Sabtu, 08 Mei 2021

 

Menjaga Tanah dari Mafia Tanah

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 8 Mei 2021

 

 

                                                           

Nasib korban mafia tanah di negeri ini tidak ringan. Tidak sekadar kehilangan aset, tetapi ada pula korban yang mengalami stroke, bahkan kehilangan nyawa.

 

Bagi sebagian besar orang Indonesia, tanah adalah segalanya. Tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya bahkan terkadang merupakan satu-satunya aset yang diakumulasi dengan serius. Nilainya pun begitu besar dalam portofolio investasi sebagian warga, karena ada kecenderungan untuk mewariskan tanah dan rumah bagi anak cucu.

 

Nilai properti yang begitu besar kerap menarik minat mafia tanah untuk mengambil alihnya. Anggota mafia ini tidak sekadar mempunyai niat jahat, tetapi juga ahli karena banyak di antaranya pemain lama. Mereka beranggotakan mulai dari pemodal, broker, notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT), pegawai di kantor kecamatan hingga di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

 

Dalam beberapa kasus, kejahatan mereka mampu diungkap meski tidak selalu mudah untuk mengembalikan penguasaan tanah itu. Penyelesaian kasus membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan terkadang membuat sang pemilik tanah meninggal sebelum asetnya kembali.

 

Apakah mafia tanah ini fenomena baru? Jelas tidak. Kamis, 25 Februari 1988, harian Kompas melaporkan komplotan pemalsu sertifikat tanah di Bekasi. Dua dari enam tersangka adalah pegawai kantor Agraria Bekasi. Komplotan itu juga mengaku sudah mengeluarkan 125 sertifikat tanah palsu.

 

Tiga dekade sudah berlalu dan ternyata mafia tanah tetap bercokol. Pada periode 2018-2020, kepolisian telah menyidik 44 kasus mafia tanah. Beberapa waktu lalu, Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, juga mengungkapkan keberadaan mafia tanah, yang diduga bermain pada properti milik ibundanya.

 

Mencermati modus operasi mafia tanah, salah satu solusinya adalah mempercepat digitalisasi dokumen pertanahan, yang telah dijanjikan oleh pemerintah. Sertifikat berbentuk fisik kertas jelas sulit dipertahankan karena mudah dimanipulasi. Belum lagi di negeri cincin api ini, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor dapat melenyapkan sertifikat fisik, yang memperumit urusan pertanahan.

 

Sambil mempercepat proses digitalisasi dokumen pertanahan, baik juga untuk mempelajari langkah Swedia yang sedang menguji teknologi blockchain dalam urusan pertanahan. Swedia, beberapa tahun terakhir ini, mencoba menerapkan pencatatan kepemilikan tanah dalam blockchain.

 

Teknologi blockchain memastikan pencatatan kepemilikan tanah tidak dapat dimanipulasi. Teknologi blockchain tidak hanya memastikan penguasaan properti, tetapi juga memfasilitasi jual beli dalam hitungan jam dengan biaya murah.

 

Zaman telah berubah. Sudah tidak zamannya lagi ”menjaga” tanah atau aset properti lain dengan penguasaan fisik, atau dengan selembar kertas berstempel dengan tanda tangan basah. Digitalisasi dengan menerapkan teknologi terkini seperti blockchain menjadi solusinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar