Laporan Diskusi
Panel Ahli Ekonomi Kompas
( "Bagaimana agar Target Pertumbuhan Ekonomi 2015 Tercapai?"
)
Keuangan
dan Pertumbuhan
Sri Hartati Samhadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 19 Mei 2015
Salah
satu isu yang diangkat dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas
"Bagaimana agar Target Pertumbuhan Ekonomi 2015 Tercapai?"
(23/4/2015) adalah urgensi pendalaman sektor keuangan untuk menopang
pertumbuhan ekonomi berkesinambungan Indonesia dan menjaga stabilitas sektor
keuangan itu sendiri.
Pentingnya
pendalaman finansial sudah lama disadari, terutama pascakrisis finansial
global 2008. Namun, setelah satu dekade didengung-dengungkan, nyaris tak ada
progres signifikan dicapai di lapangan. Dibandingkan perekonomian bertumbuh (emerging economies) lain, kita jalan
di tempat. Dangkalnya sektor keuangan menyebabkan sektor keuangan dan
perekonomian rentan mengalami gejolak manakala ada perubahan sentimen pasar
atau persepsi global, kendati fundamental makro dan sektor riil dalam negeri
sebenarnya tidak bermasalah.
Pada
2014, dipicu spekulasi bahwa AS akan segera menaikkan suku bunga dalam
negerinya (sejalan dengan gejala pemulihan ekonomi negara itu), terjadi arus
modal keluar (outflow) dari Indonesia dalam skala cukup besar pada triwulan
IV, khususnya di obligasi/surat utang.
Ketika
kemudian ternyata pemulihan AS terbukti tak sekuat yang diperkirakan dan
kenaikan suku bunga AS tampaknya juga harus ditunda, arus modal global
kembali masuk menyerbu Indonesia. Masuknya arus modal global mestinya bisa
membantu mendongkrak rupiah. Namun, yang terjadi rupiah justru terpuruk,
untuk pertama kali sejak 1998 menembus level Rp 13.000 per dollar AS.
Tipisnya
pasar valas dituding sebagai salah satu penyebab tertekannya nilai tukar ini.
Volume transaksi valas harian di Indonesia tercatat hanya 5 miliar dollar AS,
jauh di bawah Thailand (12,7 miliar dollar AS) dan Malaysia (11 miliar dollar
AS). Tingginya volatilitas juga disebabkan transaksi terutama hanya terjadi
di pasar spot, berbeda dengan Thailand, Malaysia, dan Filipina di mana
transaksi valas lebih banyak untuk keperluan lindung nilai.
Belakangan,
volatilitas sangat tinggi bahkan tidak hanya terjadi di nilai tukar dan pasar
modal, tetapi juga pada obligasi atau surat uang negara. Hal ini akibat kian
meningkatnya kepemilikan asing.
Di pasar
saham, kepemilikan asing mencapai 64,3 persen pada 2015. Sementara di surat
berharga negara, kepemilikan asing 35 persen, tertinggi pada skala regional.
Transaksi obligasi juga didominasi asing, yakni 70 persen. Pada satu sisi, ini
menunjukkan masih tingginya kepercayaan asing pada Indonesia, tetapi
kepemilikan asing yang terlalu besar memunculkan risiko tersendiri.
Pergerakan keluar masuk dana asing sangat gampang memicu gejolak di pasar
uang dalam sistem rezim devisa bebas Indonesia.
Semua
segmen
Ketertinggalan
Indonesia dalam hal kedalaman sektor finansial tecermin antara lain dari
rasio kapitalisasi pasar saham terhadap produk domestik bruto (PDB), rasio
penerbitan surat utang negara terhadap PDB, rasio pinjaman antarbank terhadap
PDB, dan penerbitan surat utang korporasi terhadap PDB. Akar penyebabnya,
lemahnya semua dimensi ekosistem pasar finansial, mulai dari emitennya, basis
investornya, intermediasinya, instrumen finansialnya, infrastruktur pasarnya,
serta kerangka regulasi dan lingkungan makronya.
content
Dari
sisi emiten atau penerbit (issuers), tidak ada perubahan dramatis dalam
sepuluh tahun terakhir. Dari sisi investor, kita juga tak memiliki investor
domestik yang kuat. Instrumen yang tersedia di pasar uang dan pasar modal
juga sangat terbatas.
Industri
keuangan Indonesia juga masih didominasi sektor perbankan, yakni sekitar 77
persen dari total aset industri keuangan, sementara segmen pasar keuangan
lain, seperti pasar modal dan pasar surat utang, juga belum berkembang
sepadan dengan skala ekonomi Indonesia. Sektor perbankan jauh tertinggal dari
para mitranya di kawasan ASEAN. Perbankan kesulitan permodalan atau
menghimpun dana dan mencapai skala ekonomi. Kondisi ini menempatkan Indonesia
pada posisi rentan dalam persaingan di kawasan, termasuk menghadapi integrasi
perbankan ASEAN 2020 yang ditandai prinsip perlakuan sama terhadap baik bank
asing maupun bank lokal (equal access, equal treatment, equal environment).
Perbankan
nasional masih mengandalkan 91 persen pendanaannya di luar modal pada produk
konvensional, seperti giro, tabungan, dan deposito. Sementara di negara lain,
bank-bank dengan orientasi global umumnya telah mendiversifikasi pendanaannya
ke sumber dana nontradisional (wholesale) sehingga rasio pendanaan dari dana
pihak ketiga (DPK) dapat ditekan ke kisaran 50-60 persen.
Keterbatasan
basis pendanaan ini menyebabkan kapasitas penyaluran kredit baru untuk
menggerakkan perekonomian, khususnya sektor riil, juga sangat terbatas.
Demikian pula akses masyarakat ke jasa keuangan formal juga masih sangat
terbatas. Survei Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, lebih dari separuh rumah
tangga Indonesia tak memiliki rekening tabungan dan hanya 17 persen penduduk
meminjam dari bank. Rasio kredit terhadap PDB baru 28 persen, terendah di
Asia dan jauh di bawah Thailand, Malaysia, dan Filipina yang di atas 100
persen.
Pembiayaan
pembangunan
Implikasi
lain dari dangkalnya sektor finansial, kita menghadapi hambatan dalam
mobilisasi dana pembiayaan kegiatan ekonomi produktif dan pembangunan.
Padahal, sebenarnya potensi pendanaan dalam negeri sangar besar, termasuk
yang bersumber dari dana pensiun, asuransi, reksa dana, dan lain-lain. Belum
tersedianya instrumen investasi yang kompetitif dan mekanisme perlindungan
investor yang memadai juga menyebabkan banyak warga Indonesia memilih
memarkir atau menanamkan dananya di luar negeri. Di Singapura, menurut kajian
McKinsey dan Mandiri Institute, mencapai 200 miliar dollar AS, dengan 150
miliar dollar AS di antaranya berbentuk aset keuangan.
Semua
dana ini, jika bisa dimobilisasi di dalam negeri, seharusnya bisa sangat
membantu dalam pembiayaan program seperti pembangunan infrastruktur. Akibat
terkendalanya mobilitas pendanaan pembangunan di dalam negeri, perekonomian
mengalami underinvestment sehingga realisasi pertumbuhan ekonomi selalu di
bawah tingkat potensialnya. Indonesia sempat masuk daftar the Fragile Five
Morgan Stanley bersama Turki, Brasil, India, dan Afrika Selatan karena
terlalu bergantung pada investasi asing yang gampang berpindah untuk
membiayai ambisi pertumbuhan ekonominya.
Dihadapkan
pada situasi di atas, percepatan pendalaman finansial (financial deepening)
sangat mendesak dilakukan. Penerbitan berbagai instrumen baru finansial
dengan jangka watu yang lebih bervariasi perlu dilakukan. Berbagai langkah
yang sudah ditempuh antara lain inisiasi pembentukan branchless banking
dengan pilot project enam bank, pembentukan biro informasi kredit oleh BI,
pembentukan komite pasar valas, pengembangan mini master repo agreement (Mini
MRA), pengembangan electronic money oleh bank bekerja sama dengan Telkom,
memperluas basis pendanaan (funding base) melalui sekuritisasi. Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan Laku Pandai, layanan keuangan tanpa
cabang. BI juga mengeluarkan layanan keuangan digital, yang semua itu jika
digabungkan akan menjadi sistem ideal untuk Indonesia yang negara kepulauan
dan wilayahnya tersebar.
Kurang
koordinasi
Pada
2030, Indonesia diperkirakan the McKinsey Global Institute (Unleashing Indonesia's
Potential) akan menjadi perekonomian ketujuh terbesar dunia. Untuk mewujudkan
itu, salah satunya diperlukan dukungan sektor finansial yang kuat. Sektor
keuangan harus tumbuh tujuh kali lipat dalam 16 tahun. Itu artinya,
kapitalisasi pasar modal harus meningkat dari 586 miliar dollar AS menjadi
4.300-an miliar dollar AS, rasio ekuitas terhadap PDB dari 49 persen menjadi
78 persen, jumlah perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa dari 540
menjadi 1.700, rasio obligasi korporasi terhadap PDB dari 6 persen menjadi 17
persen, emiten obligasi dari 140 menjadi 560, jumlah investor ritel dari
450.000 menjadi 6 juta, dan rasio kredit perbankan terhadap PDB dari 29
persen menjadi 56 persen.
Ini
pekerjaan rumah besar yang harus dikerjakan regulator. Dan, itu bukan
pekerjaan mudah, terlebih melihat capaian sepuluh tahun terakhir. Persoalan
yang kita hadapi, semua inisiatif pendalaman finansial yang dilakukan selama
ini, ditangani beberapa otoritas yang berbeda, yang terkesan berjalan
sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi. BI dan OJK dengan satgas masing-masing,
sementara Forum Stabilitas Sektor Keuangan (FSSK) lebih fokus ke upaya
preemptive, belum ke arah financial development.
Ini
berbeda dengan di Malaysia, misalnya, di mana pengembangan sektor keuangan ditangani
langsung oleh menteri keuangan yang sekaligus merangkap jabatan perdana
menteri. Menteri keuangan memiliki wewenang yang sangat besar, lebih tinggi
daripada kementerian lain, sehingga bisa dengan lebih mudah mengoordinasikan
beberapa kementerian atau instansi terkait. Di Indonesia itu tidak terjadi
karena posisi kementerian keuangan setara dengan BI dan OJK. Oleh karena itu,
dalam rangka merealisasikan percepatan pendalaman finansial, diusulkan
dibentuk semacam komite atau satgas tersendiri di bawah pejabat dengan level
lebih tinggi, seperti wakil presiden atau presiden.
Di
sektor perbankan, konsolidasi juga perlu dipercepat. Jumlah bank (119 bank)
yang ada saat ini terlalu banyak dan sangat jomplang. Sepuluh bank terbesar
menguasai sekitar 80 persen dari total aset perbankan nasional, kredit dan
dana pihak ketiga. Dari ke-119 bank itu, hanya sekitar 20 persen yang
memiliki modal di atas Rp 5 triliun-Rp 10 triliun. Persoalan permodalan bisa
dilakukan dengan mendiversifikasi dan memperluas basis pendanaan melalui
penerbitan obligasi dengan berbagai jangka waktu dan tenor, notes,
certificate of deposit (CD) atau instrumen lain seperti surat utang berbasis
aset. Regulasi, aturan main, infrastruktur, dan kelembagaan untuk ini harus
dipersiapkan.
Selama
ini proses konsolidasi berjalan sangat lambat. Di Malaysia, sejak reformasi perbankan
2000-an, jumlah bank berhasil diciutkan dari 35 bank menjadi hanya delapan
bank. Sementara di Indonesia, hingga kini kita belum tahu ke mana sebenarnya
arah ke depan yang diinginkan regulator. Peta jalan menuju integrasi
perbankan ASEAN 2020 pun masih kabur. Bahkan, nasib Arsitektur Perbankan
Indonesia yang ada selama ini juga tak jelas.
Ada
kesan, kita tak serius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar