Senin, 03 Mei 2021

 

Belajar dari Kasus Covid-19 India

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 3 Mei 2021

 

 

                                                           

Setelah banyak mendapat pujian dalam upaya pengendalian Covid-19, di mana kasus terus turun sejak September tahun lalu, situasi India kini berbalik 180 derajat.

 

Mulai akhir Maret, kurva kasus Covid-19 India terus menanjak. Demikian juga korban jiwa. Data laman Worldometers, pada 2 Mei 2021 tercatat 19,6 juta kasus di India dengan 215,542 kematian. India kini menempati posisi kedua dalam jumlah kasus dan keempat terkait dengan jumlah kematian.

 

Gelombang kedua Covid-19 di India meluas secara cepat. Sistem layanan kesehatan nyaris ambruk. Rumah sakit kebanjiran pasien hingga membeludak di emperan, obat sulit dicari, rumah sakit sering kehabisan oksigen sehingga mengakibatkan lebih banyak kematian.

 

Seluruh dunia dapat menyaksikan situasi itu lewat tayangan televisi ataupun video dan foto yang beredar di media sosial. Antrean panjang orang bersama tabung-tabung ukuran besar untuk mendapatkan oksigen. Krematorium dipenuhi jenazah, kremasi dilakukan sepanjang hari hingga malam.

 

Pemerintah India melaporkan lebih dari 300.000 infeksi baru per hari. Hampir setengah dari semua kasus baru di dunia. Diduga hal itu disebabkan mutasi ganda, E484Q dan L452R, yang lebih mudah menular.

 

Terkait dengan kematian, sejumlah pengamat menengarai, jumlah sebenarnya dua hingga lima kali lipat dari laporan resmi. Banyak kematian tidak tercatat sebagai Covid-19 demi mencegah kepanikan. Di sisi lain, keluarga yang berduka sering menyembunyikan penyebab kematian karena Covid-19.

 

Lonjakan kasus di India, antara lain, akibat kampanye pemilihan umum serta festival Kumbh Mela di Sungai Gangga yang dihadiri jutaan orang tanpa protokol kesehatan.

 

Situasi di India mengingatkan kita apa yang terjadi pada Januari-Februari lalu. Indonesia mengalami ledakan kasus akibat pilkada, libur Natal, dan Tahun Baru.

 

Saat itu kasus aktif Indonesia sempat tertinggi di Asia. Rumah sakit kebanjiran pasien. Mereka yang tidak tertampung dirawat dalam kondisi duduk di unit gawat darurat. Tenaga kesehatan banyak yang gugur karena kelelahan sehingga tertular virus korona. Petugas pemakaman bekerja siang malam akibat banyaknya korban jiwa.

 

Situasi itu bukan tidak mungkin terulang. Apalagi telah masuk varian baru virus korona dari Inggris dan India. Untuk itu, karantina, pemantauan, dan pelacakan kasus perlu diperketat.

 

Kebijakan larangan mudik lebaran sudah tepat, tetapi banyak diakali warga dengan pulang kampung sebelum kurun waktu pelarangan, 6-17 Mei. Padahal, larangan mudik intinya adalah mengurangi mobilitas orang dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencegah penyebaran virus. Sekarang tergantung dari kesadaran dan upaya pemerintah daerah untuk menangkal masuknya virus serta mengendalikan penularan virus di wilayahnya.

 

Di sisi lain, ada kebijakan ambigu pemerintah. Melarang mudik, tetapi mendorong wisata domestik ke beberapa daerah tujuan wisata lewat program Bangga Berwisata di Indonesia.

 

Seharusnya pemerintah fokus pada pengendalian Covid-19 disertai disiplin penerapan protokol kesehatan. Apalagi, vaksinasi tidak menjamin bebas tertular Covid-19. Semua harus bersabar. Setelah Covid-19 terkendali, pemulihan ekonomi bisa berjalan sepenuhnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar