Selasa, 12 Mei 2015

PK dan Menertawakan Keberagaman

PK dan Menertawakan Keberagaman

Gunawan Raharja  ;  Buruh Film
KOMPAS, 11 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PK bukan singkatan dari istilah hukum pengajuan kembali. PK ini adalah judul film India yang baru-baru ini diputar di bioskop.

Menceritakan tentang seorang laki-laki yang dinamakan PK (diperankan oleh Amir Khan) yang artinya mabuk. Ia berasal dari planet lain dan turun ke Bumi. Masalah menjadi ruwet ketika remote control yang menjadi alat komunikasi dengan planetnya direbut orang. Jadilah dia luntang lantung di Bumi ini.

Pertemuannya dengan tokoh Jaggu (Anushka Sharma), seorang jurnalis TV membuat film ini semakin menelanjangi kehidupan masa kini. Ada praktik kebusukan dari tokoh polisi yang menerima suap, sampai bagaimana institusi agama yang dipuja ternyata tidak lebih dari sekadar manifestasi dari idiom Tuhan yang dikomersialkan.

Film ini mengaduk-aduk hakikat agama dan Tuhan. Awalnya bercerita tentang makhluk planet yang nyasar ke Bumi dan harus belajar tatanan hidup ala manusia. Dari bagaimana memakai baju-karena ia turun ke Bumi dalam kondisi telanjang-sampai mati-matian belajar bahasa.

Logika manusia tentang agama dan Tuhan diobrak-abrik oleh tokoh ini. Ia mencari Tuhan karena, menurut manusia, hanya Dia yang bisa menolong.

Sutradara dan penulis skenario Rajkumar Hirani genius untuk tidak menjadikan karakter PK sebagai manusia. Karena ia makhluk luar angkasa, dengan mudah ia bisa menjungkirbalikkan logika, menertawakan, bahkan membuat aturan-aturannya sendiri. Film ini mengalir dengan cerdas dan menjadikan manusia Bumi sebagai obyek ketololannya sendiri. Agama dan norma menjadi bahan dagelan.

Film adalah bahasa universal. Ia bisa menjadi jembatan perbedaan kebudayaan dan peradaban tanpa melihat batas wilayah. Dari zaman Hitler yang menjadikan film sebagai alat propaganda, sampai Hollywood yang memulai film sebagai industri hiburan bernilai jutaan dollar.

Film juga dianggap sebagai media cuci otak sampai penyebar ideologi tertentu oleh sebagian kalangan. Generasi yang lahir di Orde Baru tentu ingat ketika diharuskan menyaksikan film Pengkhianatan G30S PKI. Atau "ketakutan" badan sensor terhadap film Joshua Oppenheimer sehingga merasa perlu untuk melarang pemutaran filmnya, pun pada kalangan yang terbatas.

Memahami keberagaman

Bagaimana memahami sebuah diktum, agama atau ajaran dan sebangsanya yang sudah diyakini kebenarannya oleh umatnya?

Penjungkirbalikan atas kepercayaan tersebut akan memunculkan pertentangan atau chaos. Sudah terlalu banyak bukti bahwa ketika agama atau ajaran dipertentangkan, muncul perang besar atau kisruh.

Manusia cenderung untuk melihat perbedaan dengan makna baru, misalnya harmoni di atas ketidaksamaan atau berbeda satu-satu. Berusaha untuk memaknai sebuah perbedaan dengan mencoba untuk diam, tidak saling mengganggu. Jika muncul persoalan yang berkaitan dengan hal itu, cara yang paling mudah adalah dengan duduk bersama, mencoba untuk menahan diri. Biasanya persoalan tersebut akan selesai sementara. Akan tetapi, akar konflik tetap ada karena memang persoalan tidak diselesaikan secara tuntas.

Film PK memberikan keleluasaan wacana di antara berbagai persoalan keberagaman agama di India. Bagaimana PK bertemu dengan tokoh agama bernama Tapasvi-Ji (yang diperankan oleh Saurabh Shukla) yang menjadi pusat konflik film ini, beradu pendapat tidak untuk mencari siapa yang benar, tetapi demi mengedepankan berbagai pertanyaan sekaligus jawaban yang menarik. PK memberi istilah salah sambung terhadap berbagai interpertasi eksistensi Tuhan. Menurut dia, agama dan Tuhan tergantung kepada siapa yang menginterpertasikannya, dalam hal ini para tokoh agama.

Ini adalah salah satu cara untuk memahami keberagaman. India adalah bangsa negara dengan banyak suku dan agama. Hampir sama dengan Indonesia.

Dalam PK semua perbedaan agama dalam keberagaman itu menjadi sebuah cerita yang menarik. Penonton dalam berbagai perbedaan tidak merasa bahwa mereka hadir terwakili dalam film tersebut.

Memahami sebuah keberagaman menjadi hal penting dalam pluralisme agama, yang masih saja menjadi akar persoalan sejak Orde Lama dan eskalasinya semakin meningkat setelah era reformasi. Ini menarik karena dengan terbukanya banyak hal -termasuk agama-seharusnya perbincangan yang sifatnya dialogis dan praktis bisa dilakukan dalam berbagai forum. Tidak harus dalam bentuk forum lintas agama yang formal, tetapi juga dalam bentuk yang berbeda, misalnya dengan film atau model berkesenian lainnya.

Perlu kelegaan hati untuk sadar dan paham bahwa sebuah masalah bisa dikemas dalam bentuk yang sederhana dan mudah dipahami. Film adalah bahasa yang gampang, tanpa mengenal batasan usia atau tingkat intelektualitas tertentu. Hanya memang harus ada keleluasaan paradigmatis, yakni tetap melihat urgensi film sebagai bentukan hiburan.

Film Hijab karya sutradara Hanung Bramantyo beberapa waktu lalu dihujat. Karena dianggap melakukan pencitraan terhadap hijab dengan cara yang salah. Tentu saja itu menjadi hak penonton untuk mengkritik film yang ditontonnya. Akan tetapi, yang perlu dilihat dari sisi yang positif adalah bagaimana seorang kreator berusaha untuk menangkap tren hijab ini sebagai bagian dari salah satu ritual beragama. Persoalan kemasan menjadi diskusi panjang, tergantung dari sisi mana melihatnya.

Tidak lepas hujatan

Film PK juga tidak lepas dari hujatan. All Indian Moslem Personal Law Board (AIMPLB) sebuah organisasi Islam non-pemerintah menyatakan bahwa komite sensor film seharusnya mempertimbangkan aspek non- estetika dalam film tersebut.

Kecaman juga dilontarkan oleh kelompok masyarakat Sayap Kanan Hindu, yaitu Janajagruti Samiti. Mereka mengatakan bahwa PK sudah menyakiti sentimen masyarakat mayoritas India yang beragama Hindu. Namun, film ini tetap beredar di bioskop India, bahkan meraih box office.

Mari mensyukuri keberagaman karena keberagaman bukanlah sebuah perbedaan dengan dimaknai secara kasat mata. Keberagaman adalah sebuah kekayaan teks dan wacana yang membuat peradaban berwarna.

Ungkapan menarik pernah dikatakan oleh pasangan Brad Pitt dan Angelina Jolie. Pasangan ini mengadopsi tiga anak dari tiga negara yang berbeda, yakni Vietnam, Kamboja, dan Etiopia, sehingga total mereka mempunyai enam anak. Brad Pitt menyatakan bahwa ketiga anak kandungnya akan banyak belajar agama dan budaya dari saudara-saudaranya.

"Anak-anak saya akan tumbuh menjadi manusia yang paling mengerti tentang siapa dirinya, bagaimana isi dunia dan beragam agama yang ada," katanya (People, September 2014).

Proses menikmati keberagaman bukan hal yang mudah. Awalnya rentan akan friksi dan berujung pada masalah. Namun, memahami keberagaman sebagai sebuah kekayaan akan membuat manusia paham bahwa inilah proses sebuah peradaban. Bahwa segala sesuatu lahir dan ada karena adanya perbedaan. Seperti hakikat manusia yang lahir dengan fitrah laki-laki dan perempuan, untuk kemudian saling jatuh cinta dan meneruskan keturunannya. Kita ada karena keberagaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar