Senin, 03 Mei 2021

 

Kesejahteraan Buruh di Tengah Pandemi

Mardha TS ;  Statistisi di Badan Pusat Statistik

KOMPAS, 3 Mei 2021

 

 

                                                           

Hari Buruh Internasional tahun ini, seperti juga 2020, masih diselimuti pandemi Covid-19. Setahun terakhir merupakan salah satu masa yang berat bagi para pekerja. Pembatasan mobilitas dan aktivitas akibat pandemi menyebabkan banyak bisnis tutup dan sebagian pekerja kehilangan sumber mata pencarian utamanya.

 

Menurut catatan Badan Pusat Statistik, Covid-19 memberikan dampak terhadap 14,28 persen penduduk usia kerja, atau 29,12 juta jiwa dari total populasi 203,97 juta jiwa. Angka ini terdiri dari 2,56 juta jiwa yang menganggur, 0,76 juta jiwa bukan angkatan kerja (BAK), 1,77 juta jiwa yang sementara tak bekerja, dan 24,03 juta jiwa yang mengalami pengurangan jam kerja. Semua akibat pandemi.

 

Tak heran, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia meningkat dari 5,23 persen (Agustus 2019) menjadi 7,07 persen (Agustus 2020). Selain meningkatnya jumlah penganggur, struktur lapangan pekerjaan juga berubah. Di antara berbagai sektor yang mengalami stagnasi atau bahkan terkontraksi, jumlah pekerja di sektor pertanian dan perdagangan mengalami pertumbuhan positif. Proporsi pekerja di pertanian naik 2,23 persen.

 

Ini wajar karena pertanian umumnya bersifat informal dan tak memerlukan kualifikasi pekerja yang terlalu tinggi sehingga akomodatif terhadap penyerapan tenaga kerja.

 

Perubahan struktur pekerjaan juga terlihat berdasarkan status pekerjaan. Perubahan paling signifikan terjadi pada proporsi buruh/karyawan/pegawai yang turun 4,28 persen. Disinyalir mereka beralih ke pekerjaan informal (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tak tetap, pekerja tak dibayar, dan pekerja bebas) yang total mengalami peningkatan proporsi pekerja 4,6 persen.

 

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah nasib sebagian buruh di tengah pandemi. Berbagai lapangan usaha yang terpukul pandemi terpaksa memotong upah pekerja. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2020, BPS merilis bahwa rata-rata upah buruh turun 5,20 persen menjadi Rp 2,76 juta per bulan. Agustus 2019, rata-rata upah buruh Rp 2,91 juta.

 

Provinsi dengan penurunan upah buruh tertinggi adalah Bali sebesar 17,91 persen, disusul Bangka Belitung 16,98 persen dan NTB 8,95 persen. Provinsi besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, upah turun 7,48 persen, 4,77 persen, dan 3,87 persen.

 

Fenomena perubahan upah juga bervariasi berdasarkan lapangan usaha. Tingkat okupansi hotel dan restoran menurun, dan berujung pada sejumlah langkah efisiensi, seperti upaya merumahkan pegawai, pemotongan upah, atau bahkan pemutusan hubungan kerja. Tak heran, upah di sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sangat terdampak pandemi, turun 17,28 persen.

 

Pada 2021, menyusul kontraksi ekonomi 2,07 persen dan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan tak ada kenaikan upah minimum. Pemerintah berusaha menciptakan iklim investasi yang menarik bagi investor, yang diharapkan membawa efek domino penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.

 

Namun, branding tenaga kerja murah tak seharusnya dijadikan daya tarik. Selain berpotensi mengabaikan kesejahteraan pekerja, pasar tenaga kerja yang melimpah tanpa dibarengi keterampilan mumpuni hanya akan menghasilkan produktivitas rendah dan tidak menarik bagi investor.

 

Peran pemerintah

 

Dalam kegiatan perekonomian yang melibatkan pengusaha dan pekerjanya, kerap kali terjadi konflik karena perbedaan kepentingan. Pekerja menginginkan upah dinaikkan, sementara pengusaha berharap upah tak naik atau tetap. Masing-masing dengan argumentasi tersendiri.

 

Terlebih setelah terbitnya Permenaker No 2/2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 yang memungkinkan sebagian perusahaan melakukan penyesuaian upah. Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja, tetapi proses negosiasi tak mudah.

 

Di sini peran pemerintah sebagai mediator untuk menjamin timbulnya keadilan serta kepastian hukum bagi kedua pihak. Kesejahteraan buruh berkontribusi dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia di tengah pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar