Mengapa Realisasi
Penetapan Hutan Adat Tersendat Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
MESKI sebuah kemajuan,
penetapan status hutan adat atas kawasan yang dikelola tujuh
komunitas di Papua bukanlah hadiah dari pemerintah yang luar biasa.
Pemerintah sudah seharusnya memberikan status tersebut agar masyarakat adat
di Papua tidak terus terpinggirkan oleh gempuran ekspansi korporasi. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyerahkan surat keputusan tentang hutan
adat tersebut dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Oktober
lalu. Masyarakat adat mesti menanti belasan tahun untuk mendapatkan
kepastian status hukum tersebut. Padahal Peraturan Daerah Khusus Papua
tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat
Hukum Adat atas Tanah telah terbit pada 2008. Lewat skema hutan adat,
masyarakat bisa berdikari mengelola hutan sebagai ruang hidup dan sosial.
Penetapan hutan adat merupakan solusi menjauhkan komunitas dari konflik
dengan perusahaan yang mengeruk sumber daya alam dan menggasak ruang hidup
masyarakat adat. Faktanya, KLHK baru resmi menetapkan status hukum hutan
adat di Papua sekitar 40 ribu hektare. Padahal luas wilayah hutan
adat di Bumi Cenderawasih yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah
Adat (BRWA) lebih dari 2 juta hektare. Sumber daya alam di tanah
Papua selama ini menjadi obyek investasi yang sangat gurih. Problemnya,
investasi di sana berorientasi semata-mata pada pertumbuhan ekonomi,
bersifat ekstraktif, serta menyingkirkan masyarakat adat yang
menggantungkan hidup pada hutan. Marginalisasi serta perusakan habitat hidup
itulah yang menjadi akar konflik antara masyarakat adat dan korporasi di Papua. Tak hanya di Papua
pemerintah lamban menerbitkan surat keputusan hutan adat. Capaian
penetapan hutan adat secara nasional pun masih minim. Hingga Oktober
2022, KLHK baru menetapkan 148.488 hektare hutan adat untuk 105 komunitas.
Padahal luas wilayah hutan adat di Indonesia yang terdaftar di BRWA
mencapai 20,7 juta hektare per Agustus 2022. Selain minimnya komitmen,
pangkal persoalan adalah ruwetnya kebijakan pemerintah sendiri.
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mewajibkan ada peraturan
daerah tentang sebagai syarat pemerintah mengakui hutan adat dan sebuah
komunitas masyarakat adat. Pada praktiknya,
masyarakat adat yang umumnya buta politik kerap dipaksa atau
dijebak untuk terlibat dalam politik transaksional. Di samping itu,
karena proses membuat peraturan daerah cenderung memakan waktu lama, di
banyak tempat masyarakat adat dan pendampingnya banyak yang menyerah karena
kehabisan energi. Nasib masyarakat adat
makin terombang-ambing bila kepala daerah atau dewan perwakilan rakyat
daerah tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap pembentukan
peraturan daerah masyarakat adat. Politikus lokal yang oportunis umumnya tak
mau bercapek-capek karena secara kalkulasi politik masyarakat adat tidak
mampu mengerek perolehan suara secara signifikan. Dukungan anggaran
negara untuk pemetaan partisipatif—sebagai syarat teknis untuk
mengajukan permohonan wilayah adat—juga masih rendah. Di Papua Barat,
misalnya. Menurut catatan Perkumpulan Panah Papua, ada puluhan
masyarakat adat yang mengajukan permohonan hutan adat. Namun upaya mereka
terbentur terbatasnya alokasi anggaran pemerintah untuk verifikasi di
lapangan. Kalau begitu terus, kapan masyarakat adat bisa merdeka
mengelola ruang hidup dan sosial mereka? ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167571/mengapa-realisasi-penetapan-hutan-adat-tersendat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar