Sabtu, 02 Mei 2015

Merayakan Belajar

Merayakan Belajar

Daniel Mohammad Rosyid  ;  Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
JAWA POS, 01 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki usia ke-70 tahun, dalam dekade kedua abad ke-21, NKRI masih dirundung banyak persoalan kronis. Dalam upaya memanen bonus demografi (nisbah jumlah penduduk usia produktif dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ditanggung lebih dari 0,5) beberapa analisis menunjukkan bahwa kita bakal gagal menyiapkan warga usia produktif tersebut agar benar-benar produktif, terutama secara ekonomi. Yang sering dituding sebagai penyebabnya adalah lamanya mereka bersekolah yang hanya sekitar tujuh tahun (lulusan SD). Program wajib sekolah sembilan tahun (hingga SMP/sederajat) semula menjadi resep pokok memanen bonus demokrasi itu. Lalu, sekarang digagas wajib sekolah 12 tahun (SMA/sederajat).

Baru-baru ini mantan Wapres Boediono menunjukkan bahwa berdasar temuan-temuan neurosains, kita harus lebih memperhatikan usia emas (0–6) warga muda Indonesia. Pada masa-masa tersebut, pembentukan otak manusia sebagai pusat saraf adalah periode yang paling sensitif untuk memperoleh stimulan yang cukup, terutama dari aspek gizi. Gejala kurang gizi yang semakin banyak diderita anak balita Indonesia akan menjadi ancaman serius upaya kita untuk memanen bonus demografi tersebut yang terjadi mungkin dalam seribu tahun lagi.

Tulisan pendek ini mengusulkan sebuah cetak biru lain yang bisa segera ditempuh untuk memperbaiki situasi yang merisaukan itu. Pertama, kita harus mengurangi, jika tidak menghilangkan, pendekatan dan dominasi persekolahan (schooling) dalam sistem pendidikan nasional kita. Kita harus berfokus kepada belajar (learning). Kedua, dengan mengikuti wasiat Ki Hadjar Dewantara, kita harus memperkuat keluarga dan masyarakat dalam sistem pendidikan nasional tersebut. Dua hal tersebut saya sebut deschooling, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Romo Ivan Illich sekitar 45 tahun lalu untuk memperbaiki pendidikan di Amerika Latin.

Di mana-mana pendekatan persekolahan terbukti semakin tidak efektif dalam meningkatkan keterdidikan kita. Yang selama 40 tahun terakhir ini terjadi adalah more schooling but less education. Kita berada dalam sebuah semesta ciptaan Tuhan dengan hukum U-terbalik. Semua yang semula bermanfaat atau efektif mulai bersifat merusak atau tidak efektif jika berlebihan. Gula darah dibutuhkan dalam takaran tertentu. Tetapi, jika mulai berlebihan, hal itu akan mengakibatkan diabetes. Satu atau beberapa sekolah yang baik akan memberikan manfaat kepada masyarakat. Tetapi, memperbanyak sekolah, memperlama tinggal di dalamnya, dan semakin tinggi jenjangnya bisa mulai merusak dan tidak efektif. Persoalan pendidikan kita saat ini adalah too much schooling, not the lack of it.

Untuk negara kepulauan seluas Eropa dengan keragaman yang luar biasa, pendekatan persekolahan yang membawa paradigma penyeragaman melalui standar nasional terbukti tidak efektif sekalipun anggaran persekolahan diperbesar. Keunikan lokal banyak hilang, juga keunikan anak. Bakat dan minat anak cenderung diabaikan dalam persekolahan yang memaksakan penyeragaman melalui standar itu. Anak mungkin belajar banyak di sekolah, kecuali untuk menjadi diri sendiri. Pendekatan persekolahan yang supply-orientated itu menjadikan sekolah hanya tempat guru mengajar, tetapi bukan tempat murid belajar. Gejala urbanisasi besar-besaran adalah hasil penting persekolahan yang tidak peka terhadap keragaman lokal dan potensi warga belajar.

Internet juga sedang merobohkan tembok-tembok tinggi persekolahan. Belajar semakin tidak membutuhkan formalisme persekolahan. Google sedang menggusur guru jika guru hanya berfokus kepada pengalihan pengetahuan. Era belajar mandiri (otodidak) dan home schooling sedang kembali menjadi arus besar. Segera dicatat bahwa sebelum era persekolahan lahir sekitar 200 tahun silam, masyarakat belajar tidak melalui sistem pendidikan masal melalui persekolahan. Di Indonesia dikenal sistem pondok dengan model belajar sorogan di bawah bimbingan seorang kiai atau empu. Keterampilan diperoleh melalui magang. Belajar dan bekerja tidak dipisahkan secara tegas. Bahkan, bekerja sejak anak-anak dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Di AS, masyarakat lebih banyak membaca di era Benjamin Franklin daripada pada zaman Clinton, Bush, dan Obama. Persekolahan masif melalui program No Child Left Behind tidak berhasil mengembalikan tingkat literasi ke zaman Ben Franklin.

Memaksakan belajar hanya di sekolah justru mempersempit akses belajar bagi banyak warga belajar, apalagi di daerah terpencil dengan infrastruktur yang jauh dari memadai. Begitu belajar diubah menjadi layanan pendidikan melalui persekolahan, pendidikan menjadi komoditas yang langka by definition. Dalam cetak biru sistem pendidikan nasional (sisdiknas) baru ini, fokusnya adalah perluasan kesempatan belajar (learning opportunities), terutama melalui jejaring belajar yang lentur dan luwes. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring belajar itu. Simpul-simpul lain yang penting adalah keluarga dan beragam satuan pendidikan masyarakat. Misalnya, Pramuka, karang taruna, klub silat, dan sanggar seni. Satuan-satuan bisnis di masyarakat juga memberikan kesempatan magang kepada warga belajar. Pendidikan untuk semua mensyaratkan pendidikan oleh semua.

Di antara simpul-simpul belajar itu, yang paling utama adalah keluarga. Keluarga harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Teladan karakter orang tua, asupan gizi yang cukup, serta tunjangan ibu hamil dan menyusui akan menjadi pendidikan yang jauh lebih efektif daripada program pendidikan anak usia dini (PAUD), apalagi utak-atik kurikulum. Pembentukan Direktorat Pendidikan Keluarga baru-baru ini oleh Kemendikbud harus diapresiasi walaupun penguatan keluarga harus melibatkan juga banyak sektor lain. Misalnya, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, dan perhubungan. Kesehatan, upah buruh, rumah, dan mobilitas yang layak bagi warga belajar akan memperkuat keluarga.

Sekolah semula diciptakan sebagai instrumen revolusi industri yang menghasilkan produksi masal beserta polusinya. Era industri besar itu kini surut. Kita sedang bergerak menuju era kreatif yang menghargai keragaman, bukan keseragaman. Produksi bakal semakin berskala kecil, berskala rumahan. Produk rumahan tidak akan lagi murahan. Keluarga bakal menjadi satuan yang penting dalam pembangunan. Kita perlu memperkuat itu agar menjadi satuan edukatif sekaligus satuan produktif.

Menghadapi abad XX1 ini, kita harus berani mereformasi sistem pendidikan nasional dari dominasi persekolahan. It takes a village to raise a child. Tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara perlu kita revitalisasikan. Kita perlu memulai dari setiap keluarga Indonesia di mana pun mereka berada, yang di dalamnya belajar dirayakan dalam kegembiraan penuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar