Jumat, 07 Mei 2021

 

Demoralisasi KPK

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 7 Mei 2021

 

 

                                                           

Nasib Komisi Pemberantasan Korupsi berada di ujung tanduk. Tersiar kabar 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat sebagai aparatur sipil negara.

 

Deretan nama pegawai KPK itu beredar di media sosial. Mereka adalah penyelidik dan penyidik andal dan pegawai KPK yang tengah memegang kasus korupsi besar. Namun, di media sosial, mereka dikonstruksikan sebagai orang yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Pelabelan demikian merupakan pelemahan karakter terhadap pekerja antikorupsi yang mempunyai komitmen moral memberantas korupsi.

 

Pimpinan KPK belum mengetahui nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai aparatur sipil negara (ASN) karena tak lulus dalam tes wawasan kebangsaan. Pemimpin KPK Firli Bahuri dan Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Sementara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Tjahjo Kumolo mengaku tidak tahu dan tidak pernah terlibat dalam proses seleksi pegawai KPK (Kompas, 6 Mei 2021).

 

Kisruh soal alih status pegawai KPK menjadi ASN hanya bagian kecil dari skenario pelemahan KPK meski sebutan skenario pelemahan akan dibantah dengan menyebut revisi UU KPK adalah untuk menguatkan KPK. Pangkal masalahnya adalah revisi UU KPK yang minim partisipasi publik meski dinyatakan MK sebagai konstitusional.

 

Hanya satu hakim MK, Wahiduddin Adams, yang menyatakan ada pelanggaran konstitusi dalam pembahasan revisi UU KPK. Dalam dissenting opinion-nya, Wahiduddin menulis, ”… sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU ini hanya disiapkan Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam….” Namun, Wahiduddin kalah suara.

 

Membaca disertasi Vishnu Juwono di London School of Economy yang kemudian diterbitkan dalam buku Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, bisa terbaca semua lembaga antikorupsi mati atau dimatikan. KPK pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali mendapatkan ”serangan” politik, tetapi masih bisa dilindungi. Kekuatan oligarki yang tidak menghendaki pemberantasan korupsi masih kuat bercokol.

 

Kini, upaya mengubah KPK dilakukan dengan revisi UU KPK. Revisi dapat diwujudkan ketika kekuatan politik begitu dominan, oposisi lemah, dan kelompok cendekiawan terlena. MK mengamini keputusan DPR dan pemerintah dengan menolak uji formil. Suara 72 guru besar antikorupsi tak didengar.

 

Kini, bola di tangan pimpinan KPK, apakah akan menyingkirkan pekerja yang tidak lolos ujian wawasan kebangsaan atau mengambil kebijakan lain. MK berpendapat, apa pun putusan KPK tak boleh merugikan pegawai yang sudah berjasa. Dalam tafsir lain, para pegawai KPK yang telah mengungkap kasus korupsi besar dan mengejar uang negara sebenarnya sudah berbuat untuk negerinya. Biarlah sejarah mencatat bahwa KPK kini harus menemui nasibnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar