Indonesia Jadi
Tumpuan ASEAN Menyelesaikan Krisis Myanmar Abdul Manan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
KONFERENSI Tingkat Tinggi
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penh, Kamboja,
Jumat, 11 November lalu, menghasilkan pernyataan bersama para kepala negara
yang akan menjadi pekerjaan rumah Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun depan.
Di antara pernyataan itu adalah penegasan atas tantangan organisasi itu ke
depan, sentralitas ASEAN, dan Agenda Konektivitas 2025. Namun yang membetot
banyak perhatian adalah krisis Myanmar. “Kami berharap tidak hanya terfokus
pada persoalan Myanmar,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro saat ditemui di kantornya pada Kamis, 1
Desember lalu. Myanmar menjadi isu
penting ASEAN setelah pecahnya kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021.
Kelompok militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan
sipil hasil pemilihan umum yang dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi
(LND), partai politik pimpinan Aung San Su Kyi. Kini Suu Kyi dan para
petinggi LND ditahan dan diadili. Politikus NLD yang selamat kemudian
mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). ASEAN merespons
perkembangan tersebut dalam sebuah pertemuan yang dihadiri para kepala negara
blok ini, termasuk Min Aung Hlaing, di Jakarta pada 24 April 2021. Pertemuan
di bawah kepemimpinan Brunei Darussalam itu menghasilkan Lima Butir
Konsensus, yakni penghentian segera kekerasan, dialog dengan semua pihak,
utusan khusus memfasilitasi dialog, bantuan kemanusiaan, dan utusan khusus
akan ke Myanmar menemui semua pihak. Tanda-tanda konsensus itu
tidak bisa segera diimplementasikan sudah kelihatan sedari awal. Tatmadaw,
militer Myanmar, mengatakan bahwa saran pemimpin ASEAN itu akan dilakukan
bila “situasi kembali stabil”. Dalam rilis pers pada 22 April lalu, Human
Right Watch (HRW) menyatakan, bukannya menghentikan kekerasan, junta militer
malah melanjutkan represinya dengan serangkaian penangkapan dan serangan. Data HRW menunjukkan bahwa
pasukan keamanan Myanmar membunuh lebih dari 1.700 orang, termasuk sedikitnya
130 anak-anak, dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 13 ribu orang.
Tatmadaw juga memperluas operasi kekerasan di daerah etnis minoritas dan
menggusur lebih dari 550 ribu orang. Junta juga dinilai sengaja memblokir
bantuan kemanusiaan yang menjangkau penduduk yang membutuhkan sebagai bentuk
hukuman kolektif. Saat posisi Ketua ASEAN
beralih ke Kamboja pada akhir Oktober 2021, implementasi konsensus itu juga
tak membaik. Menurut HRW, adanya Lima Butir Konsensus menjadi dalih bagi
pemerintah negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara
anggota Uni Eropa, menunda tindakan nyata dengan kedok menunggu langkah
ASEAN. Junta kemudian mengeksploitasi rasa hormat komunitas internasional
terhadap blok regional yang memiliki catatan panjang mengabaikan tanggung
jawab pelindungan rakyat di bawah prinsip non-interferensi dan konsensus. Sampai akhir masa
kepemimpinan Kamboja, pelaksanaan konsensus itu tak berjalan signifikan. Para
kepala negara anggota ASEAN yang berkumpul dalam KTT ASEAN di Phnom Penh
mengakui sedikitnya kemajuan yang dicapai dari konsensus tersebut, meskipun
menegaskan bahwa konsensus itu “tetap menjadi acuan yang sah dan harus
diterapkan secara keseluruhan”. Selain menegaskan ihwal
konsensus, KTT ASEAN menegaskan bahwa Myanmar tetap menjadi bagian dari blok
mereka. Menurut Sidharto, pernyataan itu menjawab adanya spekulasi yang
berkembang mengenai kemungkinan Myanmar dikeluarkan dari organisasi
bangsa-bangsa Asia Tenggara yang didirikan pada 1967 tersebut. “Jadi ini
untuk menepis segala pertanyaan atau keraguan mengenai keanggotaan Myanmar,”
tuturnya. Spekulasi tersebut
berkembang karena kebijakan ASEAN untuk membatasi keterlibatan Myanmar dalam
pertemuan tingkat menteri luar negeri dan kepala negara. ASEAN meminta
Myanmar hanya boleh diwakili bukan oleh tokoh yang ditunjuk secara politik
oleh junta. “Bukan penunjukan politik itu maksudnya orang karier,” kata
Sidharto. Dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri dan kepala negara,
Myanmar memutuskan tidak mengirimkan wakilnya. Hasil lain KTT ASEAN ihwal
Myanmar adalah pelibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Sidharto,
sebenarnya selama ini dialog antara utusan khusus ASEAN dan PBB sudah
berlangsung. PBB juga memberikan bantuan kemanusiaan melalui lembaganya. Ada
pula koordinasi lembaga itu dengan badan kemanusiaan ASEAN, AHA Center. “Jadi
ini sebenarnya, di satu sisi, mengesahkan apa yang ada, tapi juga menjadi
dasar kalau nanti ada cara memperkuat kerja sama,” ucapnya. Bagi Duwa Lashi La,
penjabat Presiden NUG, salah satu langkah maju hasil KTT ASEAN adalah adanya
ikatan waktu dalam implementasi Lima Butir Konsensus. Dalam pernyataan
pemimpin ASEAN itu disebutkan, “Ada kebutuhan akan rencana implementasi yang
menguraikan indikator-indikator yang konkret, praktis, dan terukur dengan
jangka waktu tertentu untuk mendukung Lima Butir Konsensus.” Menurut Sidharto, kerangka
waktu dalam implementasi konsensus itu bersifat kualitatif. Kesepakatan
kerangka waktu spesifik harus disetujui semua negara anggota ASEAN.
Kesepakatan itu juga bukan sesuatu yang pasti. “Lini masa yang pasti itu,
kalau sampai tidak tercapai, akan dilihat sebagai kegagalan. Padahal ini
suatu proses diplomasi yang cukup rumit dan memerlukan quiet diplomacy
(diplomasi diam-diam),” katanya. Indonesia punya sejumlah
pengalaman dalam mediasi konflik. Sidharto menyebutkan beberapa contoh,
seperti konflik di Kamboja, Afganistan, dan Aceh. Setiap kasus sifatnya unik
dan solusi yang dihasilkan tidak selalu bisa ditiru untuk menyelesaikan kasus
lain. Tapi prinsip umum bahwa harus ada dialog dengan semua pihak adalah
kepastian. Sebagai fasilitator, mediator berusaha mencari formula yang bisa
diikuti semua pihak dan semua pihak akan datang dengan tawaran tertinggi.
“Diplomasi diam-diam itu tugasnya mencari apa yang dapat dilaksanakan,” ujar
Sidharto. Tempo berusaha menghubungi
Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta melalui telepon dan surat elektronik untuk
mendapatkan tanggapan mengenai hasil KTT ASEAN ini, tapi belum mendapat
jawaban hingga tulisan ini diturunkan. Menurut Al Jazeera, Menteri Luar
Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin menyatakan tekanan untuk menetapkan kerangka
waktu perdamaian akan menciptakan lebih banyak implikasi negatif daripada
positif. Mantan Ketua Tim
Independen Internasional untuk Misi Pencari Fakta Myanmar, Marzuki Darusman,
menyadari kerumitan kasus Myanmar ini. “Ini enggak bisa diselesaikan dalam
satu malam,” tuturnya pada Jumat, 2 November lalu. Masalah ini juga tak bisa
diselesaikan oleh satu negara anggota ASEAN yang menjadi ketua seperti selama
ini. “Mesti ada satu cara baru yang melibatkan lebih dari satu negara.” Marzuki menilai sistem
penyelesaian selama ini yang banyak bergantung pada Ketua ASEAN dengan masa
jabatan satu tahun sangat terbatas. Ia melihat junta memakai peluang itu.
Dengan bersikap rewel saja selama enam-tujuh bulan, itu sudah membuang-buang
waktu. “Sesudah itu ganti Ketua ASEAN-nya. Begitu terus,” ucap mantan Ketua
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini. Marzuki mengusulkan agar Indonesia
menggandeng negara-negara di garis depan, entah itu yang punya perbatasan
langsung seperti Thailand entah Malaysia yang banyak menerima diaspora dari
Myanmar. Mengingat rumitnya masalah
Myanmar ini, Marzuki menyarankan ada penyelesaian jangka pendek dan jangka
panjang. Penyelesaian jangka pendek bertujuan menghentikan kekerasan. Ia
berharap Indonesia menggalang solidaritas masyarakat sipil di beberapa negara
anggota ASEAN dan Myanmar. “Supaya junta juga tahu bahwa yang dihadapi bukan
hanya pemerintah ASEAN,” dia menambahkan. NUG sangat berharap
kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan membawa kemajuan dalam penyelesaian
kasus Myanmar. Selain memakai ikatan waktu dalam implementasi Lima Butir
Konsensus, perlu ada tekanan ekonomi terhadap Tatmadaw agar mengerem
kekerasan yang mereka lakukan. “Kami percaya situasinya akan berubah dan
(Indonesia) akan belajar dari Kamboja,” ucap Duwa Lashi La. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar