Senin, 03 Mei 2021

 

Pertaruhan ”Benteng Musa” Menghalau ”Acqua Alta” di Venesia

Neli Triana ;  Penulis Kolom “Catatan Urban” Kompas

KOMPAS, 1 Mei 2021

 

 

                                                           

Warga Venesia di Italia tak sabar menunggu akhir tahun ini saat benteng penahan gelombang pasang dari Laut Adriatik agar tak masuk Laguna Venesia dioperasikan. Infrastruktur fisik raksasa itu bernama resmi The Modulo Sperimentale Elettromeccanico (MOSE). Mose dalam bahasa setempat mengacu pada Musa, nabi yang dikenal dengan mukjizatnya membelah Laut Merah dan lolos dari kejaran Firaun.

 

Benteng ”Musa” terdiri atas blok-blok beton tertanam di dasar laut. Sistem Mose memungkinkan blok-blok beton itu ”bangkit dari tidurnya” lalu menahan gelombang saat pasang laut. Jika sedang tidak dibutuhkan, deretan blok beton kembali direbahkan. Arus laut kembali dapat bersirkulasi, demikian pula kegiatan lalu lalang perkapalan pengangkut manusia dan barang.

 

Pada uji coba pertama, Oktober 2020, benteng itu sukses menahan terjangan gelombang tinggi pasang laut. Namun, pada suatu hari pada Desember 2020, Venesia kembali tergenang saat air pasang merangsek. Disebutkan, ada masalah terkait ramalan cuaca dan sistem Mose. Proyek Mose senilai 6 miliar Euro atau sekitar Rp 105 triliun yang seharusnya mampu menahan gelombang hingga di atas 3 meter itu pun memanen kekecewaan publik.

 

Kegagalan pada uji coba kedua membangkitkan memori buruk proyek benteng laut yang digagas sejak 1984 dan dibangun 2003 itu. Sistem Mose yang dibangun di tiga lokasi masuk air pasang dari Adriatik ke laguna, yaitu di Lido, Malamocco, dan Chioggia, seharusnya rampung pada 2011. Akan tetapi, akibat dirundung skandal korupsi, pembangunan Mose molor. Kini, serangkaian perbaikan dan tes demi tes dilakukan agar memenuhi target kala beroperasi resmi.

 

Meski demikian, harap-harap cemas terus menyelimuti masyarakat setempat. Selama ini, banjir akibat pasang laut secara berkala yang biasa disebut acqua alta mendera Venesia sejak 1.200 tahun silam. Pemanasan global dan perubahan iklim memicu makin parahnya bencana di kota cantik penuh kanal tujuan jutaan turis mancanegara tersebut. Dalam 50 tahun terakhir, banjir semakin sering dan genangan yang semakin tinggi.

 

Pada 2019, menurut The Guardian, banjir menyebabkan dua warga Venesia meninggal dan kerugian material lebih dari Rp 17 triliun. Setiap tahun diperkirakan sekitar 1.000 warga lokal meninggalkan kota seluas 421 kilometer persegi dengan penduduk kurang dari 300.000 jiwa itu demi menghindari banjir. Kekhawatiran bahwa Venesia bakal tenggelam makin menguat. Mose menjadi tumpuan asa Venesia mengatasi acqua alta, si pasang laut berkala.

 

Namun, sejumlah ahli lingkungan dan kemaritiman menyatakan, jika permukaan air laut terus naik seiring pemanasan global, ada kemungkinan Mose juga makin sering dioperasikan. Ini berarti sirkulasi air antara laguna dan Adriatik makin sering terputus. Dalam jangka panjang, kondisi ini bakal berdampak buruk bagi Laguna Venesia dan semua yang terkait dengannya.

 

Pembangunan pulau buatan seiring proyek Mose sebagai bagian penghalang gelombang pasang turut disebut tidak berdampak banyak di masa depan. Di sisi lain, di luar biaya besar pembangunan, secara berkala dibutuhkan anggaran tak sedikit untuk perawatan keseluruhan benteng ”Musa”.

 

Politico menyimpulkan, Mose adalah solusi yang jauh dari sempurna dan hanya akan bertahan beberapa dekade ke depan. Namun, Mose disebut sebagai strategi satu-satunya yang tampak nyata saat ini.

 

Cerita serupa Mose juga terjadi di Beira, Mozambik. Laporan Bloomberg menyebutkan, Beira mendapat pinjaman Bank Dunia sebesar 120 juta dollar AS pada tahun 2012 sebagai biaya pembangunan kanal dan saluran air sepanjang 11 kilometer untuk menyerap gelombang dahsyat akibat badai besar. Tujuh tahun kemudian, Topan Idai menghantam. Sekitar 90 persen wilayah Beira hancur, termasuk penghalang badai. Bencana tersebut menewaskan lebih dari 1.000 orang.

 

Di Jakarta, rencana proyek tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta untuk tujuan kompleks, seperti antisipasi kenaikan muka air laut, menahan laju penurunan muka daratan, dan menambah infrastruktur jalan serta properti, tengah dihentikan sementara. Namun, di banyak kota lain di Indonesia, proyek reklamasi pantai terus berjalan, sebut saja seperti di Makassar, Sulawesi Selatan dan Teluk Benoa, Bali.

 

Di dunia, tren pengadaan infrastruktur raksasa untuk merekayasa lingkungan sekaligus membuka kawasan urban baru terus diminati. Lihat saja Dubai yang tidak berhenti membangun.

 

India yang tengah dilanda gelombang susulan pandemi Covid-19 dengan korban jiwa di atas 200.000 orang pun tetap bersemangat menggulirkan rencana peremajaan sebagian kawasan New Delhi senilai 200 miliar rupee (2,7 miliar dollar AS). Proyek ini ditargetkan selesai pada 2024 menjelang gelaran pemilihan perdana menteri. Meskipun dikecam publik di India, pemerintah setempat tetap melaju dengan rencananya.

 

Menyikapi perubahan iklim

 

Pada peringatan Hari Bumi pada 22 April lalu, banyak isu mengemuka. Salah satunya upaya menghentikan kekuatan alam disebut sebagai pertarungan yang sia-sia. Tahun lalu, dampak cuaca menimbulkan kerusakan senilai 210 miliar dollar AS, naik dari 166 miliar dollar AS pada 2019. Sembilan dari 10 tahun terpanas terjadi sejak 2010. Pada tahun-tahun mendatang, bencana akibat badai, gelombang laut, banjir di perkotaan, dan lainnya diyakini akan makin sering.

 

Pembangunan bukan berarti haram dilakukan, terlebih di perkotaan di seluruh dunia yang kini menjadi pusat permukiman dan memang membutuhkan penataan ulang. Namun, seperti digaungkan oleh C40 Cities (jaringan kota-kota dunia) dan sering disuguhkan dalam laporan media massa, seperti Bloomberg Citylab, Global Citizen, dan Eco Watch, pembangunan yang dimaksud hendaknya membenahi kerusakan alam akibat ulah manusia demi menjaga agar perubahan iklim tetap terkendali dan bahkan bisa diatasi.

 

Setidaknya, 105 kota yang jadi rumah 170 juta orang di seluruh dunia telah membuat kemajuan besar dalam menetapkan target iklim dan menyusun rencana adaptasi sejak Kesepakatan Paris ditandatangani tahun 2015. Dalam proyeksi optimistis, teknologi dan langkah-langkah rendah karbon saat ini memungkinkan kota-kota mengurangi emisi hampir 90 persen di tahun 2050.

 

Untuk mencapainya, ada beberapa acuan pembangunan, antara lain, mengonfigurasi ulang kebutuhan penataan kota. Konfigurasi ulang ini membantu meratakan pembangunan dan menghindari fokus memoles pusat kota saja. Langkah ini dapat diterapkan dengan membangun jaringan transportasi publik yang menjangkau seluruh pelosok area urban dengan meremajakan angkutan reguler eksisting, membangun angkutan umum massal sebagai tulang punggung sistem transportasi, dan mengintegrasikan antarmoda angkutan.

 

Semakin beragam jenis dan banyaknya armada angkutan umum yang terjangkau masyarakat akan semakin memupuk harapan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, menekan polusi udara, dan kemacetan.

 

Selain itu, menambah area terbuka hijau dan ruang-ruang parkir air perkotaan juga turut menjadi prioritas. Kemudian, menambah akses warga ke fasilitas air bersih dan sanitasi sehat.

 

Di kawasan padat penduduk selalu dapat dibangun WC dan kamar mandi komunal dalam setiap radius tertentu disesuaikan kebutuhan warga lokal. Selanjutnya, menerapkan regulasi ketat agar gedung-gedung bertransformasi menjadi makin hemat energi. Dan, memaksimalkan penggunaan energi terbarukan di setiap proyek penataan kawasan urban.

 

Pembangunan infrastruktur raksasa pelindung bencana akibat perubahan iklim dapat mengiringi kebijakan penataan kota yang ramah lingkungan. Tentunya diiringi perhitungan matang mempertimbangkan dampak saat ini dan masa depan.

 

Namun, iming-iming hitungan triliunan rupiah yang digelontorkan bakal memutar roda ekonomi sering kali terasa jauh lebih menggiurkan dibandingkan risiko konsekuensi lain di masa datang. Pertimbangan kemampuan finansial yang berbeda-beda di tiap kota ataupun negara menjadi hal penting agar kota tidak terjebak dalam skema utang jangka panjang dan justru kian tidak mandiri mengelola kawasannya di masa depan.

 

Dalam konteks ini, benteng ”Musa” dan kanal di Beira menjadi pelajaran berharga bagi kota-kota lain di dunia.

 

Oleh karena sebagian besar manusia tinggal di kota dan perubahan iklim juga paling berdampak di sana, masuk akal pula jika solusi-solusi muncul dari kota, seperti halnya banyak inovasi bermanfaat bagi manusia pada era-era sebelumnya. Di kota-kota pula langkah mengakhiri kerusakan Bumi berawal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar