Jumat, 07 Mei 2021

 

Setahun Didi Kempot, Mencipta Bunyi, Melintas Waktu

Aris Setiawan ;  Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta

KOMPAS, 6 Mei 2021

 

 

                                                           

Ia pergi di puncak kariernya sebagai penyanyi setahun yang lalu (5/5/2020). Didi Kempot yang lebih dikenal sebagai The Godfather of Broken Heart atau ”Bapak Patah Hati” itu mampu mencipta gaya baru dalam dunia musik pop. Karyanya menemukan momentum yang pas saat musik pop arus utama mengalami kemandulan kreativitas, monoton, dan tak memiliki kebaruan dari sisi musikalitas. Tiba-tiba letupan itu muncul. Ada semacam upaya mendaur ulang masa lalu untuk dihadirkan dengan penuh kesegaran di masa ini.

 

Hampir semua karya Didi Kempot adalah tembang lawas yang ”dihangatkan” kembali dengan bumbu corak musikal yang lebih progresif. Tiba-tiba dalam konstruksi tema karya mendayu, mellow, melankolis, dan penuh ratapan, kita melihat entakan musikal yang membuat tubuh harus bergoyang (simak: cendol dawet). Kesedihan itu niscaya menjadi ekstase yang bukan saja harus ditangisi, melainkan juga harus dirayakan.

 

Didi dibesarkan dalam kultur musik campursari Jawa. Sebuah jenis musik yang oleh sebagian akademisi seni dianggap sebagai ”musik sampah” karena menampung berbagai gaya musikal tanpa proses selektif selayaknya gending-gending karawitan. Terlebih benturan-benturan nada terkesan dipaksakan antara gamelan (pentatonik) dan musik Barat (diatonik).

 

Hal tersebut merusak citra keagungan musik Jawa yang dikenal adiluhung itu. Tapi, apa mau dikata, campursari justru diterima publik secara terbuka. Hampir di setiap pelosok kampung bermunculan kelompok campursari yang laris manis menghiasi hajatan-hajatan desa. Tidak sedikit dalang wayang kulit yang awalnya menolak keras kehadiran musik campursari mulai berbalik arah.

 

Dengan menghadirkan pemain instrumen musik Barat (gitar, kibor, bass), lagu-lagu campursari dibawakan. Pertunjukan wayang itu dengan seketika menjadi meriah. Penuh sesak dengan penonton yang berhasrat melihat biduan campursari dengan kebaya dan sanggulnya yang anggun itu.

 

Sesaat setelah campursari dibawakan, mereka pulang, wayang kembali sepi penonton. Aduh!

 

Didi hadir dengan karya yang mendobrak kebekuan. Lagu campursari berlirik santun, berlagak priayi, dengan gaya bahasa yang halus selayaknya langgam Jawa (baca Manthous), diubah menjadi lebih membumi oleh Didi Kempot. Ia menggunakan bahasa Jawa ngoko, bahasa keseharian yang lebih mudah dimengerti dan dipahami orang kebanyakan.

 

Tiba-tiba muncullah judul-judul yang tak lagi puitik Jawa, selayaknya ”Kutut Manggung”, ”Ngidam Sari”, ”Yen Ing Tawang Ana Lintang”, ”Caping Gunung”, tetapi menjelma menjadi ”Stasiun Balapan”, ”Parang Tritis”, ”Terminal Tirtonadi”, ”Pamer Bojo”, bahkan ”Suket Teki”. Dari judul itu, Didi Kempot berupaya membuat tanda bahwa segala kenangan tentang asmara tak harus didapat ”dari bawah sinar rembulan yang tertusuk daun ilalang”. Tetapi, dari hal-hal remeh-temeh ataupun tempat-tempat yang jamak, seperti stasiun, terminal, pantai, dan pelabuhan.

 

Didi Kempot mendekonstruksi kewibawaan laki-laki Jawa yang melembaga penuh kehormatan. Bagaimana mungkin laki-laki Jawa yang dikenal halus, tenang, dengan sikap terkontrol dan terjaga, kemudian harus menunjukkan diri menangis tersedu hanya karena ditinggal kekasih. Didi Kempot tanpa malu menguraikan secara gamblang lewat lirik-liriknya.

 

Sementara itu, pada lagu-lagu campursari lawas senantiasa menunjukkan citra laki-laki Jawa yang penuh kewibawaan. Rindu dan putus cinta tentu boleh, tapi sewajarnya saja. Dengan kata lain, jangan malu-maluin sebagai laki-laki Jawa tulen. Tetapi, bagi Didi sebaliknya, putus cinta adalah sebuah peristiwa yang berbuah tragedi jika hanya dipendam sendiri.

 

Didi menunjukkan satu hal bahwa dalam kesendirian ada kebersamaan. Patah hati adalah ikatan yang mempersatukan. Lahirlah apa yang disebut sebagai ”sobat ambyar”, sekumpulan para pejuang cinta yang tak pernah menemukan kata akhir. Kegagalan mendapat kekasih idaman harus diwujudkan lewat dendang nyanyian dan sebentuk goyangan. Karya Didi kemudian melintas batas.

 

Musik campursari yang awalnya hanya digandrungi di tanah Jawa itu melenggang menembus sekat-sekat kewilayahan. Menjadi semacam ”bom musikal” yang dampak getarannya dapat dirasakan oleh siapa pun.

 

Tidak peduli apakah dari Jawa atau bukan, mengerti bahasa Jawa atau tidak. Mendengarkan lagu-lagu Didi menjadi ajang pemersatu. Mampu melepas ikatan beban-beban kebudayaan (suku, ras, dan golongan) yang selama ini membelenggu dan memisahkan.

 

Lagu-lagu lawas digarap ulang, dinyanyikan dengan penuh penjiwaan. Ia menjadi bintang. Satu-satunya musisi Jawa yang penuh percaya diri tampil di panggung-panggung megah Ibu Kota tanpa kikuk dan malu. Didi Kempot menjadi ikon baru bagi sebuah generasi yang sering kali lebih mengedepankan rasionalitas dibandingkan dengan perasaan.

 

Lewat lagu Didi kita mengetahui dan sekaligus menemukan katarsis bahwa seberapa pun teknologi telah membuat ukuran-ukuran ideal tentang kehidupan, lewat berbagai terobosan agar manusia menemukan formula melawan sepi dan kesendirian, tetapi tidak untuk urusan patah hati. Bukankah tidak ada yang mampu mengakomodasi sakitnya patah hati selain lagu-lagu Didi?

 

Kita beruntung memiliki Didi Kempot, menunjukkan bahwa diskursus masalah generasi kiwari ternyata tidak saja menyangkut persoalan perut lewat beban hidup—ekonomi—yang semakin berat, tetapi juga menyangkut asmara dan cinta. Lagu Didi menemani narasi sebuah generasi agar lebih manusiawi, tak malu menangis tersedu ditinggal kekasih. Sekaligus mengembalikan kodrat sebagai manusia sesungguhnya, kala hidup serasa robotik alias monoton.

 

Didi Kempot dibesarkan pada sebuah zaman di mana ikhtiar menjadi orang sukses, terkenal, dan kaya hanya menjadi mimpi yang tak lekas terwujud bagi penyanyi campursari desa yang lugu dan wagu. Namun, Didi mampu membuktikan, dari kesederhanaan pemuda desa mengalahkan pongahnya industri musik Ibu Kota.

 

Dari musik akar rumput menjadi musik arus utama baru yang genuine. Karya-karyanya dipuja dan dinanti. Setahun Didi Kempot pergi, meninggalkan warisan penting berupa semangat dan musik yang melintas waktu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar