Bahasa Agama dalam
Bahasa Indonesia Ahmad Sahidah : Dosen Program Pascasarjana Universitas
Nurul Jadid, Probolinggo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
SEBAGAI bahasa kebangsaan,
bahasa Indonesia menyerap banyak kosakata asing, seperti dari bahasa Inggris
dan Arab. Sumber yang terakhir setidaknya telah mengisi delapan lema dalam
Pancasila. Tentu serapan ini didasarkan pada pengalaman kesejarahan bahasa
kita yang terkait dengan penggunanya yang beragama Islam, meskipun sejatinya
ia adalah rumpun bahasa Semitik, yang di negeri asalnya bukan milik muslim
semata-mata, tapi kepunyaan orang Timur Tengah. Karena bahasa Arab menjadi
bahasa kitab suci, pesona lema dan kalimat senantiasa memikat pemeluknya.
Bukan hanya itu, sebuah fragmen dari serial komedi situasi Bajaj Bajuri
tatkala Pak RT menolak berdoa, misalnya. Said menyilakan pamannya yang
berkebangsaan Arab merapal doa, tapi sang paman menolaknya dengan menggunakan
bahasa Arab. Karena tidak paham, para undangan justru mengaminkan dan membuat
paman Said jengkel. Lucunya, tatkala menyebut innahum jahilun (mereka bodoh),
ia pun harus menerima dengan dongkol bahwa kata ini juga diaminkan. Itulah mengapa bahasa Arab
mendapatkan kedudukan istimewa di kalangan pemeluknya. Mereka tidak perlu
paham. Tapi bila ucapan berbahasa Arab dibacakan dalam konteks tertentu,
semisal bacaan imam yang dilakukan sambil mengangkat tangan, makmum akan
turut mengaminkan tanpa harus memahami isinya karena mereka tahu bahwa itu
adalah permohonan untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Itulah mengapa, dalam
acara tertentu, pendoa akan menerjemahkan isi doa dalam bahasa Indonesia. Lalu apakah bahasa Melayu,
sebagai akar bahasa nasional, memiliki rasa percaya diri dalam menyerap
bahasa Arab ke khazanahnya sendiri sebagaimana bahasa Inggris? Inilah
pertanyaan yang saya sering ajukan dalam mata kuliah semantik dan ma’anil
Qur’an. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang mempertahankan bahasanya
sendiri dalam mengungkap pikiran budaya lain dalam konsepnya sendiri,
misalnya wahyu (revelation), kitab (book), dunia (world), dan akhirat
(hereafter). Di sini, kita tidak bisa
membayangkan bila seseorang menyebut “Quran” dengan “buku” dan “wahyu” dengan
“penyingkapan”. Jelas kata serapan keduanya tidak cukup dan malah tidak
memuat makna dari kata asalnya. Meskipun tersusun seperti buku, Al-Quran
diperlakukan secara berbeda, seperti diletakkan di tempat khusus, tidak
dibuang secara sembarangan, dan didekap (tidak dijinjing) tatkala dibawa oleh
santri. Demikian pula “wahyu”
mendapat kedudukan istimewa dalam kesarjanaan keagamaan. Sebagai peristiwa
komunikasi, ia mengandaikan antara Tuhan dan manusia. Karl Jaspers
menggunakan kata existenz untuk menjustifikasi percakapan di antara Tu(h)an
dan hamba yang secara eksistensial bisa setara, bila yang terakhir naik
sejajar dengan Allah. Di sini, komunikasi mungkin di antara dua kedudukan
yang berbeda. Malah di antara manusia yang berbeda status pun masing-masing
perlu mengerutkan dahi untuk saling memahami. Menariknya, kata “wahyu”
tidak berhenti pada pengertian di atas. Dalam alam pikiran Jawa, kata ini
memiliki makna lokal apabila diikuti dengan kata keprabon. Kata majemuk ini
dipahami sebagai restu gaib dari para leluhur dan alam semesta. Ini biasanya
dikaitkan dengan amanah kepada seseorang untuk memimpin suatu negeri.
Masyarakat Jawa percaya bahwa individu yang mendapatkan wahyu keprabon adalah
sosok pemimpin sejati yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi
rakyat. Menariknya, kata “ahli
kitab” yang digunakan oleh muslim untuk menunjukkan komunitas Yahudi dan
Kristen makin menunjukkan bahwa Taurat dan Injil memiliki kedudukan yang sama
dengan Islam. Berbeda dengan Inggris, istilah ini diterjemahkan dengan the
people of book. Ini menunjukkan bahwa tradisi Barat memperlakukan ayat-ayat
Tuhan tidak jauh berbeda dengan karya orang jenius seperti Plato,
Aristoteles, Virgil, dan Shakespeare. Kenyataannya memang ada
halangan perasaan (mental block) untuk menerima sesuatu yang diyakini sebagai
yang Ilahi dan manusiawi. Padahal klaim kewahyuan itu tetap berada dalam
kedudukan bahasa sebagai alat untuk merekam peristiwa kultural dan
psikologis. Itulah alasan dulu kami tidak menyoal penggunaan kata “puasa”
yang berasal dari upavasa dan “sembahyang” berasal dari sembah Hyang. Tapi,
karena munculnya kesadaran untuk memurnikan bahasa nasional yang baku
lantaran dianggap mewakili konsep dan pengalaman yang unik, ada beberapa
orang memilih shiyam dan shalat agar amalan ini tidak bercampur aduk dengan
praktik ritual Hindu. Masalahnya, ada banyak
kosakata yang akan diganti dalam keseharian, seperti “bersuci”. Kata yang
terakhir berasal dari konsep agama Hindu tentang cara menyucikan diri dan
orang Islam akan menggunakan kata thaharah sebagaimana menjadi bab utama
dalam kitab-kitab fikih. Pada gilirannya, muslim akan mengganti “surga” dan
“neraka” dengan jannah dan nar. Padahal, secara konseptual, tidak ada
perbedaan yang signifikan di antara penggunaan kata-kata tersebut dalam alam
pikiran universal, di mana setiap agama menetapkan aturan agar manusia patuh
kepada perintah Tuhan dengan janji balasan dan ancaman siksaan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/167543/bahasa-agama-dalam-bahasa-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar