Jumat, 22 Mei 2015

Rohingya, Dendam dan Mainan Politik Junta

Rohingya, Dendam dan Mainan Politik Junta

Smith Alhadar  ;   Staf Ahli Di Institute Democracy Education (ide)
TEMPO, 21 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak junta militer Myanmar membuat sejumlah kebijakan diskriminatif dan menindas etnis Rohingya, kemudian menggunakan warganya sendiri untuk "mengusir" warga pendatang ini, semua menjauhinya. Tidak ada lagi negara yang bersedia menampung mereka.

Bertolak dari Bangladesh, orang perahu (boat people) itu dipingpong oleh Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada saat yang sama, Australia juga menolak mereka tanpa kompromi. Akibatnya, ribuan orang Rohingya di atas perahu reyot terkatung-katung di perairan Selat Malaka. Anehnya, bukannya memikul tanggung jawab, junta militer Myanmar justru menyalahkan mitra regional yang tak mau lagi menampung mereka.

Penolakan mitra regional dan Australia sebenarnya masuk akal. Mereka telah menampung ribuan orang Rohingya. Sejauh ini, Indonesia bahkan telah menampung 12 ribu orang, sedangkan Malaysia sekitar 40 ribu orang. Alasan penolakannya, apabila permintaan suaka orang Rohingya dikabulkan begitu saja setiap kali mereka mendarat di negara-negara ASEAN dan Australia, akan lebih banyak lagi pengungsi yang berdatangan.

Kewargaan negara orang Rohingya tidak diakui oleh junta militer. Kata Rohingya tidak dipakai dalam penyebutan etnis ini, baik dalam pemberitaan media cetak, elektronik, radio, maupun dalam pelajaran sekolah. Mereka disebut Bengali atau migran gelap dari Bangladesh.

Akses pendidikan kepada mereka sangat terbatas. Kalaupun ada yang bisa sampai universitas, mereka dilarang belajar di jurusan teknik atau kedokteran. Akibatnya, rasio dokter-pasien di Arakan (Rakhine) yang dihuni Rohingya sangat timpang. Di Myanmar, rata-rata satu dokter untuk 700-1.000 pasien. Di Arakan, satu dokter untuk 13 ribu pasien, sehingga tingkat kematian bayi sangat tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan populasi Rohingya.

Mereka juga hanya boleh memiliki dua anak. Tapi pembatasan itu tidak berlaku bagi suku lain. Mereka juga dilarang berpindah tempat tinggal. Dan perkawinan mereka harus mendapat izin dari pemerintah.

Diskriminasi dan kekerasan terhadap Rohingya dimulai pada 1974. Sebelumnya, istilah Rohingya sudah dipakai sebagai salah satu suku di Myanmar. Junta militer kemudian menghapusnya karena dianggap sebagai ancaman keamanan dan identitas nasional. UU Imigrasi Tahun 1974 meniadakan suku Rohingya. Lalu, UU Kependudukan Tahun 1982 tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu suku resmi. Apa sesungguhnya yang mendasari pandangan militer Myanmar terhadap Rohingya? Paling tidak, ada empat variabel yang melatarinya.

Pertama, dendam sejarah. Sudah sejak abad ke-15 muslim keturunan Arab, Persia, dan Pashtun menetap di Arakan. Ketika Raja Narameikhla (1430-1434) bertakhta di Kerajaan Mrauk U (Arakan), ia tunduk pada Kesultanan Bengali yang membantunya mengalahkan kaum Buddha Myanmar yang menyerang kerajaan. Pada 1785, Myanmar menduduki Arakan dan membantai ribuan kaum muslim. Jumlah kaum muslim meningkat lagi saat Inggris menduduki Arakan pada abad ke-19. Orang Bengali (Bangladesh) dalam jumlah besar didatangkan dari Inggris untuk bekerja di tanah pertanian di Arakan yang subur.

Pada Perang Dunia II, Inggris mempersenjatai Rohingya untuk menghadapi serbuan Jepang. Namun yang terjadi adalah konflik komunal antara Rohingya dan kaum Buddha yang menempati Arakan bagian utara. Banyak orang, biara, pagoda, dan rumah kaum Buddha dihancurkan oleh Rohingya. Maka terjadi polarisasi yang tajam antara dua etnis ini. Sejarah kelam ini rupanya dijadikan acuan oleh junta militer yang menganggap kaum muslim tidak loyal kepada Myanmar, yang menganut ajaran Buddha.

Kedua, junta militer pun berkaca pada suku muslim Uighur di Cina, Pathani di Thailand, dan Moro di Filipina, yang terus memberontak terhadap pemerintah pusat. Yang tidak dijadikan pertimbangan junta adalah suku-suku muslim itu punya sejarah kerajaan sendiri pada masa lalu, sedangkan sekarang mereka hanyalah etnis kecil dalam lautan masyarakat non-muslim yang berkuasa atas mereka. Di wilayah-wilayah muslim itu didatangkan komunitas non-muslim dalam jumlah besar dengan maksud menghilangkan identitas agama dan kewilayahan muslim. Jadi, masalahnya adalah keadilan, bukan kecacatan agama atau etnis.

Ketiga, Rohingya dijadikan obyek permainan politik junta untuk menutupi masalah ekonomi dan politik yang suram. Agama Buddha yang mencintai kedamaian dan perdamaian diradikalisasi melalui propaganda anti-Rohingya.

Keempat, sikap lunak AS dan negara regional. AS mencabut sanksi ekonomi atas Myanmar tanpa syarat. Sedangkan Malaysia, karena pertimbangan geopolitik, bersikap ramah terhadap junta militer. PM Malaysia baru sekarang mengambil sikap terhadap penguasa Myanmar setelah mendapat tekanan kuat dari rakyat Malaysia. Indonesia pun, pada masa pemerintahan Yudhoyono, meminta Organisasi Kerja Sama Islam untuk tidak bersikap keras terhadap Myanmar.

Dengan adanya perubahan sikap Indonesia, Malaysia, dan Thailand, serta tekanan AS dan PBB saat ini, diharapkan rezim Myanmar mau mengubah sikap zalimnya terhadap Rohingya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar