Sabtu, 08 Mei 2021

 

Merayakan Keterbatasan

M Alfan Alfian ;  Dosen Magister Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta

KOMPAS, 7 Mei 2021

 

 

                                                           

Beberapa kali di harian Kompas saya menulis tentang refleksi mudik Idul Fitri. Saya pernah menulis dengan judul ”Merayakan Keindonesiaan” (Kompas, 1 Juni 2017) dan ”Merayakan Kemanusiaan” (Kompas, 19 Juni 2018). Kali ini, dengan adanya kebijakan larangan mudik oleh pemerintah sebagai antisipasi berkembangnya pandemi Covid-19, terpaksalah saya membuat tulisan, ”Merayakan Keterbatasan”.

 

Pada hakikatnya manusia dilahirkan dalam kondisi terbatas, dia nyaris tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada orang lain yang lebih dewasa. Manusia lahir berjumpa dengan alam dunia yang barangkali saja kelak dia pahami sebagai absurd. Dunia penuh absurditas dan, di tengah ragam tantangan, dia harus eksis. Hidup harus berjalan, betapa pun kejamnya penderitaan. Betapa pun demikian, Tuhan menyukai orang yang bersyukur.

 

Sabar dan syukur adalah jawaban. Dengan bersabar, segala cobaan kita hadapi dengan ikhlas. Dengan selalu bersyukur, kita terhindar dari kesombongan. Manusia makhluk serba terbatas. Dia tak punya apa-apa. Yang merasa kaya dengan segala kekayaan materi, apakah materi itu akan terus dibawa sampai ke liang kubur? Yang dibawa amal kebaikannya. Manusia serba terbatas, justru dia tidak membawa apa-apa ketika hadir di dunia. Kelak, semua yang kita catat sebagai yang miliki, semua itu hanya titipan. Bak syair lagu Koes Plus, dalam tidurmu semua akan hilang.

 

Justru karena manusia makhluk serba terbatas, dia tidak punya hak sama sekali untuk sombong. Kesombongan akan meluluhlantakkan semuanya. Perbuatan manusia tercatat. Yang berbuat baik kendati sebesar biji sawi akan mendapat ganjaran-Nya. Juga sebaliknya. Guru madrasah saya berpuluh tahun yang lalu mencontohkan, betapa sia-sianya tenaga yang kau keluarkan untuk mengisi bak wudhu dengan menimba air di sumur ketika kau lantas sombong ke teman-temanmu dengan mengatakan, kalau bukan karena aku, para jamaah tidak bisa berwudhu.

 

Hanya sekadar mengatakan ini semua ada karena aku, itu sudah ditafsirkan sebagai kesombongan. Mengapa? Karena manusia serba terbatas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan-Nya. Mengabaikan kekuatan ilahiah dalam kehidupan sehari-hari fatal akibatnya. Betapa pun demikian, banyak yang merasa tidak tahu-menahu tentang hal ini. Aspek religiositas dianggap tidak penting. Itu ironis, padahal melalui dimensi religiositas itulah manusia menjadi sensitif terhadap sesamanya.

 

Dalam pandangan Idul Fitri, manusia seolah lahir kembali dalam kondisi asal atau fitrahnya yang suci. Pandangan ini menganggap bahwa semua manusia lahir dalam kondisi sedemikian. Pandangan yang sangat positif itu mengasumsikan bahwa dalam dinamika hidup manusia, sejahat-jahatnya dia, secara naluriah tetap ada keinginan berbuat baik. Apakah keinginan itu kuat atau lemah, atau belum sempat terwujud hingga seseorang meninggal, semua ada perhitungannya.

 

Karena itu, justru dengan menyadari keserbaterbatasannya, manusia senantiasa berikhtiar untuk kebaikan. Manusia berjuang untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik. Dalam ajaran agama Islam, Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak dan Rasul memberikan suri teladan yang baik (uswatun hasanah). Mengemuka pula ajaran bahwa sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi sesama. Kemanfaatanlah yang menjadi patokan, apakah manfaat bagi sesama manusia, lingkungan hidup, ataupun sesama makhluk Tuhan lainnya.

 

Menyadari adanya keterbatasan itulah, manusia berjuang untuk berserah. Perjuangan untuk berserah diri kepada-Nya ialah perjuangan seumur hidup. Tidak ada daya dan upaya, itu semua dari Yang Maha Kuasa.

 

Pandemi

 

Uraian di atas barangkali selaras dengan kondisi kita, warga dunia, ketika dunia tengah dikepung pandemi Covid-19. Pandemi yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini mencatatkan betapa terbatasnya kemampuan manusia untuk mengantisipasinya. Bahkan, kini, varian Covid-19 semakin bermacam-macam, berlomba dengan segala daya dan ikhtiar manusia untuk melawannya. Segala macam kegiatan yang menghadirkan orang banyak tidak dianjurkan, bahkan dilarang. Bahkan, kita sempat menyaksikan bagaimana Mekkah, tempat umat Islam naik haji, ditutup dan dibatasi jemaahnya.

 

Pandemi tidak mengenal sentimen primordial. Dia menyasar ke siapa saja, termasuk terutama mereka yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Dalam konteks inilah kebijakan pemerintah yang membatasi mudik Lebaran bisa dipahami. Memang berat rasanya. Saya bisa merasakannya karena saya termasuk satu dari ribuan, bahkan jutaan, pemudik di masa normal. Kendati demikian, tetaplah Idul Fitri kita rayakan bersama kendati di tengah keterbatasan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar