhmat Hidayat ;  Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Sekretaris Asosiasi Profesi Pendidik dan Peneliti Sosiologi Indonesia (AP3SI)

KOMPAS, 4 Mei 2021

 

 

                                                           

Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2020 dan 2021 sangat istimewa daripada tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang 2020, pendidikan nasional dihadapkan dengan kondisi pandemi Covid-19. Pandemi global ini memberikan dampak semua proses pendidikan berlangsung di rumah (daring/online/PJJ).

 

Pendidikan di Indonesia mengatur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan berbagai variannya. Dalam waktu bersamaan, semua jenis pendidikan itu tak bisa berfungsi sesuai dengan kapasitasnya. Pendidikan formal masih bisa berjalan dengan ragam kompleksitasnya. Sementara jutaan orang tergantung dari nasibnya pada praktik-praktik pendidikan nonformal yang tersebar di pelosok Indonesia.

 

Di sisi lain, orientasi pendidikan masih terjebak pada hasil, bukan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan masih dikelola dalam pendekatan tradisional, yaitu tatap muka. Pendekatan nontradisional yang tidak dengan tatap muka masih dianggap ”nonpedagogis” karena dianggap kurang efektif, tak substansial, dan sebagainya.

 

Masalah lain yang kita hadapi adalah infrastruktur pendidikan kita gagap dalam merespons krisis Covid-19. Daya dukung itu dalam bentuk platform teknologi digital. Infrastruktur terkait juga dengan sumber/media pembelajaran. Masalah koneksi/sinyal internet di daerah-daerah luar Jawa. Bagi masyarakat di Jawa, urusan sinyal/koneksi internet atau koneksi listrik masih bisa berjalan normal, tetapi itu masalah serius bagi yang tinggal di luar Jawa.

 

Bahkan, beberapa daerah di Jawa masih terkendala sinyal/koneksi internet/listrik.

 

Kehilangan esensi

 

Sama halnya 2020, peringatan Hardiknas 2021 menjadikan bahan refleksi pendidikan yang berlangsung pada era pandemi. Selama pandemi, praktik pendidikan ibarat menjadi paradoks dalam masyarakat kontemporer. Di satu sisi, kita merayakan apa yang disebut masyarakat digital, di mana semua lapisan masyarakat bisa menggunakan berbagai platform pendidikan.

 

Di sisi lain, penggunaan platform itu dengan keterbatasan ruang dan waktunya telah mengakibatkan pendidikan kehilangan esensinya. Pendidikan terlokalisasi ke dalam berbagai platform pendidikan yang mengurangi emansipasi pendidikan, yaitu mencerahkan individu. Pendidikan secara mekanis masih berjalan, tetapi krisis secara humanis. Pendidikan terjebak pada beban administratif agar tidak lumpuh sama sekali.

 

Pendidikan yang ada adalah etalase artifisial yang ditonjolkan semua aktornya, baik guru/dosen maupun murid/mahasiswa. Kita kesulitan menemukan ruang pendidikan otensitas karena sekat platform yang ada.

 

Ditambah masalah yang mengitarinya, seperti akses internet, gawai, dan sinyal. Ruang otensitas itu dijumpai pada kapasitas dialog, interaksi, pertukaran nilai dan budaya pendidikan yang seharusnya berlangsung kontinu di masyarakat. Pendidikan juga kehilangan nalar kritis dan sopan santun yang selama ini dipupuk di ruang pendidikan.

 

Atas nama digital, pendidikan memagari derajat interaksi dan keintiman interaksi itu. Yang ada adalah ruang virtual yang memanipulasi wajah pendidikan itu sendiri. Ruang virtual berjuang mengamankan pendidikan dari keterpurukannya dan kita semua tergopoh-gopoh menjalaninya.

 

Pada praktik artifisial itu, kita menyaksikan bagaimana murid/mahasiswa kehilangan motivasi untuk belajar dan kurang antusias mengikuti pelajaran. Mereka malah sibuk sendiri bermain gawai tanpa fokus mengikuti pelajaran dari guru/dosennya. Di sisi lain, kita menjumpai fenomena stres, depresi, dan kejenuhan dalam pembelajaran daring tersebut.

 

Secara psikologis, kondisi ini tak sehat. Tak ada tatap muka menyebabkan tak terwujudnya ruang dialog sebagai elan vital pendidikan. Pembelajaran daring sulit menciptakan dialog interaktif di ruang-ruang kelas. Dengan membangun dialog interaktif, pendidikan bisa berjalan pada jalur sebenarnya.

 

Dialog yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan membawa peserta didik melibatkan pada konteks pembelajaran yang berlangsung. Dialog antara ranah teoretis dan empirisme, yaitu dunia sosial masyarakat. Dalam membangun konteks tersebut berlangsung pertukaran pemikiran ataupun nilai yang berlangsung dialektis.

 

Adanya dialog interaktif itu memungkinkan kesadaran kritis terbentuk dalam praktik pendidikan. Pendidikan bukan sekadar penyampaian materi dan substansi materi kepada peserta didik. Pendidikan tak semata-mata menunaikan kewajiban administratif. Pendidikan memerlukan proses dialog, interaksi, dan penanaman nilai-nilai kebajikan (public virtue) secara sistematis melalui sekolah atau universitas.

 

Pendidikan dengan memberikan bantuan kuota dianggap menyelesaikan masalah, tetapi lebih penting adalah menyediakan lingkungan pendidikan yang mendukung proses pencarian esensi pendidikan itu sendiri. Pandemi telah mengikis proses pendidikan ini dan membawanya pada pragmatisme pendidikan. Ini membahayakan masa depan pendidikan jika kita tidak secara out of the box meresponsnya.

 

Pendidikan transformatif

 

Pada saat pendidikan kita mengalami defisit esensinya, kita juga disuguhi parade jargon dan slogan yang setiap hari berwara-wiri di dunia pendidikan. Dalam dua tahun ini kita sering mendengar slogan seperti ”Kampus Merdeka”, ”Merdeka Belajar”, ”Sekolah Penggerak”, atau ”Guru Penggerak”. Semua slogan itu bermunculan dalam alam bawah sadar pendidikan Indonesia. Seolah tanpa cela, terlegitimasikan dalam mekanisme pendidikan kita.

 

Semua berlomba mempraktikkan jargon itu sebagai manifestasi dari instrumentalisasi negara. Pada saat bersamaan, ketika sibuk memproduksi slogan itu, kesibukan lain muncul secara sporadis dengan berbagai polemik, seperti menghilangkan kata agama dalam Peta Jalan Pendidikan atau polemik Standar Nasional Pendidikan.

 

Fenomena ini menjadikan energi terkuras mengurus hal-hal yang tak substansial dan kian mengukuhkan kondisi di mana pendidikan kita berada di persimpangan jalan. Pendidikan terjebak dalam ruang delusional yang mahir memproduksi slogan dan imajinasi tanpa berkaca pada kenyataan yang ada. Fenomena delusi itu menjadikan arah pendidikan semakin absurd dan tercerabut dari konteks sosial budayanya.

 

Absurditas itu menjadikan pendidikan kehilangan akar epistemologisnya dan menjadikan individu semakin terasing dari pendidikan itu sendiri. Celakanya, sebagai kesadaran mekanistis, semua berlomba-lomba mewujudkan slogan tersebut dalam berbagai ranah.

 

Tanpa ditopang oleh celah kesadaran kritis di baliknya. Adanya berbagai program itu membuktikan pendekatannya lebih ke rasionalitas instrumental dalam program-program yang cenderung dipaksakan sesuai slogan yang ada. Padahal, yang lebih penting adalah penguatan kapasitas akademik seraya menyediakan ekosistem pendidikan yang mumpuni daripada sibuk mengampanyekan berbagai slogan tersebut.

 

Fenomena ini juga melahirkan sisi lain dalam bentuk proyek sebagai turunan dari slogan tersebut. Paradoks pendidikan ini membawa kita pada gagasan pendidikan transformatif yang menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap konteks sosial budaya dalam menciptakan keadilan sosial. Pendidikan transformatif lebih mementingkan proses dan kerangka substansial daripada panggung artifisial yang sarat dengan slogan dan jargon.

 

Dominasi pengetahuan teknis instrumental sebagaimana disajikan dalam berbagai proyek slogan itu bisa di-counter dengan pengetahuan kritis sebagai input dialog dalam ruang pendidikan.

 

Momentum Hardiknas 2021 sejatinya bisa sejenak merefleksikan fenomena ini seraya mengumpulkan energi yang berserakan untuk menata ulang pendidikan pascapandemi. Energi untuk menyusun puzzle dalam kontak pandora pendidikan Indonesia. Selamat Hardiknas 2021! ●

 

1 komentar: