Kamis, 06 Mei 2021

 

Strategi Riset Indonesia

Badri Munir Sukoco ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

KOMPAS, 6 Mei 2021

 

 

                                                           

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Riset dan Teknologi resmi berdiri dengan dilantiknya Nadiem Makarim sebagai Menteri, 28 April lalu. Tentu Presiden Joko Widodo memiliki pertimbangan matang, khususnya akselerasi tercapainya visi Kabinet Indonesia Maju. Lepas dari perangkap kelompok negara berpendapatan menengah (middle income trap/MIT) dan mengantarkan Indonesia menjadi negara maju pada 2045.

 

Keun Lee (2019) menyampaikan bahwa menjadi negara maju membutuhkan kapabilitas inovasi yang tinggi, dan semuanya berawal dari riset. Saat ini Indonesia masih menduduki peringkat ke-74 dunia untuk kapabilitas berinovasi berdasarkan Laporan Daya Saing Global (Global Competitiveness Report/GCR). Posisi ini jauh dibandingkan dengan tahun 2014/2015 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-22 dunia. Hal ini menunjukkan akselerasi kapabilitas inovasi Indonesia perlu ditingkatkan.

 

Apa strategi riset Indonesia dalam meningkatkan kapabilitas inovasi agar lepas dari MIT?

 

BRICS dan Indonesia

 

BRICS adalah grup emerging economies yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sejak 2009, grup negara ini diharapkan bisa menjadi negara maju baru. Dengan penduduk sekitar 3,21 miliar (sekitar 41,53 persen penduduk dunia) dan sekitar 26,66 persen wilayah dunia, tentu harapan tersebut akan mudah tercapai.

 

Hingga 2019, negara yang mendekati batas bawah negara maju (secara ekonomi) adalah Rusia (pendapatan 11.585 dollar AS) dan China (10.217 dollar AS). Adapun Brasil yang pernah mencapai 11.286 dollar AS (2010) malah turun ke 8.717 dollar AS (2019). Begitu juga dengan Argentina, pernah mencapai 13.789 dollar AS (2015), turun menjadi 9.912 dollar AS (2019). Tren yang sama dialami oleh Afrika Selatan (6.001 dollar AS). Adapun India memiliki tren positif, tetapi masih di kelompok negara berpendapatan rendah/lower middle-income countries (2.099 dollar AS).

 

Terlihat Brasil, Argentina, dan Afrika Selatan kesulitan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, dan masuk dalam MIT. Yang cukup progresif untuk keluar dari MIT adalah China. Jika pada 2000 pendapatan per kapita China 959 dollar AS, pada saat yang sama Indonesia 780 dollar AS, tahun 2010 China mencapai 4.550 dollar AS dan Indonesia 3.122 dollar AS.

 

Dalam waktu kurang dari 10 tahun, China telah menggandakannya menjadi 10.217 dollar AS. Hal inilah yang menjadikan ekonom meyakini dalam lima tahun ke depan China akan keluar dari MIT.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Pandemi Covid-19 menurunkan status kita dari kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income countries) pada 2019 (4.136 dollar AS) menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income countries) dengan pendapatan per kapita per tahun 3.911,7 dollar AS. Jika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia tumbuh dengan rata-rata seperti 10 tahun terakhir, perlu 64 tahun (tahun 2085) agar kita lepas dari MIT.

 

Dibutuhkan transformasi ekonomi, khususnya struktural, agar Indonesia mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonominya. Kita bisa belajar dari keberhasilan Korea Selatan, yang secara resmi keluar dari MIT tahun 1995 (kemudian terpuruk karena Krisis Ekonomi Asia 1997/1998), dan bangkit lagi mulai tahun 2000 hingga pendapatan per kapitanya 31.846 dollar AS (2019).

 

Menurut Lee (2019), hal ini terjadi karena tingginya proporsi penduduk yang berpendidikan tinggi (khususnya doktor pada bidang STEM) dan kapabilitas berinovasi, khususnya yang terkait dengan teknologi.

 

Riset dan ”catch-up” teknologi

 

Riset intensif yang dilakukan Lee dan kolega terkait dengan teknologi menghasilkan temuan yang cukup menarik. Pada awal 1980-an, Korea dan Taiwan memiliki level pengetahuan yang terlokalisasi rendah, sama levelnya dengan negara-negara middle income countries yang lain.

 

Namun, pada 1990-an, level tersebut menyamai negara-negara maju, dengan penciptaan teknologi secara domestik cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengatasi ketertinggalan dalam hal teknologi (technological catch-up) yang dimiliki Korea dan Taiwan tinggi, dan menopang lepasnya mereka dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).

 

Temuan kedua, orientasi riset yang dipilih. Kajian Kim dan Lee (2015) menunjukkan perbedaan orientasi dalam riset nasional, apakah mengembangkan ilmu pengetahuan (science-oriented) atau teknologi (technological-oriented) dalam menumbuhkan perekonomian.

 

Untuk negara-negara di Amerika Latin, mereka fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang diukur dengan banyaknya publikasi ilmiah yang dihasilkan dibandingkan dengam teknologi (yang diukur dengan banyaknya paten yang dihasilkan perusahaan). Kebijakan ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkan ilmuwan akan menjadi input dari pengembangan teknologi. Akibatnya. ilmuwan di perguruan tinggi terisolasi dari sektor swasta dan teknologi yang digunakan.

 

Hal inilah yang menjadikan kedua belah pihak, baik perguruan tinggi maupun sektor swasta, mulai ketinggalan karena terbatasnya interaksi di antara keduanya. Sebaliknya, Korea dan Taiwan lebih mengutamakan teknologi dibandingkan dengan pengetahuan. Interaksi antara ilmuwan dan industri terjadi secara intens sehingga pengembangan teknologi dengan paten yang dihasilkan menjadi tinggi. Ini yang menunjang Korea dan Taiwan terlepas dari MIT secara cepat.

 

Bagaimana dengan riset di Indonesia? Terkait dengan lokalisasi pengetahuan (teknologi), data World Intellectual Property Organization (WIPO) tahun 2019 menunjukkan, 73,10 persen paten yang diajukan Indonesia (11.481 unit) adalah nonresiden. Paten nonresiden yang diajukan China hanya 11,20 persen, dengan jumlah paten terbesar di dunia (122 kali lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia).

 

Adapun dari paten yang diberikan, China memiliki proporsi nonresiden 20,30 persen, adapun Indonesia 93,40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa paten yang diajukan dan diberikan untuk Indonesia memiliki lokalisasi pengetahuan yang rendah.

 

Terkait dengan orientasi riset pada pengetahuan atau teknologi, Scival database menunjukkan bahwa Indonesia memiliki conversion rate 0,86 persen dalam 10 tahun terakhir. Conversion rate memperbandingkan jumlah paten yang men-sitasi publikasi ilmiah yang dihasilkan sebuah negara. Di ASEAN, Singapura memiliki conversion rate tertinggi (14,15 persen), diikuti Thailand (4,83 persen), Vietnam (2,93 persen), dan Malaysia (2,83 persen).

 

Di Asia, yang tertinggi adalah Korea Selatan (9,10 persen), diikuti Jepang (7,64 persen), China (3,06 persen), dan India (2,83 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia yang mengalami pertumbuhan publikasi tertinggi di ASEAN dalam lima tahun terakhir memiliki orientasi pengetahuan dibandingkan dengan teknologi.

 

Rekomendasi

 

Riset adalah langkah awal sebuah negara dalam catch-up teknologi dan membangun kapabilitas inovasi. Kajian Arora dkk (2019) pada Harvard Business Review menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas Amerika Serikat (AS) menurun sejak 1970-an. Hal ini cukup mengejutkan, apalagi data National Science Foundation (NSF) menunjukkan investasi dalam pengetahuan meningkat lima kali, jumlah doktor dua kali, dan publikasi ilmiah tujuh kali.

 

Perlambatan ini terjadi karena minimnya keterlibatan industri dalam riset menjadikan rendahnya aplikasi penemuan yang ada (conversion rate 5,60 persen). Hal ini dapat menjelaskan berkurangnya daya saing AS dalam berinovasi ataupun dominasinya di ekonomi dunia saat ini dan masa datang.

 

Bagi Indonesia, domestikasi riset dan peningkatan conversion rate mutlak dilakukan. Dua hal ini menjadi tugas berat bagi Mendikbud-Ristek dan Kepala BRIN. Menitikberatkan riset yang technological-oriented dan meningkatkan partisipasi industri dalam riset. Bagi perguruan tinggi, sebuah keharusan mengalokasikan topik riset yang tinggi relevansinya dengan kebutuhan industri agar dapat optimal pemanfaatannya.

 

Selain itu, memfasilitasi dan mengapresiasi penelitinya untuk aktif bekerja sama dengan industri dalam menghilirisasi hasil risetnya adalah langkah krusial. Bagi industri, insentif yang atraktif perlu diberikan agar mengalokasikan biaya R&D. Akselerasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 sebagai dasar insentif pajak super-deduction tax bagi industri yang melakukan riset perlu dilakukan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar