Perjalanan
Diplomasi Kita
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Direktur Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 29 April 2015
Seorang pegawai yang
sekaligus anggota serikat pekerja Perusahaan Listrik Negara mengeluhkepada
saya dalamsebuah kesempatan lokakarya, tentang rendahnya penghargaan dan
penghormatan masyarakat terhadap peran pekerja dalam menyalurkan listrik ke
rumah tangga.
Masyarakat tidak tahu
bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh para pegawai tersebut tidak hanya teknis,
tetapi juga bernilai pengabdian tinggi karena sesungguhnya tenaga yang mereka
curahkan lebih besar dari penghargaan yang diterima, baik dari sisi ekonomi
maupun sosial.
Misalnya pada saat
terjadi mati listrik, sebenarnya ada banyak hal yang telah diupayakan untuk
dilakukan di tengah segala keterbatasan fasilitas pendukung di perusahaan,
antara lain suku cadang yang sudah tidak diproduksi, manual generator yang
berbahasa Mandarin, kualitas bahan bakar yang di bawah syarat.
Pengalaman para
pekerja itu merangsang kita untuk mengkaji kembali dan membandingkan konsep
diplomasi “A Thousand Friend, Zero
Enemy” yang menjadi garis kebijakan politik luar negeri pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan politik luar negeri
Presiden Joko Widodo.
Beberapa orang yang
merasa letih dan jenuh dengan kejadian dan insiden-insiden hubungan luar
negeri belakangan ini tiba-tiba merindukan suasana yang tenang, nyaman, dan
senang dengan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Mungkin kurang
tegas, tetapi tidak menimbulkan keresahan yang bertubi-tubi. Namun, pandangan
lain mengatakan bahwa bentuk diplomasi seperti saat inilah yang dibutuhkan
Indonesia.
Alasannya agar
Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang
berdaulat dan kuat. Pandangan ini tampaknya lebih dominan karena disuarakan
mulai dari lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Saya belum membaca
satu pun pendapat yang berbeda dari para pejabat negara atau tokoh politik
yang melawan arus kebijakan dominan saat ini.
Memang, selama 10
tahun pemerintahan SBY, belum pernah ada ketegangan antarnegara yang sumber
utama keluhannya adalah pilihan politik kepala negara Indonesia. Hal inilah
yang justru kini sedang dihadapi Indonesia terkait keputusan Presiden Joko
Widodo untuk tidak memberikan grasi ataupun pengampunan terhadap para
terpidana narkoba.
Masalah yang selama
ini paling sering dihadapi adalah dengan negara tetangga kita seperti
Malaysia, Singapura, dan Australia. Mulai urusan tenaga kerja Indonesia,
masalah asap, illegal fishing,
pengungsi, hingga pengaturan wilayah batas udara. Meskipun menyulut emosi,
hal-hal tersebut dianggap relatif wajar karena secara geografis kita
berdekatan dengan negara-negara tersebut, sehingga interaksi yang cukup
intens berpotensi menimbulkan gesekan yang mengganggu.
Bila dibandingkan
dengan protes keras sejumlah negara terkait keputusan Presiden Joko Widodo
untuk tidak sedikit pun menggunakan wewenang pemberian grasi atau pengampunan
pada para terpidana mati, efek emosinya menyulut bahkan penduduk di
negara-negara yang jauh.
Warga negara Filipina,
Prancis, Australia, bahkan pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa pun
mengirimkan pesan keprihatinan, kecaman, bahkan ancaman. Aksi protes
diplomatik pun sudah dilayangkan, seperti penolakan duta besar Indonesia
untuk Brasil dan kini rencana penarikan duta besar Prancis dari Indonesia.
Kenyataan tersebut cukup mengagetkan banyak pihak, baik diplomat, analis,
akademisi, aktivis; tidak hanya yang bermukim di Indonesia, tetapi juga yang
di luar negeri.
Hubungan Indonesia
dengan negara-negara tersebut dan juga dengan PBB selama ini selalu diwarnai
suasana bersahabat. Tidak terbetik firasat hubungan yang memburuk. Namun
tiba-tiba dalam enam bulan terakhir, kita dihadapkan dengan status relasi
diplomatik terburuk dengan mereka semua.
PBB bahkan memberikan
nilai terendah (E) karena pemerintah abai akan peringatan sebelumnya untuk
segera melakukan moratorium hukuman mati bagi terpidana narkoba sebagai wujud
komitmennya pada Kovenan Internasional tentang Perlindungan Hak Sipil dan
Politik.
Kita masih ingat
bahkan dengan tetangga kita Malaysia dan Singapura, yang relatif sering
“ramai” tidak pernah terjadi sikap saling ancam yang berujung pada penarikan
duta besar. Frekuensi pertengkaran kita dengan mereka relatif lebih sering
dibandingkan antara Indonesia dan Prancis atau Brasil, sesering munculnya
musim kemarau yang menyulut kebakaran di Pulau Sumatera, tetapi mengapa
justru Prancis dan Brasil rela untuk mengambil opsi terburuk dalam relasi
diplomatik?
Kita juga masih ingat
bahwa ketika terjadi ketegangan dengan Australia menyusul berita penyadapan
pada presiden dan ibu negara, kondisi hubungan bilateral Indonesia-Australia
sempat memburuk. Sempat terjadi pemanggilan duta besar, namun dalam waktu
relatif singkat komunikasi diplomatik kembali terhubung yang kemudian
melahirkan nota kesepahaman seputar kerja sama pertukaran informasi.
Tak sedikit pun kerja
sama di bidang lain terancam putus. Hubungan Indonesia dengan PBB juga dapat
dikatakan produktif. Indonesia terbilang aktif dalam hampir segala kegiatan
PBB, namun dikenal juga kritis. Kita rutin mengirimkan tentara perdamaian ke
berbagai negara, aktif di ILO, WHO, dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya,
termasuk dalam mendorong gerakan antiperubahan iklim.
Namun, Indonesia tetap
kritis untuk mendorong reformasi PBB sejak 2000. Contohnya adalah pidato
Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda pada 27 September 2008 yang menyerukan
reformasi hak veto lima negara agar PBB lebih demokratis.
Ia menyatakan bahwa lima
negara pemegang hak veto (Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan
China) telah menyalahgunakan hak veto yang dapat membahayakan eksistensi
Dewan Keamanan PBB yang awalnya justru ditujukan untuk menjaga perdamaian
dunia.
Dalam Sidang Majelis
Umum PBB itu, Menteri Wirajuda mengatakan bahwa demokratisasi Dewan Keamanan
PBB juga berarti distribusi hak keanggotaan yang lebih adil—tidak hanya dalam
hal perwakilan geografis yang saat ini pun terbilang belum adil, tetapi juga
dalam hal jumlah penduduk (constituencies).
Melalui Menteri
Wirajuda, Indonesia pernah menyatakan wakil-wakil peradaban besar di dunia
harus secara proporsional terwakili keanggotaannya dalam Dewan Keamanan PBB.
Artinya bahwa komunitas 1,1 miliar umat muslim perlu terwakili juga di sana
supaya lembaga itu lebih demokratis.
Saya tidak ingin
menyimpulkan lebih lanjut tentang kondisi politik luar negeri Indonesia saat
ini. Namun, kita perlu mengingat hal-hal baik apa saja yang pernah kita
kontribusikan pada dunia.
Seperti pekerja PLN
yang saya sebutkan di awal, pencapaian kita saat ini sebenarnya dilakukan
melalui kerja dan pengorbanan dalam waktu dan jumlah yang besar, yang mungkin
tidak diketahui atau disadari oleh banyak orang. Mudah-mudahan modal tersebut
tidak kita sia-siakan demi menjaga kepentingan bangsa dalam jangka yang lebih
panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar