Sabtu, 08 Mei 2021

 

Diah Marsidi dalam Kenangan, Warga Dunia yang Terus Mengembara

Ninuk M Pambudy ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 7 Mei 2021

 

 

                                                           

Kita semua tahu suatu saat kita pasti akan pergi menghadap Sang Khalik. Kita ingin kita siap ketika pergi atau ditinggal pergi. Tetapi, ketika orang yang kita kenal dan kita sayangi pergi, tetap saja rasa tidak siap muncul. Ada kesedihan yang tidak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata.

 

Begitu juga ketika mendengar seorang teman baik, sahabat, Diah Kumorowati Marsidi, meninggal, Jumat (6/5/2021) pukul 16.00, di RS Siloam Semanggi, Jakarta, rasa kehilangan menyergap. Perjuangan melawan penyakitnya selesai sudah. Dia melawan penyakitnya dalam diam. Seperti selama menjadi wartawan di Kompas selama hampir 35 tahun, dia bekerja dalam diam.

 

Saya mengenal Diah sejak mulai menjadi wartawan Kompas, 1 Juni 1985. Diah sudah lebih dulu bergabung dengan Kompas sejak 1 Juni 1981. Perempuan yang menjadi wartawan tidak banyak saat itu. Seingat saya hanya ada Diah, Mary Jane, Evie Fadjari, dan Chris Pudjiastuti. Saya bergabung di Kompas bersama Maria Hartiningsih.

 

Kami bersama-sama mengelola Desk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada 1988. Diah sebelumnya sudah banyak membuat liputan mengenai kesehatan, sementara saya menjadi anggota desk ekonomi.

 

Kekuatan Diah adalah penulisan feature, sisi manusia dari setiap peristiwa. Dia mampu menggambarkan subyek liputannya dengan gaya bertutur yang membuat pembaca merasa ada di tempat. Ikut merasakan gembira, berdebar-debar, cerita tentang kekonyolan, penderitaan subyek tanpa cerita mendayu-dayu mengharu biru. Melalui feature, Diah mampu menggambarkan suatu situasi sekaligus mengkiritk tanpa harus menyudutkan.

 

Baca, misalnya, tulisan berjudul: ”Berhalo-halo di Jakarta, Percakapan Tiga Arahpun Bisa” (Kompas, 19 Desember 1982) di halaman satu. Tulisan itu menggambarkan lahirnya teknologi otomasi telepon di Jakarta dan lahirnya telepon umum.

 

Dia menggambarkannya melalui seorang perempuan yang berhalo-halo beberapa kali sambil berteriak, tetapi tidak mendengar jawaban dari sisi sana. Karena kesal, telepon dibanting. Dari situ, Diah menggambarkan kesulitan komunikasi saat itu. Jumlah sambungan telepon per kapita di Jakarta hanya satu untuk 40 orang. Sementara di Amsterdam, satu telepon untuk dua orang.

 

Diah juga seorang penulis perjalanan yang baik. Pengamatannya rinci dan teliti, semua menjadi jalinan kata yang hidup, membawa pembaca masuk ke dalam lokasi dan situasi yang dia tuturkan.

 

Laporan Diah yang sampai hari ini masih selalu teringat adalah ketika dia menuturkan pertemuannya dengan paus Southern Right whale, spesies Right whale, paus ”benar”. Tempatnya jauh, di Puerto Piramide, Peninsula Valdes, Argentina.

 

Dalam ”Sebuah Perjumpaan di Puerto Piramide” (Kompas, 23 Oktober 1992), dia melukiskan pertemuan dengan paus sebagai berikut: ”Dua ’benda’ yang mengambang itu makin dekat dan kelihatan bahwa itu makhluk hidup. Ya, binatang mamalia yang mendapat nama ikan paus. Di kejernihan air laut terlihat bercak-bercak putih pada bagian atas tubuh mereka yang hitam. Keduanya, yang satu sangat besar dengan panjang sekitar 15 meter sedang yang kecil merapat pada tubuh si besar, makin mendekat dan mendekat. Kami menahan napas, khawatir mereka menggulingkan kapal kami. Dan... keduanya menyelam lewat bawah kapal. Dengan terbelalak-namun sudah dapat bernapas kembali- keduapuluh dari kami memandang lekat-lekat ke kedalaman laut dari kedua pinggiran kapal (Alacran sudah memperingatkan, kalau tidak ingin perahu terbalik kami sebaiknya tetap di masing-masing sisi kapal). Karena bercak-bercak putih mereka, kami bisa melihat makhluk raksasa itu meluncur tenang tepat di bawah kami. Ketika mereka muncul lagi, jarak yang memisahkan kami sudah puluhan meter. Dua benda mengambang di luasnya lautan”.

 

Diah mendeskripsikan bagaimana pemandu perjalanan sangat menghargai paus-paus itu dengan berulang kali menekankan para turis itu sedang bertamu ke rumah para paus sehingga tidak boleh mengganggu mamalia laut tersebut. Caranya, tidak boleh bersuara—tidak boleh bicara dan mesin kapal dimatikan—agar tidak merusak ketenangan.

 

Suasana tenang laut luas, paus besar yang menakjubkan, serta kedekatan hubungan ibu dan anak paus yang dibangun pada awal tulisan tiba-tiba koyak menjelang akhir. Pembaca disodori fakta paus Right whale banyak diburu untuk diambil balin, lemak, dan dagingnya. Berenangnya lambat dan ketika tewas mengambang, menjadikan paus ini buruan yang banyak dicari.

 

Tulisan itu sudah cukup untuk mengingatkan perburuan paus yang mengancam keberlanjutan hidup satwa terbesar di Bumi dan nilai penting mamalia itu dalam menjaga keberlangsungan umat manusia.

 

Sebagai seorang wartawan, Diah bukan orang yang suka menonjolkan diri. Dalam catatan Bre Redana yang cukup dekat mengenal Diah sebagai sesama wartawan Kompas, Diah adalah wartawan yang bekerja dalam diam dan tekun.

 

Di dalam ”diam”-nya, tertangkap suatu kegelisahan yang tidak pernah dia nyatakan secara eksplisit. Saya tidak termasuk di dalam inner group Diah, tetapi saya merasakan kegelisahan itu sejak kami bersama-sama mendapat tugas mengelola Desk Iptek.

 

Mungkin dia belum menemukan tempat yang cocok yang dapat memenuhi keingintahuan dan minatnya. Mungkin itu pula sebabnya dia kemudian hanya bersedia mengelola Desk Iptek selama 13 bulan, 1 Oktober 1991-4 Desember 1992.

 

Itulah Kompas, lebih tepatnya Pak Jakob Oetama. Pak Jakob selalu percaya setiap orang punya kelebihan masing-masing. Pak Jakob memberi tempat bagi semua orang, dalam posisi struktural pada jabatan editor hingga pemimpin redaksi ataupun dalam posisi fungsional sebagai wartawan yang puas dengan menyajikan laporan jurnalistik, sepanjang orang tersebut jujur dan tekun. Kekuatan Diah dalam menulis feature menjadikan dia dipercaya menjadi koordinator feature.

 

Pak Jakob juga tahu kelebihan Diah adalah minatnya pada bahasa. Secara formal, dia menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam Sastra Perancis di Universitas Indonesia. Sedangkan pendidikan S-2-nya dia selesaikan di Fakultas Sejarah, University of Miami, pada 1999. Namun, minat bahasanya terus berkembang. Di luar bahasa Inggris, dia juga belajar bahasa Spayol dan Portugal. Karena itu, suatu hari, Pak Jakob mendorong Diah untuk menelaah juga media-media berbahasa Spanyol yang bisa dilanggankan oleh kantor.

 

Pekerjaan dalam posisi struktural rupanya bukan minatnya. Pengembaraan Diah melalui bahasa membawa kakinya melangkah menjelajahi negara-negara yang bagi banyak orang terasa jauh pada 1990-an dan awal 2000. Perhatiannya tidak berubah, tetap tentang orang dan kehidupan sehari-hari masyarakat yang dia temui. Dengan cara itu, Diah ikut memberi warna pada harian Kompas, memberi sisi manusia yang beragam rupa.

 

Dalam perjalanan ke berbagai tempat tesebut, dia tidak pernah lupa membawakan oleh-oleh bagi teman-temannya. Saya mendapat lukisan kaca pemandangan suasana panen yang dia bawa susah payah dari Polandia. Dia juga memberi oleh-oleh boneka-boneka mungil dari batu dari Brasil dan beberapa negara lain.

 

Pendeknya, meski kami tidak dekat secara fisik, saya merasa dia selalu memberikan perhatian kepada teman-temannya. Termasuk sering membagikan cokelat atau kue kecil yang dia bawa dari perjalanan luar negerinya kepada teman-teman di kantor. Dia mendatangi satu per satu teman-teman di meja-meja. Bukan hanya wartawan, karyawan nonwartawan juga dia perhatikan. Hal yang saya coba ikuti, tetapi tidak selalu berhasil. Diah dengan caranya membangun keakraban ruang Redaksi yang membuat kami merasa sebagai keluarga besar.

 

Dia menyebut dirinya sebagai warga dunia. Tetapi, tujuan favoritnya adalah Brasil. Negara yang memerlukan dua hari perjalanan untuk mencapainya. Di sana, dia memiliki banyak teman, termasuk dari komunitas capoeira, yang dia coba perkenalkan juga ke Indonesia. Di Jakarta, dia berhasil memperkenalkan seni bela diri asli Brasil itu dan membangun komunitas yang anggotanya dia sebut sebagai anak-anaknya.

 

Ketika dia memilih pensiun dini pada 1 April 2016, keinginannya adalah menetap di Brasil. Di dalam blog http://selfdefense-technique.blogspot.com/ dalam tulisan berjudul ”Capoeira” pada 23 Agustus 2003, terlihat bagaimana Diah mencintai seni bela diri ini. Dia mendatangi tempat-tempat di mana capoeira lahir dan menjadi keseharian warganya. Dia bertemu dengan para mestre dan profesor capoeira. Mungkin karena dia adalah juga karateka, capoeira menarik perhatiannya.

 

Ada hal yang mendapat penekanan Diah. Seni bela diri capoeira adalah kebudayaan, mengajari pemainnya tentang hidup bermasyarakat karena harus bekerja sama saat memainkan. Diah mengutip mestre Duda, ”Dalam capoeira, orang diajarkan menghormati sesamanya. Capoeira bukanlah sekadar pertarungan dari sudut pandang teknik, tetapi suatu jogo (permainan) di mana Anda tidak ’bermain melawan’ (joga contra) melainkan ’bermain dengan’ (joga com) mitra Anda.”

 

Cita-cita tinggal di Brasil tidak terlaksana. Diah, kelahiran Jakarta, 20 April 1957, berpulang pada 6 April 2021. Selamat jalan, Diah. Semoga menemukan kebahagiaan abadi bersama Sang Maharahim. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar