Sabtu, 24 September 2011

Mari Malu Kepada Ibu


Mari Malu Kepada Ibu
Agus Dermawan T., KRITIKUS, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU-BUKU SENI


Dalam acara Jakarta LawyersClub di sebuah stasiun TV, petinggi DPR, Benny K. Harman,berkata: “Nazaruddin berani sumpah di depan Tuhan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Karena itu, saya mempercayai Nazaruddin.”Penjelasan Benny itu segera diinterupsi oleh Karni Ilyas, host dan moderator.“Seluruh anggota DPR juga mengucapkan sumpah di depan
Tuhan ketika diangkat.Tapi sebagian toh tetap tidak malu melakukan korupsi.”

Dari sepotong dialog itu, nyata bahwa Tuhan sudah tidak lagi disegani, apalagi ditakuti. Dengan begitu, melanggar sumpah yang diucapkan di depan Tuhan bagi sebagian orang (Indonesia) dianggap bukan perilaku yang aib dan bikin malu. Mungkinkah Nazaruddin dan rekan sekoridornya berani malu di hadapan Tuhan lantaran Tuhan tidak kelihatan?

Namun kita bisa meyakini bahwa orang-orang seperti Nazaruddin masih bisa malu di hadapan ibunya, pangkuan teduh tempat ia dulu mengucapkan sumpah untuk bermuhibah di jalur lempang. Karena,“ibu adalah Tuhan yang nampak”—demikian tutur sajak Kurnia Effendi, yang memenangi kompetisi puisi majalah Gadis pada 1980-an. Karena ibu adalah orang yang nyata
menyusui kehormatan kita. Dan cuma kehormatan (yang tidak punah dimakan waktu) itu yang bisa diberikan kepada ibu.“Tout est perdu fors l’honneur,” kata Francis I, Raja Prancis, pada abad ke-16.


Sumpah

Ibu adalah roh, hati, pikiran, dan badan anak. Hati ibu adalah seluruh kehidupan yang dilakoni anak di sepanjang jalan, sepanjang umur, dan sepanjang hayat. Ibu adalah mata air anak, sampai si anak mengalir jadi dewasa dan jadi makhluk sosial yang berlayar di samudra dengan kapal yang punya banyak bendera.

Lantaran mata air adalah sumber kehidupan, ibu adalah denyut jiwa dari anak-anak yang dilahirkan. Dengan begitu, ibulah manusia pertama yang bergetar hati ketika anaknya menjangkau bintang di langit. Menjadi pegawai tinggi di perusahaan, jadi lurah, jadi penyanyi ternama, jadi wali kota. Ibulah makhluk pertama yang paling bangga ketika anaknya jadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sudah ratusan tahun tunjuk ajar Melayu klasik menuturkan dalam pantun: “Baik anak karena bapak. Elok anak karena emak.”Pengertian “elok” berkonotasi lebih tinggi dari kata “baik”. Elok mendekati kesempurnaan, bermartabat, cantik. Ihwal keelokan ini, Sang Ibulah yang membentuk, sejak anak masih dalam gendongan sampai anak menjalani tualang.

Atas jasa ibu yang tak terperikan itu, si anak pun (semestinya) bersumpah: tak ada yang lebih luhur dalam kehidupan kecuali menjalankan apa yang dipesankan ibu lewat kalimat pualam, yang juga terpetik dari syair Melayu zaman silam.“Wahai ananda intan pilihan/perlakukan murah sesama insan/loba dan tamak engkau jauhkan/penderitaan orang engkau rasakan.”


Tak terampunkan

Pada era kebalauan Indonesia sekarang, harta menjadi kulminasi dalam kehidupan sosial orang per orang. Sebab, harta dianggap bisa untuk alat berkuasa. Dengan kekuasaan, mereka mengharap kemuliaan.Tentu bukan hanya politikus oncom yang melihat harta sebagai menara mercusuar. Para birokrat, ekonom, teknokrat, sampai seniman sesungguhnya tak ada beda.

Bahkan akademisi, orang-orang yang konon sangat terdidik itu, juga punya pandangan yang sama sehingga berani memalsukan berbagai hal dan mengibuli khalayak untuk mengejar pangkat. Sebab, pangkat akan menaikkan pendapatan, mengibarkan kekayaan. Dari sini lantas muncullah berbagai kasus plagiasi skripsi sampai disertasi yang membuat iba dunia pendidikan.
Meski kasus ini telah diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 (tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi), amoralitas plagiasi tetap saja berlangsung.

Padahal bisa diyakini, ibunda para akademisi itu pasti telah menyuapi anaknya dengan kebaikan ajaran, sejak mereka duduk di bangku pertama sekolah sampai mereka lulus dan bersorak-sorai dengan mengenakan toga. Pangkat bukanlah tujuan utama.Kekayaan harus diwaspadai lantaran itu hanyalah taburan nuansa.

Thomas Fuller mengatakan,“Men have a touch-stone whereby to trie gold, but gold is the touch-stone whereby to trie man”(Manusia punya batu uji untuk menguji emas, sebaliknya emas adalah batu uji untuk menguji manusia). Rohaniwan Inggris abad ke-17 itu mengungkapkan bahwa butir
mutiara kata tersebut ia dapatkan dari ibunya, yang sebelumnya sering terbayang dalam lukisan-lukisan religius Matthias Grunewald, Jean Fouquet, sampai Paul Rubens.

Demi harta dan kuasa,Tuhan (yang tidak tampak) itu mungkin telah ramai-ramai dilecehkan. Dan sumpah yang diucapkan sudah menjadi sampah. Namun Sang Ibu masih terlihat, dan masih begitu dekat. Barangkali, kepada ibu, sumpah kehidupan banyak orang masih bisa erat diikat. Karena mengkhianati sumpah kepada ibu adalah tindakan sungguh terlalu. Membuat malu ibu tentu perbuatan tak terampunkan.

Rendra dalam Sajak Ibunda (1977) menegaskan kemuliaan ibu, manusia yang harus dihadiahi pemenuhan sumpah janji. Petikan puisi itu begini: “Dan Ibu adalah pelengkap sempurna kenduri
kehidupan/Wajahnya adalah langit senjakala/Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya/MengingatIbu, aku melihat jalan baik kehidupan/Mendengar suara Ibu, aku percaya akan kebaikan hati manusia/Melihat foto Ibu, aku mewarisi naluri kejadian semesta.”

Rendra seperti bersirat, bila Tuhan sudah dianggap enteng, ibunda adalah tempat terakhir mata hati manusia yang gelap itu dilabuhkan, rasa malu ditajamkan, dan perilaku dipertanggungjawabkan. Dan kita tahu, cuma sang ibunda yang bisa mengembalikan ingatan manusia kepada Tuhan.


Sumber :  Koran Tempo, 22 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar