Tafsir-Tafsir Al
Quran yang Memanusiakan Perempuan dalam KUPI Dian Yuliastuti : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
Kongres Ulama
Perempuan Indonesia (KUPI) II selesai dua pekan lalu. Hasil KUPI adalah
sejumlah sikap keagamaan dan rekomendasi. Hasil musyawarah ini menyikapi
beberapa isu krusial saat ini. Tempo melaporkannya dari Pondok Pesantren
Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara. HANIFAH Muyasarah, aktivis
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan pengasuh Pondok Pesantren Ihya
Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah, masih mengingat pendampingan 10 tahun lalu
kepada seorang anak berusia 16 tahun. Anak itu tersadar ketika ditemukan di
pinggir rel kereta pada pagi hari karena diperkosa oleh enam laki-laki.
Kehamilannya baru diketahui setelah beberapa lama dan ia hendak dipaksa
menikah dengan pelaku. Penyintas ini dalam
keadaan stres dan depresi. Hanya mengurung diri, kepalanya selalu menunduk
menghindari kontak mata. Ia selalu memukuli perutnya yang makin hari makin
besar karena dipaksa meneruskan kehamilan yang tak ia inginkan. Ia putus
sekolah dan tak ada satu kawan pun yang menemani atau sekadar diajak bicara.
Ironisnya orang tua, tetangga sekitar, hingga dokter yang memeriksanya malah
menyalahkan dia. “Dia menolak kehamilannya dan anaknya. Selama hamil
kehilangan harapan hidup,” ujar Hanifah kepada Tempo. Hanifah menyuarakan
pengalamannya kepada para peserta pra-musyawarah dalam topik perlindungan
jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan di Pondok Pesantren
Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Jumat, 25 November lalu. “Dari
pengalaman itu, kami selalu melakukan tes kehamilan pada korban pemerkosaan
lain. Karena sangat berat, ya, apa yang dirasakan korban, apalagi sampai
hamil,” ucapnya. Ia cukup lega dan senang sudah ada payung hukum
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan fatwa yang lebih melindungi
korban. Dalam musyawarah yang
dihadiri lebih dari seratus ulama ini juga disampaikan kasus pemerkosaan
hingga kehamilan dan dampaknya pada keselamatan jiwa korban. Ada anak yang
diperkosa ayahnya hingga hamil, dikucilkan, dan diusir. Seorang remaja
diperkosa kakaknya dan dipenjara karena mencoba menggugurkan kandungannya. Di
Jakarta, seorang korban pemerkosaan mengalami depresi dan mencoba bunuh diri
karena kehamilannya. Yang juga menghebohkan, kasus N yang diperkosa hingga
hamil oleh kekasihnya yang seorang polisi. Dia dipaksa menggugurkan
kandungannya, dicaci-maki, dan diancam dibunuh oleh keluarga pelaku. Hingga
akhirnya ia bunuh diri. Kasus tersebut hanya
sebagian yang dialami para penyintas atau korban. Dalam catatan tahunan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, selama 2016-2020,
terlaporkan 24 ribu kasus kekerasan seksual. Lebih dari 7.000 kasus (29,6
persen) adalah kasus pemerkosaan. Dari kasus yang ada, para korban mengalami
kekerasan berlapis, dari diperkosa, hamil, disalahkan, dikucilkan,
dikriminalisasi, mengalami depresi, mengalami trauma, hingga kehilangan
hak-hak dan nyawanya. Temuan Solidaritas
Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia mencatat sejumlah kesulitan
akses layanan rujukan dan kesehatan serta pendampingan dan pemulihan psikis
bagi korban pemerkosaan. Bahkan mereka harus mengalami sejumlah kekerasan dan
tekanan yang berpotensi mengakibatkan masalah baru, seperti risiko gangguan
kesehatan jiwa dan kematian. Salah satu upaya
pelindungan jiwa korban pemerkosaan adalah penghentian kehamilan. Hal ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Tapi
nyatanya aturan ini bertabrakan dengan Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan kendala di lapangan yang sangat menyulitkan korban. Ancaman keselamatan ini
kemudian menjadi salah satu bahasan di Kongres Ulama Perempuan Indonesia
(KUPI) II yang berlangsung di Jepara, 24-26 November lalu. Hasil musyawarah
yang didasarkan pada dalil dalam Al-Quran, hadis, serta fatwa ulama dan ahli
tersebut mewajibkan pelindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat
pemerkosaan di usia berapa pun kehamilan, baik dengan cara melanjutkan atau
menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau
psikiatris. Marzuki Wakhid, bersama
Nyai Hindun Anisah dari Musyawarah Agama, menyatakan pada dasarnya para
peserta musyawarah setuju melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan
akibat pemerkosaan. Pilihan melanjutkan atau menghentikan kehamilan itu hanya
alternatif. Secara fikih juga masih ada perbedaan pendapat, tapi ayat rujukan
keselamatan cukup banyak. “Yang menjadi rujukan
adalah keselamatan jiwa perempuan. Berlaku kaidah kemaslahatan yang lebih
jelas dibanding kemaslahatan yang belum jelas atau pasti,” tuturnya. Ia
mencontohkan banyak perempuan korban pemerkosaan dan hamil melukai diri,
mengalami depresi dan trauma, bahkan ingin bunuh diri. Lebih penting untuk
menyelamatkan mereka yang masih hidup ketimbang janin yang belum diketahui
hidupnya nanti. Ia juga mengatakan kondisi
kehamilan normal tanpa kedaruratan medis bisa merujuk pada kaidah fikih yang
berlaku. Tapi kondisi kehamilan akibat pemerkosaan tentu berbeda. “Perempuan
sudah menjadi korban, lalu dia sendiri dikorbankan. Kalau agama masih
menyalahkan atau tidak berpihak, kan, aneh. Di sinilah peran kita melindungi
korban,” ujarnya. Selain ihwal perlindungan
jiwa perempuan dari kehamilan akibat pemerkosaan, para ulama dalam kongres
ini juga memberikan sikap tegas dalam kasus pemaksaan perkawinan dan pelukaan
genitalia perempuan (sunat perempuan). Para ulama mengharamkan tindakan
pelukaan genitalia perempuan tanpa alasan medis. Para ulama juga mewajibkan
negara, terutama orang tua dan tokoh agama, melindungi perempuan dari upaya
pemaksaan perkawinan. Alasannya, pemaksaan perkawinan terhadap perempuan
tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, mental, tapi juga sosial,
ekonomi, politik, dan hukum. Para ulama juga menyerukan sikap terkait dengan
isu lingkungan dan peminggiran perempuan dari bahaya kekerasan atas nama
agama. Hal ini merujuk pada munculnya perempuan dalam ekstremisme dan
terorisme. ••• MASRUCHAH, Ketua Panitia
Kongres Ulama Perempuan Indonesia II, menjelaskan, KUPI II adalah ruang
refleksi dan konsolidasi ulama perempuan. KUPI II membahas lima tema krusial
saat ini serta ditelaah dengan paradigma dan metodologi fatwa khas KUPI, yang
didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman perempuan “Metodologinya dengan
pendekatan makruf, keadilan hakiki dan kesalingan,” kata Masruchah. Kongres yang dihadiri
lebih dari 1.500 ulama, aktivis, dan pengamat dari berbagai provinsi dan 31
negara ini membahas isu-isu aktual mengenai kesetaraan gender dan keadilan
terhadap perempuan. Kongres diawali dengan konferensi internasional tentang
peneguhan peran ulama perempuan dalam membangun peradaban yang berkeadilan.
Acara ini membincangkan praktik kebijakan untuk perempuan muslim dan
pengalaman di berbagai negara. “Kami ingin mendengarkan, belajar dari
pengalaman dari negara lain,” ucap Ruby Kholifah, Direktur Asian Muslim
Action Network (AMAN) Indonesia, anggota Organizing Committee KUPI. Dari beberapa panel, para
ulama mendapat informasi praktik kebijakan di berbagai negara terhadap para
perempuan muslim. Seperti di Afrika Selatan, negara ini baru saja memberi
pengakuan terhadap hukum nikah bagi perempuan muslim. Dari Turki, disampaikan
kebijakan aborsi legal sejak 1983, yang mampu menurunkan angka kematian ibu
hingga 50 persen, dan tersedianya layanan medis. Dari India, para muslim
masih terhambat kendala hukum syariah setempat. Para ulama di sana enggan
mengambil risiko mengubah kebijakan yang lebih ramah bagi hak muslimah. “Saat
ini para perempuan muslim juga sedang menuntut hak sipil mereka di
publik dengan turun ke jalan,” ujar Qutub Jahan Kidwai dari
India. Peserta dari 31 negara
berharap KUPI juga menyuarakan sikap atas diskriminasi dan kekerasan
perempuan terutama di negara-negara yang berkonflik. Mereka juga belajar dan
ingin mengaplikasikan metode yang diterapkan KUPI, meskipun terdapat
tantangan dan masalah di negaranya. Nyai Badriyah Fayumi, Ketua
Majelis Musyawarah KUPI, menjelaskan, kongres adalah gerakan pemikiran dan
ruang perjumpaan bersama komunitas kultural dan akademis. Untuk membahas isu
aktual persoalan perempuan, forum mengambil paradigma keadilan gender dan
menempatkan perempuan sebagai subyek. Hasil pandangan para ulama perempuan
ini menjadi masukan dalam kebijakan publik, seperti Undang-Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual dan revisi Undang-Undang Perkawinan untuk menaikkan
batas usia perkawinan. “Apa yang kami sampaikan
didengar dan ikut mempengaruhi kebijakan,” katanya. Selain lima poin
pembahasan, panel-panel musyawarah membincangkan beberapa isu lain, seperti
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, kepemimpinan
perempuan, keluarga, dan peran anak muda. KUPI lahir dari inisiasi
para ulama perempuan pada 2017. Kongres kedua ini diselenggarakan oleh
Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia, dan Gusdurian yang bermitra dengan
Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, serta Pondok Pesantren Hasyim
Asy’ari, Bangsri, Jepara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar