Senin, 04 Mei 2015

Dinamika Pantun dan Syair

Dinamika Pantun dan Syair

Maman S Mahayana  ;  Esais, Penyair
KOMPAS, 03 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penyair Matdon mengirimkan esainya ”Jejak Pantun dan Syair” di dinding Facebook. Semangatnya cukup menarik meski saya melihatnya sebagai pengamat yang berbicara tentang pantun dan syair yang ada di sekitar Bandung. Dalam beberapa hal, saya setuju. Pantun bagi sebagian masyarakat memang diperlakukan sekadar sastra lama. Sikap itu jauh lebih baik ketimbang komentar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). ”… irama pantun yang telah mati terikat kepada bingkaian kebiasaan itu pucat lesu, tiada berdarah, tiada bersemangat. … Initiatief telah mati semati-matinya dan orang menyesuaikan diri mengantuk-ngantuk akan pantun yang telah turun-temurun.” (Pujangga Baru, II, 5, November 1934).

Benarkah kini reputasi pantun seolah-olah terkubur dan digunakan sekadar untuk guyonan, ledek-ledekan atau dikatakan Matdon: nyaris menjadi fosil sastra? Sesungguhnya tidak juga begitu. Matdon mengambil contoh pantun profan (?). Meski dikatakannya dari mereka yang tak paham aturan, pantun tak mengenal dikotomi profan dan sakral. Sementara sinyalemen STA, saya tempatkan dalam konteks semangat zaman. Ketika itu, majalah Pujangga Baru memuat begitu banyak puisi para penyair kita yang dikatakan baru, modern, bebas, individualistik, penuh semangat, dan merefleksikan suara sukma.

Pencitraan tentang puisi baru terus-menerus dipropagandakan lewat pembahasan puisi-puisi Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan para penyair Pujangga Baru. Di pihak lain, diciptakan pula stigmatisasi tentang pantun, gurindam, syair, dan apa yang dikatakan STA sebagai sastra lama adalah masa lalu yang letih-lesu, seni ibu-ibu rumah tangga pengisi waktu menunggu kantuk, kaum kolot, dibawakan perempuan tua sambil tiduran, disusun dalam ikatan yang berkarat dan membelenggu, dan seterusnya. Pantun, syair, dan khazanah sastra (lama) telah mati semati-matinya dan digantikan puisi baru.

Untuk membedakan puisi baru dengan syair dan pantun, diusulkan pula, bahwa para penulis puisi baru disebut pujangga, bukan bujangga yang maknanya sebagai sastrawan keraton. Adapun penulis syair dan pantun disebut penyair dan pemantun. Sebutan pujangga ternyata cuma bertahan sampai zaman Jepang. Sebab, setelah itu, kata penyair muncul lagi untuk menyebut para penulis puisi. Istilah penyair yang digunakan kini bersumber dari bahasa Arab, sya’ara, yang bermakna penembang, penyanyi atau penulis syi’ir atau puisi.

Sesungguhnya, konsep puisi baru yang disampaikan STA tidak lebih dari perkara tema dan gaya bahasa yang mendayu-dayu. Bentuknya juga masih memperlihatkan model pantun dan syair. Dikatakan Armijn Pane, ”…pantun masih dipergunakan oleh Pujangga Baru, tetapi berubah menurut aliran zaman. Zaman lama bukan seolah-olah terhenti, dan mulai zaman yang semata-mata baru.” Bahkan, jejak pantun dan syair masih tampak kuat pada puisi Chairil Anwar, ”Siap Sedia” yang terbit pada zaman Jepang (Keboedajaan Timoer, No 3, 1945). Popularitas syair dan pantun laksana mendapat ruh baru dalam sejumlah puisi Sitor Situmorang. Periksa, misalnya, puisinya ”Si Anak Hilang” dan teristimewa ”Lagu Gadis Itali” (Kerling danau di pagi hari/Lonceng gereja bukit Itali (sampiran)/Jika musimmu tibananti/Jemputlah abang di teluk Napoli// (isi). Dalam kenyataannya hingga kini, kita masih banyak menjumpai jejak pantun dan syair dalam berbagai puisi para penyair kita.

Puisi asli

Pantun dapat dipastikan merupakan salah satu puisi asli Nusantara, seperti juga bidal, peribahasa, mantra, jangjawokan, lagu dolanan anak-anak, jampi-jampi, doa pengasihan, dan entah apalagi. Sampiran yang kerap menyinggung alam menunjukkan kedekatan masyarakat kita dengan lingkungan alam sekitar. Lalu, isi yang menyampaikan pesan etik, moral, norma, atau segala yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat merupakan representasi masyarakat kita yang komunal, guyub, dan peduli pada sesama.

Pantun juga merupakan puisi yang paling unik di dunia. Ia tidak terikat oleh usia, jenis kelamin, status sosial, ruang, dan waktu. Lihat saja, anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, rakyat jelata, atau presiden boleh bermain pantun: di TV, pidato resmi, obrolan di warung kopi, khotbah Jumat, kapan pun, bisa saja menyelipkan pantun. Masyarakat Melayu di Bengkalis atau Tanjung Pinang, misalnya, pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Biasanya, puncak unjuk kepiawaian pantun terjadi pada acara lamaran pernikahan. Berbalas pantun menjadi ajang reputasi dan marwah.

Budayawan Tennas Effendy telah mencatat ribuan pantun yang tersebar di berbagai pelosok tanah Melayu. Salah satu karyanya, Khazanah Pantun Melayu Riau (2007) memuat 3.608 pantun. Di rumahnya yang dijadikan perpustakan Melayu, selain terdapat ratusan buku pantun dan syair yang diterbitkan, juga tersimpan lebih dari seratus buku pantun dan syair dalam tulisan tangan. Jadi, bagi masyarakat Melayu, hampir mustahil pantun dan syair jadi fosil sastra.

Di masyarakat Banjar, Madura, Bugis, Minangkabau, Aceh, dan masyarakat etnik lain, pantun dan syair hidup bergentayangan di sembarang tempat. Di kantor, hotel, masjid, warung, pasar, rumah sakit, atau di rumah-rumah, kedua jenis puisi itu berseliweran setiap hari. Jadi, ia tetap hidup lantaran ada masyarakat pendukungnya.

Di masyarakat Betawi, pantun dapat kita jumpai juga dalam acara lamaran pernikahan. Mereka menyebutnya sebagai tradisi Palang Pintu. Tuan rumah akan bertanya kepada keluarga calon pengantin laki-laki lewat pantun. Lalu, jawabannya juga harus disampaikan dalam bentuk pantun. Penelitian kami tentang pantun Betawi (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jawa Barat, 2008) menunjukkan, dari 1.313 pantun dalam buku itu, pantun Melayu Betawi begitu khas yang merepresentasikan karakteristik sosial-budaya Betawi: egaliter, lugas, ceplas-ceplos, dan terkesan seenaknya. Hubungan anak—orangtua, suami-istri, menantu—mertua bisa begitu cair disampaikan dalam pantun meski di sana ada cerita agak jorok dan nakal.

Syair

Bagaimana pula dengan syair? Abdul Hadi WM dan A Teeuw menyebut Hamzah Fansuri sebagai Bapak Puisi Indonesia. Salah satu mahakarya Hamzah Fansuri, Asrar al-Arifin, dikupas mendalam oleh GWJ Drewes dan LF Brakel dalam buku The Poems of Hamzah Fansuri (Dordrecht-Holand/ Cinnaminson USA: Foris Publications, 1986). Sebuah buku yang mengungkapkan kedalaman syair dan sekaligus keluasan Hamzah Fansuri dalam menyerap pengaruh puisi-puisi Arab—Parsi.

VI Braginsky menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pemula penulisan syair di Nusantara abad ke-16. Sejak itu, syair menyebar ke pelosok wilayah kesultanan di seluruh Nusantara yang melahirkan ratusan karya intelektual para ulama kita. Mereka menulis syair tentang geografi, pemerintahan, sosiologi, filsafat, sejarah, bahkan bantahan terhadap pemikiran keagamaan seperti yang disampaikan Hamzah Fansuri atau Shamsuddin As-Samatrani.

Beberapa kiai di berbagai pesantren yang tersebar di Nusantara juga menulis pemikiran mereka tentang keilmuan dalam bentuk syair. Disertasi M Adib Misbachul Islam (UI, 2014) yang meneliti syair (nazam) KH Ahmad Ar-Rifai, Pesantren Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, pada abad ke-19, mengungkapkan bahwa kiai ini telah menulis ribuan bait syair. Beberapa di antaranya berisi kritik sosial terhadap kebrengsekan masyarakat dan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

Mengapa reputasi pantun dan syair surut ke belakang? Buku-buku pelajaran sastra di sekolah telah menciptakan pandangan sesat tentang tradisi perpuisian Nusantara. Pantun dan syair diajarkan sekadar ciri-cirinya belaka dan tidak menempatkannya sebagai kekayaan intelektual bangsa ini. Akibatnya, perjalanan perpuisian Indonesia seolah-olah terdiri dari puisi lama (tradisional) dan puisi baru (modern). Itulah pandangan sesat yang lain. Jadi, wahai para pengamat sastra Indonesia, kembalilah ke jalan yang benar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar