Kamis, 06 Mei 2021

 

”Dan” dan ”Juga”

Sori Siregar ;  Cerpenis

KOMPAS, 4 Mei 2021

 

 

                                                           

Belakangan ini  saya kerap menemukan kalimat yang membuat saya bertanya-tanya. Misalnya seperti ini: Ibu dan juga ayah pergi ke pasar. Apakah kata juga diperlukan dalam kalimat itu? Tidakkah cukup dengan mengatakan: ”Ibu dan ayah pergi ke pasar.”

 

Menurut KBBI Edisi V, kata ”dan” adalah penghubung satuan bahasa yang setara, termasuk tipe sama dan memiliki fungsi tak berbeda. KBBI juga memberi contoh amat jelas: ”Ayah dan ibu, bibi dan paman, serta para anak cucu dan kemenakan bersama-sama merayakan 50 tahun perkawinan nenek mereka.”

 

Seandainya kata ”juga” disertakan dalam kalimat itu, inilah hasilnya: ”Ayah dan juga ibu, bibi dan juga paman, serta para anak cucu dan juga kemenakan merayakan 50 tahun perkawinan nenek mereka.”

 

Kata ”juga” pada kalimat kedua ini rasanya berlebihan, apalagi jika kita mengetahui kata ”juga” berarti ’selalu demikian halnya (kadang-kadang untuk menekankan kata di depannya)’. Apakah  dirasa belum cukup kalau  kata ”juga” disingkirkan dulu? Apakah kita harus memberi tekanan tiap kali menuliskan kata ”dan”? Mungkin ini terjadi karena orang  malas memilih kata apa yang harus dipakai. Untuk amannya gunakan saja ”dan juga”.

 

Berlebihan atau tak perlu penjelasan. Dengan ada kata ”juga”, pembaca tahu kata dan disertai kata juga mesti mendapat perhatian lebih dibandingkan frasa atau kalimat yang memakai kata ”dan” saja. Untuk mendapat perhatian lebih, kalimat atau frasa perlu dibuat berlebihan. Masuk akal juga, ’kan’?

 

Namun, jangan lupa, kata ”juga” bisa menyesatkan. Misalnya: ”Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan kita”.  Jika dalam kalimat ini disertakan kata ”juga” setelah kata dan konotasinya bisa berbeda.

 

Dengan kalimat ”Bung Karno dan juga Bung Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan kita”, bisa timbul penafsiran Bung Hatta semula tak akan disebut namanya dalam Proklamasi. Dapat berarti  Bung Karno membacakan Proklamasi dengan menyertakan Bung Hatta, lo, bukan sendirian. Kalau ada yang ingin menafsirkan lain silakan saja.

 

Mungkin ini disebut ”gaya” berbahasa. Karena ini gaya, pengikutnya selalu bertambah. Karena ini gaya, media cetak, media elektronik, dan  media sosial ikut memopulerkannya.

 

Jika diingatkan penggunaan kata ”juga” sebaiknya tak dipakai setelah kata ”dan”, penulis yang suka bergaya merasa  kalangan yang mengingatkan ini tak mengikuti perkembangan bahasa. Bahasa yang hidup ialah bahasa umum dipakai warga. Padahal, kata sebaiknya merupakan anjuran, bukan keharusan.

 

Barangkali Pak Liek Wilardjo atau teman saya, Eko Endarmoko, bisa memberi penjelasan lebih baik sebagai rujukan. Kalau mereka atau salah satu di antaranya berpendapat penambahan kata ”juga” setelah kata ”dan” boleh-boleh saja, saya akan merujuk kepada mereka.

 

Mengapa? Karena kalimat yang memakai kata ”dan” serta ”juga” membuat saya bertanya-tanya apakah itu berlebihan atau tidak. Saya merasa bahasa kita harus dikawal. Kita bantu para pakar bahasa kita yang membuat ”aturan main” agar kita tak menyimpang ke mana-mana. Bahasa harus dijaga. Jika perlu, ada ”polisi bahasa” untuk melaksanakan tugas  tersebut.

 

Sudah sering  kita memakai kata secara berlebihan contohnya, misalnya kalau, agar supaya, tak peduli pada ejaan, dan dalam menulis kalimat tak jarang kita menabrak rambu-rambu hukum DM dan masuk seenaknya ke dalam hukum MD. Cukuplah sudah, jangan kita tambah lagi pelanggaran ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar