Rohingya,
Dendam dan Mainan Politik Junta
Smith Alhadar ; Staf
Ahli Di Institute Democracy Education (ide)
|
TEMPO, 21 Mei 2015
Sejak
junta militer Myanmar membuat sejumlah kebijakan diskriminatif dan menindas
etnis Rohingya, kemudian menggunakan warganya sendiri untuk
"mengusir" warga pendatang ini, semua menjauhinya. Tidak ada lagi
negara yang bersedia menampung mereka.
Bertolak
dari Bangladesh, orang perahu (boat
people) itu dipingpong oleh Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada saat
yang sama, Australia juga menolak mereka tanpa kompromi. Akibatnya, ribuan
orang Rohingya di atas perahu reyot terkatung-katung di perairan Selat
Malaka. Anehnya, bukannya memikul tanggung jawab, junta militer Myanmar
justru menyalahkan mitra regional yang tak mau lagi menampung mereka.
Penolakan
mitra regional dan Australia sebenarnya masuk akal. Mereka telah menampung
ribuan orang Rohingya. Sejauh ini, Indonesia bahkan telah menampung 12 ribu
orang, sedangkan Malaysia sekitar 40 ribu orang. Alasan penolakannya, apabila
permintaan suaka orang Rohingya dikabulkan begitu saja setiap kali mereka
mendarat di negara-negara ASEAN dan Australia, akan lebih banyak lagi
pengungsi yang berdatangan.
Kewargaan
negara orang Rohingya tidak diakui oleh junta militer. Kata Rohingya tidak
dipakai dalam penyebutan etnis ini, baik dalam pemberitaan media cetak,
elektronik, radio, maupun dalam pelajaran sekolah. Mereka disebut Bengali
atau migran gelap dari Bangladesh.
Akses
pendidikan kepada mereka sangat terbatas. Kalaupun ada yang bisa sampai
universitas, mereka dilarang belajar di jurusan teknik atau kedokteran.
Akibatnya, rasio dokter-pasien di Arakan (Rakhine) yang dihuni Rohingya
sangat timpang. Di Myanmar, rata-rata satu dokter untuk 700-1.000 pasien. Di
Arakan, satu dokter untuk 13 ribu pasien, sehingga tingkat kematian bayi
sangat tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan populasi Rohingya.
Mereka
juga hanya boleh memiliki dua anak. Tapi pembatasan itu tidak berlaku bagi
suku lain. Mereka juga dilarang berpindah tempat tinggal. Dan perkawinan
mereka harus mendapat izin dari pemerintah.
Diskriminasi
dan kekerasan terhadap Rohingya dimulai pada 1974. Sebelumnya, istilah
Rohingya sudah dipakai sebagai salah satu suku di Myanmar. Junta militer
kemudian menghapusnya karena dianggap sebagai ancaman keamanan dan identitas
nasional. UU Imigrasi Tahun 1974 meniadakan suku Rohingya. Lalu, UU
Kependudukan Tahun 1982 tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu suku
resmi. Apa sesungguhnya yang mendasari pandangan militer Myanmar terhadap
Rohingya? Paling tidak, ada empat variabel yang melatarinya.
Pertama,
dendam sejarah. Sudah sejak abad ke-15 muslim keturunan Arab, Persia, dan
Pashtun menetap di Arakan. Ketika Raja Narameikhla (1430-1434) bertakhta di
Kerajaan Mrauk U (Arakan), ia tunduk pada Kesultanan Bengali yang membantunya
mengalahkan kaum Buddha Myanmar yang menyerang kerajaan. Pada 1785, Myanmar
menduduki Arakan dan membantai ribuan kaum muslim. Jumlah kaum muslim
meningkat lagi saat Inggris menduduki Arakan pada abad ke-19. Orang Bengali
(Bangladesh) dalam jumlah besar didatangkan dari Inggris untuk bekerja di
tanah pertanian di Arakan yang subur.
Pada
Perang Dunia II, Inggris mempersenjatai Rohingya untuk menghadapi serbuan
Jepang. Namun yang terjadi adalah konflik komunal antara Rohingya dan kaum
Buddha yang menempati Arakan bagian utara. Banyak orang, biara, pagoda, dan
rumah kaum Buddha dihancurkan oleh Rohingya. Maka terjadi polarisasi yang
tajam antara dua etnis ini. Sejarah kelam ini rupanya dijadikan acuan oleh
junta militer yang menganggap kaum muslim tidak loyal kepada Myanmar, yang
menganut ajaran Buddha.
Kedua,
junta militer pun berkaca pada suku muslim Uighur di Cina, Pathani di
Thailand, dan Moro di Filipina, yang terus memberontak terhadap pemerintah
pusat. Yang tidak dijadikan pertimbangan junta adalah suku-suku muslim itu
punya sejarah kerajaan sendiri pada masa lalu, sedangkan sekarang mereka
hanyalah etnis kecil dalam lautan masyarakat non-muslim yang berkuasa atas
mereka. Di wilayah-wilayah muslim itu didatangkan komunitas non-muslim dalam
jumlah besar dengan maksud menghilangkan identitas agama dan kewilayahan
muslim. Jadi, masalahnya adalah keadilan, bukan kecacatan agama atau etnis.
Ketiga,
Rohingya dijadikan obyek permainan politik junta untuk menutupi masalah
ekonomi dan politik yang suram. Agama Buddha yang mencintai kedamaian dan
perdamaian diradikalisasi melalui propaganda anti-Rohingya.
Keempat,
sikap lunak AS dan negara regional. AS mencabut sanksi ekonomi atas Myanmar
tanpa syarat. Sedangkan Malaysia, karena pertimbangan geopolitik, bersikap
ramah terhadap junta militer. PM Malaysia baru sekarang mengambil sikap
terhadap penguasa Myanmar setelah mendapat tekanan kuat dari rakyat Malaysia.
Indonesia pun, pada masa pemerintahan Yudhoyono, meminta Organisasi Kerja
Sama Islam untuk tidak bersikap keras terhadap Myanmar.
Dengan
adanya perubahan sikap Indonesia, Malaysia, dan Thailand, serta tekanan AS
dan PBB saat ini, diharapkan rezim Myanmar mau mengubah sikap zalimnya
terhadap Rohingya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar