Sabtu, 18 April 2015

Membangkitkan N-250

Membangkitkan N-250

Rahmad Budi Harto  ;  Alumnus Universitas Pertahanan; Pemerhati Teknologi Militer
REPUBLIKA, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sebuah acara bincang-bincang alumnus ITB di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pertengahan 2011, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santosa menyinggung mengenai proyek pesawat N-250 yang terhenti setelah krisis moneter 1998. Dia menyebut angka 300 juta dolar AS yang dibutuhkan untuk membangun lini produksi N-250.

Melihat investasi besar yang dibutuhkan untuk membangkitkan kembali N-250 dan melihat kondisi PTDI saat ini yang sedang berjuang mempertahankan kelangsungan bisnisnya agar tetap untung, tidak salah kalau menyebut proyek N-250 sudah mati dan dikubur dalam-dalam. Kita belum bicara biaya sertifikasi dan uji terbang lanjutan untuk memastikan bahwa N-250 memang benar-benar mumpuni secara teknologi.

Namun, BJ Habibie yang membidani kelahiran N-250 rupanya tak ingin pesawat yang oleh Presiden Soeharto digelari Gatotkaca itu hanya berstatus purwarupa saja. Melalui PT Regio Aviasi Industri (RAI) yang didirikan putranya, Ilham Akbar, N-250 hendak dibangkitkan kembali dari kubur dengan menyandang nama baru R-80. Nama itu menyiratkan pesawat regional yang mampu membawa 80 penumpang.

Skemanya, RAI akan mendesain ulang N-250 menjadi R-80 dan kemudian produksinya dilakukan di fasilitas PTDI. Harapan menghidupkan kembali N-250 menguat setelah Presiden Joko Widodo menyatakan dukungan pemerintah terhadap proyek R-80 seusai diajak Habibie berkeliling pusat riset dirgantara milik LIPI di Serpong, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.

Dari penuturan Budi Santosa, bisa disimpulkan bahwa membuat purwarupa dan memproduksi pesawat secara massal adalah dua hal berbeda. Artinya, selama meriset, mengembangkan, dan membuat dua purwarupa N-250, PTDI yang kala itu bernama IPTN memang belum menyiapkan fasilitas produksinya, mulai dari perkakas permesinan, seperti mesin CNC, milling, sampai jig perakitan.

Masalah bertambah mengingat PT RAI selama ini telah mencoba mendesain ulang N-250 untuk memberi ruang bagi 30 kursi penumpang tambahan melalui beberapa modifikasi, seperti menghilangkan fitur fly by wire yang pernah dibanggakan oleh Habibie sebagai keunggulan utama pesawat itu. N-250 adalah pesawat turboprop (bermesin baling-baling) pertama yang memasang perangkat elektronik sebagai pengganti sistem kendali hidrolik. Hilangnya fly by wire akan membuat biaya produksi R-80 lebih murah dibandingkan N-250.

Desain ekornya juga diubah. Elevator atau kendali horizontal digeser ke atas ke puncak sirip tegak (rudder) sehingga membuat profil ekornya seperti huruf T. Desain ekor yang memang banyak ditemukan di pesawat berkecepatan rendah ini akan membuat R-80 mirip dengan ATR-72 dan Dash-8, pemain utama di pasar pesawat propeler komersial kelas 50-70 penumpang.

PT RAI bertaruh bahwa R-80 bisa menawarkan penerbangan yang lebih efisien dibandingkan pesawat jet di rute jarak pendek. Namun, modifikasi ulang jelas memberi implikasi bahwa R-80 merupakan pesawat yang benar-benar berbeda dari sang Gatotkaca, membuat data uji terbang purwarupa N-250 tak bisa lagi dijadikan acuan. Selain investasi mesin produksi, PT RAI juga harus menyiapkan anggaran uji terbang dan sertifikasi sebelum bisa menjual R-80.

Bila memang Pemerintah Indonesia ingin ikut campur mewujudkan mimpi besar BJ Habibie membangun dan menjual pesawat terbang komersial pertama yang dirancang bangun oleh putra-putri Indonesia, skema yang paling memungkinkan adalah suntikan modal raksasa ke PTDI untuk membangun fasilitas produksinya. Sejak konversi utang ke saham senilai Rp 3,8 triliun pada 2011, setahun kemudian pemerintah menyuntikkan modal Rp 1,4 triliun ke PTDI yang separuhnya digunakan untuk peningkatan kapasitas melalui pembelian mesin produksi baru dan peranti lunak. Suntikan doping ini cukup manjur menyehatkan PTDI meskipun untungnya masih tipis. Tahun ini, ada lagi tambahan modal Rp 400 miliar.

Peremajaan mesin-mesin produksi memang menjadi prioritas utama mengingat sebagian besar mesin CNC dan milling di hangar-hangar PTDI Bandung itu dibeli pada era 1980-an, digunakan untuk produksi CN-235 yang dikembangkan bersama dengan CASA Spanyol (sekarang bernama Airbus Military). Dengan perannya menjadi bagian dari rantai produksi pesawat global, memenuhi pesanan komponen pesawat dari Airbus Group dan pembuatan pesawat CN-235, pesawat C-212, serta produksi dan perakitan helikopter, bisa dikatakan PTDI sudah mendekati kapasitas produksi puncaknya.

Kesan itu tertangkap dengan jelas ketika penulis mengunjungi PTDI di Bandung pada akhir 2012. Giliran kerja di bagian pembuatan komponen sudah dijalankan sampai malam hari walau tak bisa digenjot sampai tiga shift guna menjaga jangan sampai mesin rusak. PTDI juga sudah mulai kembali merekrut karyawan baru bidang produksi, terutama lulusan D3 permesinan dan STM sebagai operator mesin, selain insinyur.

Kita berharap ini adalah turn around setelah pemangkasan karyawan menjadi 4.500 dari semula 15 ribu orang yang begitu menggegerkan lebih dari satu dekade lampau. Beban kerja semakin bertambah setelah Airbus Military memindahkan fasilitas produksi pesawat angkut ringan C-212 ke Bandung mulai 2012 yang memaksa PTDI membangun hanggar produksi baru guna menampung jig-jig perakitannya.

Tanpa R-80, mau tak mau PTDI memang harus memperbesar kapasitas produksinya. Karena itu, suntikan modal besar dari pemerintah ke PTDI yang bisa digunakan BUMN strategis itu untuk membuat proyek masa depan, termasuk mungkin membangkitkan kembali N-250 dari kuburnya, tak bisa dihindarkan.

Laku atau tidaknya penjualan R-80 nantinya, risiko yang akan ditanggung PTDI tak akan terlalu besar mengingat mereka hanya akan membuat pesawat dengan fasilitas yang juga bisa dimanfaatkan untuk membuat pesawat lain, kecuali jig perakitannya.

Satu hal yang harus diingat, PTDI dibangun bukan sebagai perusahaan pembuat komponen pesanan pabrikan pesawat besar, seperti Airbus atau Boeing, bisnis yang menjadi andalan utama dan lifeline bagi PTDI saat krisis lalu. Lagi pula, keuntungan terbesar dalam industri ini adalah membuat dan menjual pesawat, bukan mengerjakan komponen pesanan orang lain.

PTDI adalah sebuah industri dirgantara yang memiliki kemampuan dalam riset dan pengembangan pesawat, sebuah kapasitas yang hanya bisa diasah melalui proyek pesawat baru yang memberi peluang pembelajaran bagi para insinyurnya. Para pembuat N-250 sebagian besar sudah senior dan berkarya di berbagai industri dirgantara global sehingga yang tersisa di Bandung adalah 700 insinyur muda yang butuh tantangan dan pengalaman dalam pengembangan produksi pesawat. Sepertinya, R-80 akan cukup menantang bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar