Merayakan
Belajar
Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
JAWA POS, 01 Mei 2015
Memasuki usia ke-70
tahun, dalam dekade kedua abad ke-21, NKRI masih dirundung banyak persoalan
kronis. Dalam upaya memanen bonus demografi (nisbah jumlah penduduk usia
produktif dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ditanggung lebih dari 0,5)
beberapa analisis menunjukkan bahwa kita bakal gagal menyiapkan warga usia
produktif tersebut agar benar-benar produktif, terutama secara ekonomi. Yang
sering dituding sebagai penyebabnya adalah lamanya mereka bersekolah yang
hanya sekitar tujuh tahun (lulusan SD). Program wajib sekolah sembilan tahun
(hingga SMP/sederajat) semula menjadi resep pokok memanen bonus demokrasi
itu. Lalu, sekarang digagas wajib sekolah 12 tahun (SMA/sederajat).
Baru-baru ini mantan
Wapres Boediono menunjukkan bahwa berdasar temuan-temuan neurosains, kita
harus lebih memperhatikan usia emas (0–6) warga muda Indonesia. Pada masa-masa
tersebut, pembentukan otak manusia sebagai pusat saraf adalah periode yang
paling sensitif untuk memperoleh stimulan yang cukup, terutama dari aspek
gizi. Gejala kurang gizi yang semakin banyak diderita anak balita Indonesia
akan menjadi ancaman serius upaya kita untuk memanen bonus demografi tersebut
yang terjadi mungkin dalam seribu tahun lagi.
Tulisan pendek ini
mengusulkan sebuah cetak biru lain yang bisa segera ditempuh untuk
memperbaiki situasi yang merisaukan itu. Pertama, kita harus mengurangi, jika
tidak menghilangkan, pendekatan dan dominasi persekolahan (schooling) dalam sistem pendidikan
nasional kita. Kita harus berfokus kepada belajar (learning). Kedua, dengan mengikuti wasiat Ki Hadjar Dewantara,
kita harus memperkuat keluarga dan masyarakat dalam sistem pendidikan nasional
tersebut. Dua hal tersebut saya sebut deschooling,
sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Romo Ivan Illich sekitar 45 tahun lalu
untuk memperbaiki pendidikan di Amerika Latin.
Di mana-mana
pendekatan persekolahan terbukti semakin tidak efektif dalam meningkatkan
keterdidikan kita. Yang selama 40 tahun terakhir ini terjadi adalah more schooling but less education.
Kita berada dalam sebuah semesta ciptaan Tuhan dengan hukum U-terbalik. Semua
yang semula bermanfaat atau efektif mulai bersifat merusak atau tidak efektif
jika berlebihan. Gula darah dibutuhkan dalam takaran tertentu. Tetapi, jika
mulai berlebihan, hal itu akan mengakibatkan diabetes. Satu atau beberapa
sekolah yang baik akan memberikan manfaat kepada masyarakat. Tetapi,
memperbanyak sekolah, memperlama tinggal di dalamnya, dan semakin tinggi
jenjangnya bisa mulai merusak dan tidak efektif. Persoalan pendidikan
kita saat ini adalah too much
schooling, not the lack of it.
Untuk negara kepulauan
seluas Eropa dengan keragaman yang luar biasa, pendekatan persekolahan yang
membawa paradigma penyeragaman melalui standar nasional terbukti tidak
efektif sekalipun anggaran persekolahan diperbesar. Keunikan lokal banyak
hilang, juga keunikan anak. Bakat dan minat anak cenderung diabaikan dalam
persekolahan yang memaksakan penyeragaman melalui standar itu. Anak mungkin
belajar banyak di sekolah, kecuali untuk menjadi diri sendiri. Pendekatan
persekolahan yang supply-orientated
itu menjadikan sekolah hanya tempat guru mengajar, tetapi bukan tempat murid
belajar. Gejala urbanisasi besar-besaran adalah hasil penting persekolahan
yang tidak peka terhadap keragaman lokal dan potensi warga belajar.
Internet juga sedang
merobohkan tembok-tembok tinggi persekolahan. Belajar semakin tidak
membutuhkan formalisme persekolahan. Google sedang menggusur guru jika guru
hanya berfokus kepada pengalihan pengetahuan. Era belajar mandiri (otodidak)
dan home schooling sedang kembali
menjadi arus besar. Segera dicatat bahwa sebelum era persekolahan lahir
sekitar 200 tahun silam, masyarakat belajar tidak melalui sistem pendidikan
masal melalui persekolahan. Di Indonesia dikenal sistem pondok dengan model
belajar sorogan di bawah bimbingan seorang kiai atau empu. Keterampilan
diperoleh melalui magang. Belajar dan bekerja tidak dipisahkan secara tegas.
Bahkan, bekerja sejak anak-anak dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Di AS, masyarakat lebih banyak membaca di era Benjamin Franklin daripada pada
zaman Clinton, Bush, dan Obama. Persekolahan masif melalui program No Child Left
Behind tidak berhasil mengembalikan tingkat literasi ke zaman Ben Franklin.
Memaksakan belajar
hanya di sekolah justru mempersempit akses belajar bagi banyak warga belajar,
apalagi di daerah terpencil dengan infrastruktur yang jauh dari memadai.
Begitu belajar diubah menjadi layanan pendidikan melalui persekolahan,
pendidikan menjadi komoditas yang langka by
definition. Dalam cetak biru sistem pendidikan nasional (sisdiknas) baru
ini, fokusnya adalah perluasan kesempatan belajar (learning opportunities), terutama melalui jejaring belajar yang
lentur dan luwes. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring
belajar itu. Simpul-simpul lain yang penting adalah keluarga dan beragam
satuan pendidikan masyarakat. Misalnya, Pramuka, karang taruna, klub silat,
dan sanggar seni. Satuan-satuan bisnis di masyarakat juga memberikan
kesempatan magang kepada warga belajar. Pendidikan untuk semua mensyaratkan
pendidikan oleh semua.
Di antara
simpul-simpul belajar itu, yang paling utama adalah keluarga. Keluarga harus
diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Teladan
karakter orang tua, asupan gizi yang cukup, serta tunjangan ibu hamil dan
menyusui akan menjadi pendidikan yang jauh lebih efektif daripada program
pendidikan anak usia dini (PAUD), apalagi utak-atik kurikulum. Pembentukan
Direktorat Pendidikan Keluarga baru-baru ini oleh Kemendikbud harus
diapresiasi walaupun penguatan keluarga harus melibatkan juga banyak sektor
lain. Misalnya, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, dan perhubungan.
Kesehatan, upah buruh, rumah, dan mobilitas yang layak bagi warga belajar
akan memperkuat keluarga.
Sekolah semula
diciptakan sebagai instrumen revolusi industri yang menghasilkan produksi
masal beserta polusinya. Era industri besar itu kini surut. Kita sedang
bergerak menuju era kreatif yang menghargai keragaman, bukan keseragaman.
Produksi bakal semakin berskala kecil, berskala rumahan. Produk rumahan tidak
akan lagi murahan. Keluarga bakal menjadi satuan yang penting dalam
pembangunan. Kita perlu memperkuat itu agar menjadi satuan edukatif sekaligus
satuan produktif.
Menghadapi abad XX1
ini, kita harus berani mereformasi sistem pendidikan nasional dari dominasi
persekolahan. It takes a village to
raise a child. Tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara perlu kita
revitalisasikan. Kita perlu memulai dari setiap keluarga Indonesia di mana
pun mereka berada, yang di dalamnya belajar dirayakan dalam kegembiraan penuh
cinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar