Kamis, 06 Mei 2021

 

Membentengi Keselamatan Jurnalis

Herlambang P Wiratraman ;  Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Pengajar FH UNAIR, dan Penulis buku Press Freedom, Law and Politics in Indonesia (2014)

KOMPAS, 3 Mei 2021

 

 

                                                           

”Berharap, apa yang saya alami ini kekerasan terakhir terhadap jurnalis!”

 

(Nurhadi, jurnalis, 2021)

 

Publik dikejutkan dengan penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi, yang diduga dilakukan sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji, tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap pajak, akhir Maret 2021, di Surabaya. Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi saat ia menjalankan tugas jurnalistiknya. Kekerasan, diikuti dengan merampas alat kerja dan merusaknya (Kompas 29/3/2021).

 

Kini, kasus tersebut bergulir dan ditangani Polda Jatim. Sejumlah tersangka telah ditetapkan dan penegakan hukum memasuki proses penyidikan. Tentunya, komunitas jurnalis dan pendukung kebebasan pers berharap kasus ini berlanjut ke proses peradilan dan meneguhkan pertanggungjawaban hukum melalui penghukuman bagi siapa pun pelaku kekerasan.

 

Mengapa keselamatan jurnalis begitu rentan mendapat kekerasan? Apakah impunitas yang terjadi terkait sistem hukum pers yang lemah ataukah penegakan hukumnya yang tidak berfungsi baik? Tulisan ini menakar sejauh mana harapan jurnalis Nurhadi sebagaimana dikutip di sini menjadi lebih relevan.

 

Inisiatif Austria

 

Saat memenuhi undangan Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights, University of Geneva Law School, 2019, sempat berdiskusi panjang dengan wakil Misi Permanen Austria untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Austria, sebagai wakil negara yang berada di Dewan HAM PBB, berupaya meyakinkan memerangi impunitas dan mencegah serangan terhadap jurnalis.

 

Atas inisiatif Austria, perwakilan negara, pemangku kepentingan dari organisasi internasional dan masyarakat sipil serta ahli independen, mendukung dan bahkan mendorong pertemuan ahli tingkat tinggi tentang ”Keselamatan Jurnalis: Menuju Kerangka Perlindungan Internasional yang Lebih Efektif” (23/11/2012).

 

Pada sesi ke-20 Dewan HAM PBB, Juni 2012, Deklarasi tentang ”Keselamatan Jurnalis” diadopsi dan mendapat dukungan resmi dari 56 negara. Puncaknya, sesi ke-21 Dewan HAM PBB, terbit resolusi tentang Keselamatan Jurnalis.

 

Resolusi ini mendapatkan tidak hanya sponsor utama dari Brasil, Maroko, Swiss, dan Tunisia, tetapi juga mendapat dukungan dari 67 negara sebagai sponsor bersama (co-sponsors). Perkembangan terakhir, Dewan HAM PBB telah mengeluarkan Resolusi Keselamatan Jurnalis (A/HRC/RES/39/6, 27/10/2018) dan diikuti oleh Majelis Umum PBB yang pula mengeluarkan Resolusi Keselamatan Jurnalis dan Isu Impunitas (A/RES/74/157, 18/12/2019).

 

Hal mendasar dari resolusi ini adalah mengutuk keras semua jenis serangan terhadap jurnalis, menyerukan penyelidikan independen dan mengadili pelaku, serta untuk implementasi tindakan pencegahan, seperti program perlindungan bagi jurnalis. Inisiatif Austria hingga diadopsinya resolusi melengkapi UNESCO yang saat ini mengimplementasikan Rencana Aksi untuk Melindungi Jurnalis dari Kekerasan dan Intimidasi.

 

Tren kekerasan

 

Inisiatif maju di Geneva bertolak belakang dengan realitas serangan terhadap jurnalis. Catatan Federasi Internasional Jurnalis (IFJ, 2021) menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, lebih dari 600 jurnalis terbunuh. Sembilan dari sepuluh kasus tetap tidak diproses hukum. Akibatnya, iklim impunitas menguat.

 

Di sisi lain, ratusan jurnalis dipenjara dan setiap hari jurnalis diserang, dipukuli, ditahan, dilecehkan, dan diintimidasi. Bahkan, kini, terjadi peningkatan ancaman terhadap keamanan digital, peretasan, pelecehan online, terutama terhadap jurnalis perempuan, yang semuanya melahirkan krisis keselamatan bagi jurnalis.

 

Dalam hitungan Lembaga Pers Internasional (IPI, 2020), tercatat lebih dari 1.700 jurnalis telah terbunuh akibat aktivitas profesional mereka sejak tahun 2000 (per 28 Oktober 2020). Pada 2020, terdapat 39 jurnalis terbunuh di seluruh dunia, setelah tahun sebelumnya 79 jurnalis terbunuh.

 

Dari data itu, kasus yang diproses hukum sangat rendah, sekitar 94 persen dari kasus yang dilaporkan. Terakhir, diberitakan dua wartawan Spanyol, David Beriain dan Roberto Fraile, tewas terbunuh di Burkina Faso karena liputan dokumenter (Kompas, 28/4/2021, hal 4).

 

Jumlah korban sebenarnya berkali-kali lebih tinggi karena penyerangan terhadap jurnalis online ataupun offline terus meningkat. Meningkatnya serangan terhadap jurnalis dan media kritis sesungguhnya terkait dengan tren menurunnya kualitas demokrasi di sejumlah negara.

 

Bagaimana Indonesia?

 

Dalam konteks Indonesia, serangan terhadap jurnalis berpusat pada dua isu, pengungkapan kasus korupsi dan kasus eksploitasi sumber daya alam secara eksesif, termasuk saat meliput penolakan revisi UU KPK 2019 dan UU Cipta Kerja 2020. Pengungkapan kasus dan penegakan hukumnya lebih banyak memperlihatkan fakta impunitas.

 

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI, 2020) memperlihatkan, setidaknya 84 kasus serangan atau kekerasan menyasar jurnalis di sejumlah daerah sepanjang 2020 dan mayoritas tidak pernah diusut oleh penegak hukum.

 

Jurnalis rentan mendapat kekerasan karena tiga faktor dominan. Pertama, impunitas yang terus menguat. Penegak hukum konvensional kerap menghadirkan bukti kekerasan. Akibatnya, jarang diproses hukum. Apabila diproses, lemah argumentasi hukumnya. Persidangan kasus Ghinan (Radar Madura, Bangkalan) yang dianiaya belasan orang saat liputan berakhir dengan dibebaskannya pelaku kekerasan.

 

Kedua, dominasi politisasi kasus. Kekerasan terhadap jurnalis kerap melibatkan orang kuat, jaringan kekuasan partai, politisi atau pemodal, yang mengintervensi penegakan hukum. Kepercayaan publik yang rendah terhadap penegakan hukum seakan menggampangkan kekerasan di ruang publik.

 

Kasus pembunuhan jurnalis Prabangsa memperlihatkan betapa upaya penegakan hukumnya berliku-liku terkait politisasi kekuasaan sehingga perlu ”lampu hijau” dari petinggi partai untuk memproses hukumnya (Wiratraman, 2014).

 

Ketiga, dukungan perlindungan jurnalis di internal perusahaan pers juga terbatas, atau bahkan tidak ada. Sering kali kekerasan terhadap jurnalis dipaksakan penyelesaian secara damai. Pemilik media justru ikut menekan jurnalis, termasuk dengan alasan merugikan ekonomi perusahaan pers.

 

Sayangnya, penegakan hukum pers melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, terutama Pasal 18 Ayat (1) terkait ”menghambat dan menghalangi” kegiatan jurnalistik tidak digunakan secara optimal oleh penegak hukum. Untuk menjaga dan membentengi keselamatan jurnalis, diperlukan komitmen politik kuat mendorong kewajiban negara melindungi jurnalis serta memastikan kondisi kerja yang aman.

 

Keselamatan jurnalis mendasar untuk mewujudkan hak universal atas informasi, kebebasan berekspresi dan media, sekaligus menjaga prinsip demokrasi. Dukungan keselamatan jurnalis tidak akan kuat bentengnya jika tidak ada upaya bersama organisasi media, perwakilan masyarakat sipil, organisasi internasional, serta jurnalis dan pekerja media itu sendiri, menjaga dan mengembangkan iklim kebebasan pers. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar