Dinamika
Pantun dan Syair
Maman S Mahayana ; Esais, Penyair
|
KOMPAS, 03 Mei 2015
Penyair Matdon
mengirimkan esainya ”Jejak Pantun dan Syair” di dinding Facebook. Semangatnya
cukup menarik meski saya melihatnya sebagai pengamat yang berbicara tentang
pantun dan syair yang ada di sekitar Bandung. Dalam beberapa hal, saya
setuju. Pantun bagi sebagian masyarakat memang diperlakukan sekadar sastra
lama. Sikap itu jauh lebih baik ketimbang komentar Sutan Takdir Alisjahbana
(STA). ”… irama pantun yang telah mati terikat kepada bingkaian kebiasaan itu
pucat lesu, tiada berdarah, tiada bersemangat. … Initiatief telah mati
semati-matinya dan orang menyesuaikan diri mengantuk-ngantuk akan pantun yang
telah turun-temurun.” (Pujangga Baru, II, 5, November 1934).
Benarkah kini reputasi
pantun seolah-olah terkubur dan digunakan sekadar untuk guyonan,
ledek-ledekan atau dikatakan Matdon: nyaris menjadi fosil sastra?
Sesungguhnya tidak juga begitu. Matdon mengambil contoh pantun profan (?).
Meski dikatakannya dari mereka yang tak paham aturan, pantun tak mengenal
dikotomi profan dan sakral. Sementara sinyalemen STA, saya tempatkan dalam
konteks semangat zaman. Ketika itu, majalah Pujangga Baru memuat begitu
banyak puisi para penyair kita yang dikatakan baru, modern, bebas,
individualistik, penuh semangat, dan merefleksikan suara sukma.
Pencitraan tentang
puisi baru terus-menerus dipropagandakan lewat pembahasan puisi-puisi
Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan para penyair Pujangga Baru. Di pihak
lain, diciptakan pula stigmatisasi tentang pantun, gurindam, syair, dan apa
yang dikatakan STA sebagai sastra lama adalah masa lalu yang letih-lesu, seni
ibu-ibu rumah tangga pengisi waktu menunggu kantuk, kaum kolot, dibawakan
perempuan tua sambil tiduran, disusun dalam ikatan yang berkarat dan
membelenggu, dan seterusnya. Pantun, syair, dan khazanah sastra (lama) telah
mati semati-matinya dan digantikan puisi baru.
Untuk membedakan puisi
baru dengan syair dan pantun, diusulkan pula, bahwa para penulis puisi baru
disebut pujangga, bukan bujangga yang maknanya sebagai sastrawan keraton.
Adapun penulis syair dan pantun disebut penyair dan pemantun. Sebutan
pujangga ternyata cuma bertahan sampai zaman Jepang. Sebab, setelah itu, kata
penyair muncul lagi untuk menyebut para penulis puisi. Istilah penyair yang
digunakan kini bersumber dari bahasa Arab, sya’ara, yang bermakna penembang,
penyanyi atau penulis syi’ir atau puisi.
Sesungguhnya, konsep
puisi baru yang disampaikan STA tidak lebih dari perkara tema dan gaya bahasa
yang mendayu-dayu. Bentuknya juga masih memperlihatkan model pantun dan
syair. Dikatakan Armijn Pane, ”…pantun
masih dipergunakan oleh Pujangga Baru, tetapi berubah menurut aliran zaman.
Zaman lama bukan seolah-olah terhenti, dan mulai zaman yang semata-mata baru.”
Bahkan, jejak pantun dan syair masih tampak kuat pada puisi Chairil Anwar,
”Siap Sedia” yang terbit pada zaman Jepang (Keboedajaan Timoer, No 3, 1945). Popularitas syair dan pantun
laksana mendapat ruh baru dalam sejumlah puisi Sitor Situmorang. Periksa,
misalnya, puisinya ”Si Anak Hilang” dan teristimewa ”Lagu Gadis Itali”
(Kerling danau di pagi hari/Lonceng gereja bukit Itali (sampiran)/Jika
musimmu tibananti/Jemputlah abang di teluk Napoli// (isi). Dalam kenyataannya
hingga kini, kita masih banyak menjumpai jejak pantun dan syair dalam
berbagai puisi para penyair kita.
Puisi asli
Pantun dapat
dipastikan merupakan salah satu puisi asli Nusantara, seperti juga bidal,
peribahasa, mantra, jangjawokan, lagu dolanan anak-anak, jampi-jampi, doa
pengasihan, dan entah apalagi. Sampiran yang kerap menyinggung alam
menunjukkan kedekatan masyarakat kita dengan lingkungan alam sekitar. Lalu,
isi yang menyampaikan pesan etik, moral, norma, atau segala yang berhubungan
dengan kehidupan masyarakat merupakan representasi masyarakat kita yang
komunal, guyub, dan peduli pada sesama.
Pantun juga merupakan
puisi yang paling unik di dunia. Ia tidak terikat oleh usia, jenis kelamin,
status sosial, ruang, dan waktu. Lihat saja, anak-anak, orang tua, laki-laki,
perempuan, rakyat jelata, atau presiden boleh bermain pantun: di TV, pidato
resmi, obrolan di warung kopi, khotbah Jumat, kapan pun, bisa saja
menyelipkan pantun. Masyarakat Melayu di Bengkalis atau Tanjung Pinang,
misalnya, pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Biasanya,
puncak unjuk kepiawaian pantun terjadi pada acara lamaran pernikahan.
Berbalas pantun menjadi ajang reputasi dan marwah.
Budayawan Tennas
Effendy telah mencatat ribuan pantun yang tersebar di berbagai pelosok tanah
Melayu. Salah satu karyanya, Khazanah Pantun Melayu Riau (2007) memuat 3.608
pantun. Di rumahnya yang dijadikan perpustakan Melayu, selain terdapat
ratusan buku pantun dan syair yang diterbitkan, juga tersimpan lebih dari
seratus buku pantun dan syair dalam tulisan tangan. Jadi, bagi masyarakat
Melayu, hampir mustahil pantun dan syair jadi fosil sastra.
Di masyarakat Banjar,
Madura, Bugis, Minangkabau, Aceh, dan masyarakat etnik lain, pantun dan syair
hidup bergentayangan di sembarang tempat. Di kantor, hotel, masjid, warung,
pasar, rumah sakit, atau di rumah-rumah, kedua jenis puisi itu berseliweran
setiap hari. Jadi, ia tetap hidup lantaran ada masyarakat pendukungnya.
Di masyarakat Betawi,
pantun dapat kita jumpai juga dalam acara lamaran pernikahan. Mereka
menyebutnya sebagai tradisi Palang Pintu. Tuan rumah akan bertanya kepada
keluarga calon pengantin laki-laki lewat pantun. Lalu, jawabannya juga harus
disampaikan dalam bentuk pantun. Penelitian kami tentang pantun Betawi (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jawa Barat, 2008) menunjukkan, dari 1.313
pantun dalam buku itu, pantun Melayu Betawi begitu khas yang
merepresentasikan karakteristik sosial-budaya Betawi: egaliter, lugas,
ceplas-ceplos, dan terkesan seenaknya. Hubungan anak—orangtua, suami-istri,
menantu—mertua bisa begitu cair disampaikan dalam pantun meski di sana ada
cerita agak jorok dan nakal.
Syair
Bagaimana pula dengan
syair? Abdul Hadi WM dan A Teeuw menyebut Hamzah Fansuri sebagai Bapak Puisi
Indonesia. Salah satu mahakarya Hamzah Fansuri, Asrar al-Arifin, dikupas
mendalam oleh GWJ Drewes dan LF Brakel dalam buku The Poems of Hamzah Fansuri
(Dordrecht-Holand/ Cinnaminson USA: Foris Publications, 1986). Sebuah buku
yang mengungkapkan kedalaman syair dan sekaligus keluasan Hamzah Fansuri
dalam menyerap pengaruh puisi-puisi Arab—Parsi.
VI Braginsky
menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pemula penulisan syair di Nusantara abad
ke-16. Sejak itu, syair menyebar ke pelosok wilayah kesultanan di seluruh
Nusantara yang melahirkan ratusan karya intelektual para ulama kita. Mereka
menulis syair tentang geografi, pemerintahan, sosiologi, filsafat, sejarah,
bahkan bantahan terhadap pemikiran keagamaan seperti yang disampaikan Hamzah
Fansuri atau Shamsuddin As-Samatrani.
Beberapa kiai di
berbagai pesantren yang tersebar di Nusantara juga menulis pemikiran mereka
tentang keilmuan dalam bentuk syair. Disertasi M Adib Misbachul Islam (UI,
2014) yang meneliti syair (nazam) KH Ahmad Ar-Rifai, Pesantren Kalisalak,
Batang, Jawa Tengah, pada abad ke-19, mengungkapkan bahwa kiai ini telah
menulis ribuan bait syair. Beberapa di antaranya berisi kritik sosial
terhadap kebrengsekan masyarakat dan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Mengapa reputasi
pantun dan syair surut ke belakang? Buku-buku pelajaran sastra di sekolah telah
menciptakan pandangan sesat tentang tradisi perpuisian Nusantara. Pantun dan
syair diajarkan sekadar ciri-cirinya belaka dan tidak menempatkannya sebagai
kekayaan intelektual bangsa ini. Akibatnya, perjalanan perpuisian Indonesia
seolah-olah terdiri dari puisi lama (tradisional) dan puisi baru (modern).
Itulah pandangan sesat yang lain. Jadi, wahai para pengamat sastra Indonesia,
kembalilah ke jalan yang benar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar