Senin, 03 Mei 2021

 

Mewujudkan Sekolah Aman bagi Semua

Sutrisno ;  Pendidik, Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

KOMPAS, 3 Mei 2021

 

 

                                                           

Mendikbud-ristek Nadiem Makarim mengaku sedang berupaya mendorong terciptanya lingkungan belajar yang aman bagi siswa di sekolah. Adapun caranya dengan menerapkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan bagi Jenjang PAUD, Dasar, dan Menengah.

 

Kemendikbud juga tengah merancang peraturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi, guna menindaklanjuti permasalahan (Kompas.com, 9/3/2021).

 

Sejatinya, Permendikbud tersebut mendorong agar sekolah, dan juga pemerintah daerah melakukan upaya penanggulangan terhadap tindak kekerasan. Lingkupannya dimulai dari tindak kekerasan terhadap siswa, tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, terjadi dalam kegiatan sekolah yang digelar diluar wilayah sekolah, hingga tawuran antarpelajar.

 

Sekolah maupun tenaga pendidik, baik guru hingga kepala sekolah terancam dikenai sanksi bila terbukti melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan yang terjadi di sekolah.

 

Situasi pandemi Covid-19 ternyata juga rentan terhadap kekerasan anak sekolah. Kasus kekerasan anak di sekolah sudah sangat parah. Perilaku ini sudah terjadi di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Terbaru, seorang oknum Kepala Sekolah SMK swasta di Surabaya, Jawa Timur, menjanjikan akan memberikan potongan pembayaran SPP kepada Siswi SMK yang ia cabuli.

 

Terus, beredarnya video pelecehan seksual terhadap siswi di SMK di Bolaang Mongondow (Bolmong). Tindakan asusila itu terjadi di dalam kelas dan dilakukan teman-temannya sendiri. Pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia, kerap menjadi tempat suburnya praktek-praktek kekerasan. Sekolah yang semestinya menjadi rumah kedua memperoleh pendidikan dan perlindungan justru menciptakan budaya kekerasan.

 

Padahal, sudah ada payung hukum perlindungan untuk anak melalui UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Antikejahatan Seksual terhadap Anak, dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

 

Intinya, perangkat hukum itu secara tegas menyebutkan bahwa hak anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

Hemat saya, anak-anak korban kekerasan di sekolah adalah yang kurang mendapatkan perhatian di lingkungan rumah serta cenderung pernah mengalami kekerasan secara fisik ataupun verbal. Di samping itu, maraknya tontonan kekerasan di televisi juga faktor penyebab kekerasan anak di sekolah.

 

Dalam sebuah artikel karya George Gerbner dan Kathleen Connolly berjudul "Television as New Religion" (1980) jelas disebutkan televisi sebagai surrogate parent maupun substitute teacher sehingga para orangtua, guru, pemuka agama telah kehilangan peran mereka di hadapan anak-anak. Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton televisi, media sosial, lebih banyak dibandingkan saat berbagi peran dengan orangtua.

 

Selain dari televisi yang sering menayangkan adegan kekerasan, beraneka ragam jenis permainan atau gim (game) atau playstation yang menyuguhkan aksi kekerasan, dimana pemain menjadi aktornya, yang begitu mudah diakses kapan saja juga menyumbang tumbuhnya virus kekerasan anak. Sebab, permainan-permainan tersebut cenderung mudah ditiru anak usia SD.

 

Celakanya, orang tua lalai, abai, atau belum mampu mengawasi muatan permainan yang disukai anak-anaknya. Kesibukan orang tua sering kali dimanfaatkan anak untuk bermain gim video bersama teman-temannya.

 

Kecanduan gim video bermuatan kekerasan yang bersifat mematikan musuh sangat berbahaya bagi perkembangan mental anak. Bisa jadi anak tumbuh dengan karakter suka melakukan pengeroyokan, penyiksaan, perampasan, tawuran, dan penganiayaan yang berujung maut.

 

Harus diingat, bahwa anak didik sebagai generasi pelanjut kepemimpinan, eksistensinya sangat menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Maka, mari wujudkan sekolah aman bagi semua!

 

Pertama, sekolah perlu pembenahan sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus berimbang dalam menanamkan nilai-nilai karakter, fungsi sosial, dan akademik sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

 

Segera implementasikan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri (permen) Nomor 23 Tahun 2015 supaya sekolah sebagai taman untuk menumbuhkan karakter-karakter positif bagi peserta didik.

 

Lingkungan sekolah harus menjadi wilayah antikekerasan. Siswa di sekolah harus mendapatkan perlindungan dari kekerasan, baik yang dilakukan peserta didik, guru, maupun pengelola sekolah lain.

 

Sekolah, guru dan pemerintah daerah semaksimal dan sebaik mungkin mengimplementasikan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 khususnya dalam penanggulangan, pemberian sanksi, dan pencegahan kekerasan anak di sekolah. Sekolah perlu membentuk satuan kerja pencegahan kekerasan supaya bisa mencegah potensi kekersan di lingkungan sekolah.

 

Kedua, peran guru dalam pengawasan terhadap semua anak didiknya. Menurut Rhenald Kasali (2014), kalau guru memiliki kemampuan observasi yang kuat, tak satu pun masalah anak luput dari catatan dan sentuhannya. Guru menjadi orang pertama yang membaca mengapa anak tiba-tiba menjadi amat takut, sakit, memukul teman-temannya, kurang bergairah, cerewet, asyik dengan dirinya sendiri, banyak melamun, dan seterusnya.

 

Guru harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga anak didik memiliki pedoman dalam berperilaku.

 

Ketiga, orangtua harus berperan sebagai garda terdepan dalam membentengi anak dari segala jenis kekerasan. Orangtua memegang peranan terpenting sebagai pendidik pertama dan utama anak serta membentuk karakter sang anak.

 

Perhatian, kasih sayang, dan pengawasan harus intensif diberikan kepada anak baik di dalam dan luar rumah, termasuk permainan gim video dan smartphone. Berkomunikasi dengan anak juga sangat penting untuk mendengar, curhat, dan meminta pendapat sehingga anak merasa “diorangkan”.

 

Keempat, menuntut pemerintah supaya segera menghentikan tayangan-tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang tidak mendidik bagi proses tumbuh kembang anak, serta pemerintah dan orangtua bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan panduan kepada anak, karena mereka masih membutuhkan itu dalam proses evolusi kapasitas menjadi personal yang tidak lagi dependen dan menuju kedewasaannya. Mari wujudkan sekolah aman bagi semua, aman bagi siswa, aman bagi guru, dan aman di lingkungan sekolah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar