Rabu, 28 September 2011

Ketika Orang Kaya....

Ketika Orang Kaya Menolong Orang Miskin

Banyak orang kaya yang menolong orang miskin
     bukan karena ia ingin menolong mereka
Tapi karena ia ingin dilihat orang sebagai penderma
     dan ingin mendapatkan pahala
          atas apa yang telah dilakukannya



Ketika Orang Kaya Ditinggalkan oleh Pembantunya

Banyak orang kaya yang baru sadar
     betapa besar jasa pembantunya
          yang telah membuat mereka
               merasa nyaman menikmati hidupnya
setelah mereka kehilangan atau ditinggalkan oleh pembantunya     

Selasa, 27 September 2011

Gaya Kepemimpinan dari Kacamata Orang Miskin

Ada dua gaya kepemimpinan
Pemimpin yang suka memberikan perintah
     dan pemimpin yang hanya memberikan arah
Pemimpin yang suka berkata “Saya..”
     dan pemimpin yang suka berkata “Kita..”

Ada lagi dua gaya kepemimpinan lainnya
Pemimpin yang cepat mengambil keputusan
      dan pemimpin yang hati-hati mengambil keputusan
Pemimpin yang suka berkata “Lebih cepat, lebih baik.”
     dan pemimpin yang suka berkata “Biar lambat, asal selamat.”

Ada banyak lagi gaya kepemimpinan lainnya
Tapi apalah arti itu semua
     kalau tak satu pun mampu
          memenuhi kebutuhan hidup seluruh rakyat-kecil nya

Senin, 26 September 2011

Yang Dilihat oleh Manusia, yang Dilihat oleh Tuhannya


Reputasi, Kekayaan, dan Ketampanan atau Kecantikan adalah
     hal-hal yang paling sering dilihat, dinilai dan dihargai oleh Manusia
Tapi hanya Perilaku dan Moralitas
     yang nanti akan dilihat oleh Tuhan dan Malakat-Nya

Sabtu, 24 September 2011

Mari Malu Kepada Ibu


Mari Malu Kepada Ibu
Agus Dermawan T., KRITIKUS, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU-BUKU SENI


Dalam acara Jakarta LawyersClub di sebuah stasiun TV, petinggi DPR, Benny K. Harman,berkata: “Nazaruddin berani sumpah di depan Tuhan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Karena itu, saya mempercayai Nazaruddin.”Penjelasan Benny itu segera diinterupsi oleh Karni Ilyas, host dan moderator.“Seluruh anggota DPR juga mengucapkan sumpah di depan
Tuhan ketika diangkat.Tapi sebagian toh tetap tidak malu melakukan korupsi.”

Dari sepotong dialog itu, nyata bahwa Tuhan sudah tidak lagi disegani, apalagi ditakuti. Dengan begitu, melanggar sumpah yang diucapkan di depan Tuhan bagi sebagian orang (Indonesia) dianggap bukan perilaku yang aib dan bikin malu. Mungkinkah Nazaruddin dan rekan sekoridornya berani malu di hadapan Tuhan lantaran Tuhan tidak kelihatan?

Namun kita bisa meyakini bahwa orang-orang seperti Nazaruddin masih bisa malu di hadapan ibunya, pangkuan teduh tempat ia dulu mengucapkan sumpah untuk bermuhibah di jalur lempang. Karena,“ibu adalah Tuhan yang nampak”—demikian tutur sajak Kurnia Effendi, yang memenangi kompetisi puisi majalah Gadis pada 1980-an. Karena ibu adalah orang yang nyata
menyusui kehormatan kita. Dan cuma kehormatan (yang tidak punah dimakan waktu) itu yang bisa diberikan kepada ibu.“Tout est perdu fors l’honneur,” kata Francis I, Raja Prancis, pada abad ke-16.


Sumpah

Ibu adalah roh, hati, pikiran, dan badan anak. Hati ibu adalah seluruh kehidupan yang dilakoni anak di sepanjang jalan, sepanjang umur, dan sepanjang hayat. Ibu adalah mata air anak, sampai si anak mengalir jadi dewasa dan jadi makhluk sosial yang berlayar di samudra dengan kapal yang punya banyak bendera.

Lantaran mata air adalah sumber kehidupan, ibu adalah denyut jiwa dari anak-anak yang dilahirkan. Dengan begitu, ibulah manusia pertama yang bergetar hati ketika anaknya menjangkau bintang di langit. Menjadi pegawai tinggi di perusahaan, jadi lurah, jadi penyanyi ternama, jadi wali kota. Ibulah makhluk pertama yang paling bangga ketika anaknya jadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sudah ratusan tahun tunjuk ajar Melayu klasik menuturkan dalam pantun: “Baik anak karena bapak. Elok anak karena emak.”Pengertian “elok” berkonotasi lebih tinggi dari kata “baik”. Elok mendekati kesempurnaan, bermartabat, cantik. Ihwal keelokan ini, Sang Ibulah yang membentuk, sejak anak masih dalam gendongan sampai anak menjalani tualang.

Atas jasa ibu yang tak terperikan itu, si anak pun (semestinya) bersumpah: tak ada yang lebih luhur dalam kehidupan kecuali menjalankan apa yang dipesankan ibu lewat kalimat pualam, yang juga terpetik dari syair Melayu zaman silam.“Wahai ananda intan pilihan/perlakukan murah sesama insan/loba dan tamak engkau jauhkan/penderitaan orang engkau rasakan.”


Tak terampunkan

Pada era kebalauan Indonesia sekarang, harta menjadi kulminasi dalam kehidupan sosial orang per orang. Sebab, harta dianggap bisa untuk alat berkuasa. Dengan kekuasaan, mereka mengharap kemuliaan.Tentu bukan hanya politikus oncom yang melihat harta sebagai menara mercusuar. Para birokrat, ekonom, teknokrat, sampai seniman sesungguhnya tak ada beda.

Bahkan akademisi, orang-orang yang konon sangat terdidik itu, juga punya pandangan yang sama sehingga berani memalsukan berbagai hal dan mengibuli khalayak untuk mengejar pangkat. Sebab, pangkat akan menaikkan pendapatan, mengibarkan kekayaan. Dari sini lantas muncullah berbagai kasus plagiasi skripsi sampai disertasi yang membuat iba dunia pendidikan.
Meski kasus ini telah diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 (tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi), amoralitas plagiasi tetap saja berlangsung.

Padahal bisa diyakini, ibunda para akademisi itu pasti telah menyuapi anaknya dengan kebaikan ajaran, sejak mereka duduk di bangku pertama sekolah sampai mereka lulus dan bersorak-sorai dengan mengenakan toga. Pangkat bukanlah tujuan utama.Kekayaan harus diwaspadai lantaran itu hanyalah taburan nuansa.

Thomas Fuller mengatakan,“Men have a touch-stone whereby to trie gold, but gold is the touch-stone whereby to trie man”(Manusia punya batu uji untuk menguji emas, sebaliknya emas adalah batu uji untuk menguji manusia). Rohaniwan Inggris abad ke-17 itu mengungkapkan bahwa butir
mutiara kata tersebut ia dapatkan dari ibunya, yang sebelumnya sering terbayang dalam lukisan-lukisan religius Matthias Grunewald, Jean Fouquet, sampai Paul Rubens.

Demi harta dan kuasa,Tuhan (yang tidak tampak) itu mungkin telah ramai-ramai dilecehkan. Dan sumpah yang diucapkan sudah menjadi sampah. Namun Sang Ibu masih terlihat, dan masih begitu dekat. Barangkali, kepada ibu, sumpah kehidupan banyak orang masih bisa erat diikat. Karena mengkhianati sumpah kepada ibu adalah tindakan sungguh terlalu. Membuat malu ibu tentu perbuatan tak terampunkan.

Rendra dalam Sajak Ibunda (1977) menegaskan kemuliaan ibu, manusia yang harus dihadiahi pemenuhan sumpah janji. Petikan puisi itu begini: “Dan Ibu adalah pelengkap sempurna kenduri
kehidupan/Wajahnya adalah langit senjakala/Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya/MengingatIbu, aku melihat jalan baik kehidupan/Mendengar suara Ibu, aku percaya akan kebaikan hati manusia/Melihat foto Ibu, aku mewarisi naluri kejadian semesta.”

Rendra seperti bersirat, bila Tuhan sudah dianggap enteng, ibunda adalah tempat terakhir mata hati manusia yang gelap itu dilabuhkan, rasa malu ditajamkan, dan perilaku dipertanggungjawabkan. Dan kita tahu, cuma sang ibunda yang bisa mengembalikan ingatan manusia kepada Tuhan.


Sumber :  Koran Tempo, 22 September 2011

Kamis, 22 September 2011

Haruskah Menteri-Menteri yang Menjadi Pembicaraan Publik Diganti ?

Tanggapan terhadap Soegeng Sarjadi :
Haruskah Menteri-Menteri yang Menjadi Pembicaraan Publik Diganti ?


Dalam Kompas 21-09-2011 (“Mengocok Ulang Kabinet”) Soegeng Sarjadi antara lain mengatakan beberapa hal sebagai berikut.  Menurutnya, bulan ini adalah saat yang tepat bagi Presiden SBY untuk memantapkan budi dan meneguhkan tekad untuk segera mengkocok ulang KIB II.  Dalam tulisan tersebut ia juga mengatakan bahwa “nama-nama menteri yang selama ini menjadi pembicaraan publik , terutama yang terkait dengan isu korupsi dan selingkuh serta berkinerja buruk, sebaiknya digeser.”  Katanya, walaupun langkah tersebut belum tentu memperbaiki kinerja pemerintah secara keseluruhan, tetapi “setidaknya perombakan kabinet tersebut akan menyadarkan rakyat bahwa sejatinya pemerintah tetap hadir dan bekerja selama 24 jam.” Menurut Soegeng, “pergantian menteri adalah lonceng untuk membangkitkan ingatan publik tersebut.” 

Selain itu, menurut pendapatnya, SBY sebaiknya membalik manajemen kepemimpinannya, dari semula menggunakan segitiga normal menjadi segitiga terbalik.  Menurutnya, selama ini SBY selalu berada di puncak segitiga dan menjadi sasaran tembak terus. Sedangkan “para menteri yang menempati sisi bawah segitiga kekuasaan itu hanya melemparkan semua masalah ke pucuk piramida (presiden).”  Di masa mendatang pucuk piramida harus berada di bawah dan para menteri harus berada di atas. Biar para menteri yang “bicara, memikul risiko, dan bertanggung jawab.  Presiden hanya tampil apabila keadaan genting.” 

Berikut adalah tanggapan saya terhadap tulisan Soegeng Sarjadi.

Pertanyaan saya, kalau keputusan SBY tentang perombakan kabinet tersebut dilakukan tidak pada bulan ini, melainkan pada minggu pertama atau kedua bulan depan (Oktober 2011), apakah keputusan tersebut terlambat? Kalau memang benar demikian, lalu apa konsekuensinya bagi pemerintahan SBY atas keterlambatan tersebut?

Saya kira terlalu menggampangkan masalah kalau keputusan penggeseran menteri ditetapkan oleh presiden berdasarkan pembicaraan publik.  Tanpa bermaksud melecehkan publik, saya kira pak Soegeng juga sudah tahu kalau publik itu, seperti tokoh wayang Dasamuka, berwajah banyak. Kalau suatu saat publik mengatakan bahwa anak petanilah yang seharusnya menunggangi keledai, tapi di saat lain ia bicara sebaliknya, petani tua itulah yang layak menaiki keledainya, maka menurut saya keputusan presiden yang terbaik adalah “dengarkan publik,  lalu putuskan berdasarkan suara hati.”

Saya kira yang bisa menyadarkan rakyat bahwa sejatinya pemerintah tetap hadir dan bekerja selama 24 jam bukanlah keputusan presiden untuk merombak kabinetnya. Apalagi kalau perombakan kabinet itu sifatnya hanya ala kadarnya, mirip obat balsam yang fungsinya untuk menyembuhkan penyakit masuk angin atau terkena gigitan serangga.  Dalam hal ini saya setuju dengan J. Kristiadi yang beberapa waktu lalu (Kompas 20-09-2011) mengatakan bahwa keinginan untuk merombak kabinet harus dilihat dalam perspektif keinginan untuk memperbaiki tatanan politik dan praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sudah rusak. Bukan sekadar mengganti beberapa orang yang ada di pucuk kementerian, melainkan memperbaiki tatanan politik dan penyelenggaraan pemerintahan sehingga pemerintah mampu mengeliminasi korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan anak bangsa, dan seterusnya.

Ide dan usulan pak Soegeng supaya SBY mengganti manajemen kepemimpinannya dari segitiga normal menjadi segitiga terbalik, termasuk saran supaya presiden hanya tampil apabila keadaan genting, tentu perlu mendapatkan apresiasi. Seingat saya beberapa waktu lalu SBY juga pernah menyampaikan keinginannya supaya para menteri memiliki keberanian untuk menghadapi media serta berinisiatif tinggi untuk memberikan penjelasan kepada publik. Namun pertanyaannya adalah apakah keberanian para menteri untuk tampil di muka publik tersebut akan mampu menyelesaikan masalah? 

Saya kira usulan perubahan posisi, siapa yang di atas dan siapa yang di bawah, antara presiden dan para menteri tersebut paling jauh hanya berdampak pada perubahan sasaran tembak, dari presiden kepada para menterinya. Bahkan bukan tidak mungkin setelah para menteri nanti berada di atas (berani bicara, memikul risiko, dan bertanggung jawab), akan muncul kritik baru dari publik kepada sang presiden. “Seorang pemimpin kok tidak berani tampil di barisan paling depan dan hanya memanfaatkan para menterinya sebagai bumper.” Tak pelak lagi, kritik baru tersebut pasti akan mengingatkan kita pada sebuah cerita lama tentang Petani Tua, Seorang Anak, dan Keledainya.