Masa
Depan Demokrat
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN SINDO, 11 Mei 2015
Sebagian partai
politik telah menggelar mekanisme internal konsolidasi kepengurusan. Ada yang
berujung pengokohan figur sentral mereka lewat cara aklamasi seperti terjadi
di Hanura, Gerindra, PDIP, PKPI, dan Golkar kubu munas Bali, ada pula yang
menempuh jalur kompetisi terbuka seperti PAN dan PBB. Kini, giliran Partai
Demokrat yang menggelar Kongres IV pada 11-13 Mei di Surabaya. Inilah
momentum politik yang menjadi ujian daya tahan Demokrat setelah tak lagi
menjadi partai berkuasa.
Meminjam perspektif teori
Evolusi Sosiokultural dari Darwin, ada prinsip survival of the fittest, yakni yang dapat bertahan adalah yang
paling mampu menyesuaikan diri. Mungkinkah Demokrat mampu menyesuaikan diri
di tengah tantangan eksistensi diri mereka sebagai partai di luar kekuasaan?
Faktor SBY
Tak dapat dinafikan,
keberadaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Demokrat masih sangat dominan.
SBY merupakan figur sentral karena selain sebagai pelopor, ikon partai, nilai
jual, dia juga masih memiliki peran signifikan sebagai perekat atau
solidarity maker dalam kohesi politik antar faksi yang ada di Demokrat.
Kongres Demokrat kali
ini sepertinya tak akan menghasilkan sesuatu yang mengejutkan seperti kongres
ketiga di Bandung tahun 2010 yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum
mengalahkan kandidat yang diberi dukungan kubu Cikeas (SBY). Titik kulminasi
politik Demokrat terjadi saat SBY “turun gunung” memimpin langsung gerakan
penataan, pembersihan dan penertiban partai serta mempersilakan Anas untuk
fokus menghadapi masalah hukumnya.
Anas pun secara resmi
digantikan SBY lewat Kongres Luar Biasa. Itulah babak baru Demokrat di mana
SBY yang saat itu masih menjabat sebagai presiden harus berjibaku dengan
urusan partai. SBY memang pernah berjanji, bahwa dirinya hanya akan
menghantar Demokrat hingga 2015.
Jika ditelaah dalam
konteks saat itu, orang berpikir SBY hanya akan mengawal proses transisi dan
terlibat mengurusi Demokrat sebagai bagian dari manajemen krisis saat Anas
ditetapkan sebagai tersangka KPK dan harus mengikuti serangkaian proses
pengadilan yang panjang serta menyita perhatian publik. Kini, SBY sepertinya
belum berniat “pensiun” dari posisinya sebagai ketua umum Demokrat.
Paling tidak ada tiga
faktor yang relevan menjadi bahan analisis mengapa SBY masih tetap akan
melaju menjadi nakhoda Demokrat. Pertama, soal kepastian dan kenyamanan
posisi politik Demokrat ditengahfragmentasi kekuatan politik yang ada saat
ini. Alasan ini, terkait dengan titik keseimbangan politik Demokrat sebagai
partai penyeimbang di luar kekuasaan.
Demokrat saat ini
adalah Demokrat yang rawan konflik. Tak disangkal bahwa faksi-faksi yang
bertarung di Demokrat, nyata adanya terlebih saat faksi Anas dipinggirkan
dari arus utama pengelolaan basis struktur partai. Faksi-faksi yang sudah lama
bertarung ini, diamdiam bisa saja menunggu dan akan memanfaatkan momentum
politik sebagai bentuk ekspresi perlawanan simbolik maupun politisnya.
Tekanan juga
sesungguhnya datang dari kekuatan di luar partai. Misalnya dari kelompok
berkuasa maupun kelompok lain yang memiliki kepentingan atas sikap dan
orientasi politik Demokrat saat ini dan di masa mendatang. Sejumlah parpol
mengalami perpecahan, misalnya PPP dan Partai Golkar.
Demokrat tentu tak
ingin partainya mengalami hal yang sama, sehingga sangat mungkin lebih
memprioritaskan strategi tak berisiko dengan mengukuhkan ulang SBY sebagai
ketua umum Demokrat melalui aklamasi atau jika pun ada kompetisi hanya dengan
kandidat bayangan (shadow candidate).
Kedua, Demokrat belum
percaya diri melaju tanpa sosok SBY di tengah mepetnya persiapan jelang
momentum pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Bulan Juli tahapan pencalonan
kandidat yang akan bertarung di 268 daerah sudah dimulai. Jika SBY kembali
menjadi calon, arus utama elite Demokrat yang ada saat ini tentu lebih mudah
mengondisikan basis struktur partai karena tak akan ada perubahan masif dan
eksesif.
Lain halnya jika sosok
yang menang itu adalah orang dari faksi berbeda, tentu akan terjadi sirkulasi
elite yang signifikan. SBY juga sepertinya masih akan diposisikan sebagai
magnet jualan politik di sejumlah pilkada yang akan digelar. Ketiga, SBY
sebagai sosok dengan karakter sangat hati-hati, sepertinya masih membutuhkan
tunggangan politik yang bisa dikendalikannya langsung.
Setelah lengser dari
jabatannya sebagai presiden, bukan berarti dia tak lagi mendapat tekanan.
Dialektika relasional SBY dengan pemerintahan Jokowi dan partai-partai lain
yang ada saat ini, memosisikan SBY memiliki kebutuhan memegang kendali
Demokrat.
Personalisasi Politik
Meskipun masih adanya
kebutuhan sangat kuat pada sosok SBY, seharusnya Demokrat tidak mengorbankan
modernisasi politik di tubuh partai. Ciri partai modern dan demokratis adalah
kesempatan yang sama bagi seluruh kader partai untuk berkompetisi secara
sehat. Jangan fobia dengan sejumlah sosok yang secara terbuka menyatakan
kesiapannya untuk menjadi kandidat.
Tak ada yang perlu
dikhawatirkan berlebihan, karena siapa pun yang bertarung dengan SBY dalam
perebutan ketum Demkrat, SBY masih menang. Oleh karena itulah hal utama yang
harus dipastikan SBY dalam kongres Demokrat kali ini adalah memberi teladan
dan legacy yang baik dalam pelembagaan politik di partainya.
SBY wajib memastikan
masa depan Demokrat ada pada kuatnya sistem bukan karena ketergantungan pada
sosok. Ini artinya, SBY harus sudah mentransformasi kekuatan dirinya menjadi
kekuatan sistem. Tak keliru jika sebuah organisasi memiliki figur kuat,
tetapi sistem harus ditata dan siapa pun yang berada dalam sistem harus
tunduk patuh pada aturan main yang ditetapkan sistem.
Bukan sebaliknya,
sistem menjadi subordinat dari figur, sehingga terjadi feodalisasi, bahkan
oligarki partai politik. Ketergantungan sangat kuat pada sosok SBY akan
membuat terjadinya personalisasi politik di tubuh Demokrat. SBY adalah
Demokrat dan seluruh kekuatan sistem tanpa SBY akan lumpuh tanpa kuasa. Masa
depan Demokrat akan ditentukan dua hal.
Pertama, hadirnya Demokrat di masyarakat.
Jika Demokrat ingin reborn ke posisinya sebagai partai pemenang pemilu,
mereka harus menunjukkan niat baik dan niat politik dalam mengoptimalkan
fungsifungsi partai di tengah dinamika kehidupan masyarakat dalam
kesehariannya.
Kedua, konsistensi
Demokrat dalam posisi politiknya saat ini yakni sebagai kekuatan penyeimbang
di luar kekuasaan. Menjadi partai di luar kekuasaan harusnya menjadi momentum
untuk memperbaiki eksistensi diri Demokrat sebagai partai modern. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar