Asa
Melanjutkan Reformasi Polri
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua DPD RI;
Irjen Pol (Purn)/Guru Besar STIK-PTIK/UI
|
KOMPAS, 05 Mei 2015
Institusi Polri
mendapat sorotan tajam dari publik akibat langkah dan kebijakan yang
cenderung politis dan menjauh dari harapan publik akhir-akhir ini. Jika
dirunut hal ini tidak lepas dari polemik pemberhentian dan pengangkatan
Kepala Polri beberapa waktu lalu yang sangat kental nuansa politiknya.
Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang diusulkan menjadi calon Kepala Polri
urung dilantik karena disangka melakukan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, meski proses penyidikannya oleh KPK kemudian
dibatalkan berdasarkan Putusan Sidang Praperadilan. Presiden-setelah
mendapatkan persetujuan DPR-lalu melantik Pelaksana Tugas Kepala Polri
Komisaris Jenderal Badrodin Haiti menjadi Kapolri definitif. Bak drama tiga
babak, Kapolri baru lalu melantik Budi Gunawan sebagai Wakapolri.
Walaupun terkesan
kurang transparan dan menimbulkan polemik dalam pandangan publik, pelantikan
Budi Gunawan secara formal telah sesuai prosedur. Mari kita hormati keputusan
ini, walaupun ke depannya harus ada perbaikan terus-menerus terkait hal-hal
yang masih menjadi keprihatinan publik.
Bagi Budi Gunawan,
pelantikan ini dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kepada publik secara
faktual bahwa apa yang disangkakan tidak benar, yakni dengan menunjukkan
kinerja untuk bersungguh-sungguh mereformasi Polri yang benar-benar anti
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hanya dengan cara itu Polri kembali beroleh
simpati dan penghormatan publik.
Penulis memahami bahwa
dalam proses penetapan Budi Gunawan publik memandang sangat bernuansa
politik. Meski demikian, kepada elite politik agar dukungan politik tersebut
kelak tidak dijadikan sebagai "posisi tawar" untuk memperoleh
dukungan/balas jasa polisi terkait berbagai permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari, terutama dalam pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah,
maupun kontestasi politik lainnya, yang pada akhirnya dapat merusak nilai-nilai
luhur profesionalisme Polri.
Segala bentuk
"politisasi" dalam proses pemberhentian dan pengangkatan Kapolri
jangan sampai terulang kembali dan tak dijadikan preseden bagi perwira dan
anggota polisi lain untuk bermain politik praktis dengan mencari dukungan
politisi senior untuk promosi jabatan/pendidikan, karena dapat merusak
profesionalisme dan akuntabilitas Polri kepada publik.
Kebutuhan reformasi Polri
Kondisi seperti ini (political model of policing) pernah
merasuki kepolisian di Amerika Serikat
pada awal abad ke-20 sehingga menuntut pemerintah melakukan reformasi
kepolisian (jilid I). Upaya reformasi kepolisian dilakukan untuk mewujudkan
polisi yang profesional dan akuntabel kepada publik.
Dengan visi tersebut, polisi dituntut untuk
semakin membuka diri dalam menampung
beragam aspirasi dan pandangan dari masyarakat. Oleh karena itu, setiap
program dan kebijakan Polri menjadi sangat penting diketahui oleh dan bahkan
mendengar masukan masyarakat. Polisi tidak saja dituntut profesional, yakni mendasarkan kinerjanya kepada ilmu
pengetahuan dan sistem hukum yang berlaku, tetapi juga akuntabel (amanah)
kepada pemangku kepentingan antara lain dengan menggunakan kewenangannya
secara bijak dan santun (humanistic
approach) pada masyarakat yang dilayaninya.
Sumber permasalahan
yang membentuk persepsi publik atas rendahnya kualitas layanan Polri (quality of police service) selama ini,
dalam pandangan penulis, ada dua, yakni adanya kasus-kasus penyalahgunaan
kekuasaan/wewenang (abuse of power) dan rendahnya mutu layanan.
Penyalahgunaan wewenang terjadi karena pada personel Polri melekat atribut
kekuasaan serta diskresi yang besar, sementara transparansi dan kontrol
lemah. Sementara itu, mutu layanan berkenaan dengan rendahnya inovasi dan
inisiatif untuk pelayanan yang prima.
Pengawasan Polri yang lebih banyak
mengandalkan pengawasan internal (Propam) atau praperadilan yang lebih
bersifat legalistik menjadi problem dalam menegakkan akuntabilitas publik.
Pengawasan Propam tentu lebih bersifat subyektif dan sulit diukur
obyektivitasnya, akses publik atasnya juga sulit dilakukan. Alhasil, jika
selama ini Polri merasa sudah melakukan pelayanan yang optimal, itu semua
didasarkan atas hasil pengawasan internal yang bersifat subyektif. Penulis
mendapatkan informasi dari dalam, kerap laporan lebih bersifat ABS (asal
bapak/atasan senang) dan tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Sementara
pengawasan publik berdasarkan pengalaman langsung atas pelayanan Polri
dirasakan belum efektif dalam upaya memperbaiki kinerja Polri.
Polisi sipil
Dua sumber
permasalahan tersebut harus disadari duet Jenderal Badrodin Haiti dan Komjen
Budi Gunawan. Kesadaran yang membawa semangat totalitas untuk melanjutkan
reformasi Polri yang muaranya pada perwujudan Polri yang profesional dan akuntabel.
Tidak bisa ditawar, Polri harus semakin kuat mendekat kepada masyarakat:
"buka mata kepala dan hati serta telinga untuk melihat, mendengar,
mengerti, dan memahami keinginan, harapan, dan kebutuhan publik."
Sebaliknya, jangan
menunjukkan ego kekuasaan untuk melawan kehendak publik yang jernih. Perlu dicatat pemahaman Charles Reith,
pakar studi kepolisian dari Inggris pada pertengahan abad lalu, bahwa
kekuatan (power) polisi bukan
terletak pada senjata yang dipikulnya dan/atau kewenangan di pundaknya,
melainkan pada dukungan publik (public
approval).
Ke depan Polri harus
mengokohkan kedudukannya sebagai polisi sipil (public police). Dalam literatur kepolisian ada yang disebut state police-seperti di Rusia dan
Afrika Selatan-di mana dominasi negara melekat padanya (polisi sebagai alat
negara) sehingga lebih rentan intervensi negara. Ada juga yang disebut public police yang kemudian melahirkan
konsep civil police, polisi sebagai
pelayan masyarakat sehingga lebih kuat akuntabilitasnya kepada masyarakat.
Dalam kaitan itu Polri
perlu sungguh-sungguh melayani (to
serve) dan melindungi (to protect),
sebagaimana amanat UUD 1945. UUD memang menamai Polri sebagai Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Hanya saja pada praktiknya perlu penafsiran yang
tepat berkenaan kedudukan Polri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat
daripada sebagai alat negara sehingga orientasi kuat Polri adalah kepada
rakyat, kepada kepentingan publik, bukan kepada (kepentingan) penguasa atau
politisi.
Polri harus mampu
mereformasi dirinya agar tak menjadi institusi yang dijauhi masyarakat.
Program dan komitmen lembaga kepolisian untuk menjaga jarak dari kepentingan
politik seharusnya mampu direfleksikan dalam kebijakan yang mempertimbangkan
pandangan serta masukan positif dari masyarakat.
Kepada masyarakat mari kita dukung
upaya-upaya untuk mewujudkan Polri yang lebih profesional dan akuntabel
(amanah). Berbagai pengalaman ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita
semua dalam upaya melanjutkan reformasi Polri. Di sisi lain, kepada para
politisi, akademisi, perwira, dan elemen masyarakat, agar mendorong
dilanjutkannya reformasi Polri terutama untuk mendudukkan Polri dalam
konstelasi ketatanegaraan yang bebas dari intervensi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar