Sabtu, 27 Agustus 2011

Melobi Hukuman Mati di Arab Saudi



Pada tahun 1999 Presiden Gus Dur mampu menyelamatkan nyawa Siti Zaenab dari hukuman pancung di Arab Saudi setelah melobi kepada Raja Fahd.  Konon pelaksanaan hukuman mati Siti Zaenab ditunda menunggu maaf dari anak majikan yang pada saat majikannya terbunuh baru berusia satu tahun. Kini nasib Siti Zaenab tergantung pada keputusan anak majikannya tersebut yang dua tahun lagi (2013) akan menjadi dewasa dan berhak memutuskan apakah ia akan memaafkannya atau tidak.

Kalau dulu Presiden Gus Dur telah berhasil menunda hukuman pancung kepada Siti Zaenab, kini keluarganya berharap kepada Presiden SBY  lebih proaktif melakukan diplomasi ke pemerintah Arab Saudi agar mau membatalkan hukuman tanpa harus menunggu usia anak korban dewasa. "Atas nama keluarga, saya meminta ke pemerintah khususnya Pak SBY lebih proaktif melakukan nego ke pemerintah Arab agar adik saya tidak jadi di hukum," kata Mohammad Hasan, kakak kandung Siti Zaenab, sambil menunjukkan surat permohonannya yang pernah dikirimkan ke pemerintah era Gus Dur.

Permintaan keluarga Siti Zaenab tersebut kelihatannya memang masuk akal.  Kalau Presiden Gus Dur yang hanya mampu bertahan tidak lebih dari 1,5 tahun saja berhasil menunda hukuman pancung terhadap Siti Zaenab, maka Presiden SBY yang mampu bertahan selama 6 tahun seharusnya bisa berbuat lebih baik lagi.  Itu harapannya, tapi bagaimana kenyataannya?  Mampukah kita (pemerintah, DPR dan masyarakat) melobi otoritas hukum Islam di Arab Saudi agar membatalkan keputusan hukuman pancung kepada Siti Zaenab? Tidakkah itu sama artinya dengan melakukan upaya intervensi terhadap hukum Islam yang berlaku di Arab Saudi?

Seharusnya sekarang inilah saat yang tepat untuk ribut-ribut soal TKI. Jangan menunggu nanti setelah Siti Zaenab dieksekusi pancung oleh pemerintah Arab Saudi. Tapi dari dulu biasanya kita memang selalu begitu. Lebih senang mencari Kambing Hitam daripada mencari Solusi untuk menyelesaikan persoalan.

Selasa, 23 Agustus 2011

Chairil Anwar



CHAIRIL ANWAR


Profil

Chairil Anwar adalah Penyair Indonesia terkenal yang lahir pada 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara.  Penyair yang sangat terkenal dengan karyanya berjudul “Aku” ini meninggal dunia di usia yang masih cukup muda, tepatnya pada 28 April 1949 di Jakarta.

Chairil Anwar lahir dari pasangan Toeloes yang merupakan mantan bupati di salah satu kota di Riau, dengan seorang wanita bernama Saleha yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Sutan Sjahrir. Setelah cukup usia, Chairil Anwar masuk ke sekolah dasar khusus pribumi, yaitu HIS atau Hollandsch Inlandsche School. Setelah selesai menempuh pendidikan di HIS, ia melanjutkan ke MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setara dengan SMP. Menurut beberapa catatan sejarah, Chairil Anwar tidak pernah menyelesaikan pendidikannya. Namun, dia memiliki jiwa sastra yang sangat tinggi, terbukti dengan seringnya ia menghabiskan waktu untuk membaca beberapa karya pengarang internasional yang sangat terkenal. Chairil Anwar pun menguasai beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, dan juga bahasa Jerman .

Saat Chairil Anwar menginjak usia 20-an, Chairil Anwar memiliki gaya hidup yang kurang teratur. Hal ini membuat kondisi tubuhnya menjadi kacau dan sangat lemah, sehingga beberapa penyakit mulai menggerogoti kesehatannya. Saat usianya hampir menginjak 27 tahun, Chairil Anwar meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya.  Ia kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak dan selalu diziarahi oleh banyak pengagumnya sampai saat ini.  


Karya Sastra

Chairil Anwar mulai menyukai dunia sastra sejak usia belasan tahun. Ia pun sudah mulai menulis syair dan puisi saat usianya masih menginjak remaja, tapi karya-karya pertamanya tidak pernah ditemukan sampai sekarang.  Karya Chairil Anwar yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun 1942 adalah karya yang membuat namanya dikenal banyak orang. Laki-laki yang sempat bekerja sebagai penyiar radio Jepang yang berpusat di Jakarta ini selalu menciptakan karya yang bertema kematian.

Berikut ini adalah beberapa karya Chairil Anwar yang sempat ia ciptakan selama masa hidupnya dan yang sudah dipublikasikan.

1.      Aku Ini Binatang Jalang, merupakan koleksi sajak yang dibuat Chairil Anwar dari taun 1942 sampai tahun 1949.
2.      Deru Campur Debu, karya Chairil Anwar yang diterbitkan dalam sebuah buku pada tahun 1949.
3.      Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, karya Chairil Anwar pada tahun 1949.
4.      Tiga Menguak Takdir , karya ini merupakan kumpulan sajak dan puisi yang dibuat Chairil Anwar bersama Rivai Apin dan juga Asrul Sani.

Itulah beberapa karya Chairil Anwar yang banyak dikenal oleh masyarakat, terutama para sastrawan Indonesia. Masih sangat banyak karya ciptaan penyair yang dinobatkan sebagai pelopor puisi modern Indonesia ini. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, karya Chairil Anwar pun diterjemahkan dalam bahasa asing. Hal ini membuktikan bahwa karya penyair yang sering dijuluki Si Binatang Jalang ini memang diakui oleh dunia.


Apresiasi Puisi

Tiga puluh tujuh puisi yang disajikan di sini hanya merupakan sebagian dari puisi-puisi Chairil Anwar.  Beberapa puisi terkenal Chairil sengaja disimpan di urutan atas, walaupun urutan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan sebagai daftar peringkat.  Penyertaan daftar isi puisi di sini hanya dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengetahui puisi-puisi yang tersaji di sini dan agar dapat mengakses puisi yang dikehendaki dengan lebih cepat.

Sama seperti para penyair lainnya, puisi-puisi Chairil juga memotret semangat zamannya.  Pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, dan perang kemerdekaan telah mempengaruhi lahirnya puisi-puisi Chairil Anwar seperti Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, dan Prajurit Jaga Malam.  Namun, sama dengan sejumlah penyair lainnya, sebagian puisi Chairil juga berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya dan juga perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan dan (terlebih lagi) kematian.  Puisi-puisi tentang kisah dan renungan percintaan Chairil dapat dinikmati di Mirat Muda Chairil Muda, Sajak Putih, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Sia-Sia.  Sedangkan puisi-puisinya yang bicara tentang kematian bisa disimak antara lain di Yang Terampas dan Yang Putus, Cintaku Jauh di Pulau, dan Suara Malam.  

Di antara puisi-puisi Chairil, Aku adalah puisi yang paling dikenal luas oleh masyarakat.  Dalam puisi tersebut kita bisa mengenal karakter Chairil yang keras dan keinginan kuatnya untuk berjuang dan tetap bertahan hidup.  Chairil mengaku “Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang/..Hingga hilang pedih peri/…Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi”  

Chairil juga merekam peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede, Kabupaten Karawang, pada 9 Desember 1947 dalam puisinya Krawang-Bekasi. Dalam puisi ini Chairil menyampaikan pesan dari korban peristiwa pembantaian tersebut Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian/Kenang,kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”

Dalam beberapa situs di internet kita bisa menemukan puisi Chairil dengan judul Maju. Namun apabila diamati ternyata puisi tersebut merupakan bagian dari puisi Diponegoro. Dengan kata lain, kemungkinan puisi Diponegoro merupakan pengembangan lebih lanjut dari puisi Maju. Dalam puisi Maju kita juga tidak dapat menemukan secara jelas kaitannya dengan sosok Diponegoro, sehingga puisi tersebut dapat dibaca dan dipahami secara terpisah.

Tidak seperti Rendra atau Taufiq Ismail yang kadang menulis puisi yang sangat panjang, Chairil termasuk penyair yang hemat kata.  Tidak pula seperti Rendra dan Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim penguasa, Chairil lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Hal tersebut bisa mengerti karena tidak seperti Rendra atau Taufiq, di mata penguasa Chairil bukanlah apa-apa. Maksudnya, pada waktu itu Chairil bukanlah tokoh yang secara aktif terlibat dalam perjuangan melawan Belanda, walaupun secara jelas ia mendukung perjuangan para tokoh pendiri bangsa.  Ia menjadi penyair terkenal karena kemudian H.B. Jasin dan sejumlah pengamat sastra lainnya menemukan keping-keping puisinya yang dimuat di sejumlah media.          



Kumpulan Puisi


1.        A k u  (Semangat)
2.        Krawang-Bekasi
3.        Diponegoro
4.        D o a – Kepada Pemeluk Teguh
5.        Derai Derai Cemara
6.        Yang Terampas dan Yang Putus
7.        Cintaku Jauh di Pulau
8.        Senja di Pelabuhan Kecil  --  Buat Sri Ajati
9.        Malam di Pegunungan
10.    Sajak Putih  --  Buat Tunanganku Mirat
11.    Di Mesjid
12.    I s a  -- Kepada Nasrani Sejati
13.    Rumahku
14.    Penerimaan
15.    Merdeka
16.    Prajurit Penjaga Malam
17.    Persetujuan dengan Bung Karno
18.    Tak Sepadan
19.    Hukum
20.    Taman
21.    Mirat muda, Chairil muda
22.    Lagu Orang Usiran
23.    Buat Nyonya N
24.    Kupu Malam dan Biniku
25.    Penghidupan
26.    Aku Berkisar antara Mereka
27.    Ajakan
28.    Nisan -- untuk Nenekanda
29.    Sorga
30.    Suara Malam
31.    Malam
32.    Sia-Sia
33.    Pelarian
34.    Selamat Tinggal
35.    Hampa – Kepada Sri yang sangsi
36.    Sendiri
37.    Aku Berada Kembali



  
A k u   (Semangat)  *)



Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

1945
*)  Puisi ini mempunyai dua judul, yaitu “Aku” dan “Semangat”.  Judul aslinya adalah “Aku”, namun pada masa itu lalu diubah oleh Pusat Kebudayaan menjadi “Semangat” untuk menyesuaikan dengan semangat zaman dan supaya lolos sensor.  “Aku” mempunyai interpretasi individualistis, sedangkan “Semangat” mempunyai interpretasi sebagai perjuangan kolektif yang dibutuhkan pada masa itu.






Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948





Diponegoro

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda(s)

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

1943






D o a
Kepada Pemeluk Teguh


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
                                                1943






Derai Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

                                                            1949   




Yang Terampas dan Yang Terputus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
                                                                                    1949




Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
                                                            1946



Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ajati


Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap


                                                                        1946




Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
                                                                        1947




Sajak Putih
Buat Tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

                                                1944






Di Mesjid

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
                                                            1943



I s a
Kepada Nasrani Sejati

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya :  aku salah ?

kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara

mengatup luka

aku bersuka

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

                                                1943




Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

                                                1943





Penerimaan


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

                                                                        1943




Merdeka

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

                                                1943





Prajurit Penjaga Malam

Waktu jalan.

Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan

bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku

selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan.

Aku tidak tahu apa nasib waktu !

                                                                                    1948






Persetujuan dengan Bung Karno


Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh



                                                                                    1948





Tak Sepadan

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
1943




Hukum


Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul

Bungkuk jalannya --  Lesu
Pucat mukanya --  Lesu

Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan Jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling.  Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa : Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti !
                                                1943




Taman

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki
Bagi kita itu bukan halangan
Karena
dalam taman punya kita berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

                                                            1943





Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukan giginya pada mulut Chairil,
dan bertanya : “Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah ?”
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.  Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati
hilang secepuk segan, hilang secepuk cemas
hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras
menuntut tinggi, tidak setapak berjarak
dengan mati

                                                            1949 





Lagu Orang Usiran *)


Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta
Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat
        buat kita

Pernah kita punya negeri, dan terkenang sayu
Lihat dalam peta, akan kau ketemu di situ
Sekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa
       ke situ

Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh subur saban kali musim semi
Pas jalan lama tidak bisa ditiru, syangku, pas jalan lama tidak bisa ditiru

Tuan konsol hantam meja dan berkata :
“Kalau tidak punya pas jalan, kau resmi tidak ada”
Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja

Datang pada satu panitia, aku ditawarkan kursi
Dengan hormat aku diminta datang setahun lagi
Tapi ke mana kita pergi malam ini, sayangku, tapi ke mana kita pergi
       ini hari

Tiba di suatu rapat umum, pembicara berdiri dan berkata :
“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita”
Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku

Kukira kudengar halilintar di langit membelah
Adalah Hitler di Eropah yang bilang : “Mereka pasti punah”
Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, kitalah yang dimaksudnya

Kulihat anjing kecil dalam baju panas terjaga
Kulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman

Turun ke pelabuhan dan aku berdiri ke tepi
Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, Cuma sepuluh kaki dari aku

Jalan lalu ke hutan, terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-ahli politik bernyanyi ria mereka di pohon
Mereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para-
         manusia

Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribu
Berjendela seribu dan berpintu seribu
Tidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya

Berdiri di alun-alun besar ditimpa salju
Sepuluh ribu serdadu berbaris datang dan lalu
Mereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku

                                                                                   
*)  Diterjemahkan oleh Chairil Anwar, dari karya W.H. Auden dalam Song XXXIII


1949





Buat Nyonya N

Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu
dan kini di turun ke rendahan datar
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
Dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun

Sepanjang jalan dia terkenang akan menjadi Satu
atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil
Turun terus.  Sepi
Datar-lebar-tidak bertepi

                                                                                                            1949





Kupu Malam dan Biniku

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.

                                                            1943



Penghidupan

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

1942




Aku Berkisar antara Mereka

Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa dipinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda :
kenyataan-kenyataan yang didapatnya
(bioskop Capitol putar film Amerika
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte kami tunggu trem dari kota
Yang berderak di malam hari sebagai gigi masa
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja
Sedang tahun gempita terus berkata
Hujan menimpa.  Kami tunggu trem dari kota
Ah, hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam dan mereka dalam hatiku pula

                                                                       
1949



Ajakan

Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di luar legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan

Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
1943




Nisan
Untuk Neneknda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
                                                            1942




Sorga

Seperti ibu – nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula sampai di sorga
yang kata Masyumi-Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh :  Bisakah kiranya ?
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana ?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati ?

                                                                                    1947




Suara Malam

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”

Jadi ke mana
untuk damai dan reda
Mati
Barangkali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sadar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar

Atau ini

Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadapi cahaya
………………………………………..
Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali ?   Pintu tertutup dengan keras

                                                            1943





Malam

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

1957



Sia-Sia

Penghabisan kali ini kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan : untukmu
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta?  Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

1943




Pelarian

                   I
Tak tertahankan lagi
remang miang sengketa di sini

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga

Hancur luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa

II

Dari kelam ke malam
Tertawa meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gulita

“Mau apa ?  Rayu dan pelupa
Aku ada !  Pilih saja !
Bujuk dibeli ?
Atau sungai sunyi ?
Turut saja !”

Tak kuasa-terengkam
Ia dicengkam malam

                                                            1943





Selamat Tinggal


Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!!

                                                            1943





Hampa
Kepada Sri yang selalu sangsi



Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
                                                            1943




Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

                                                          1943






Aku Berada Kembali

Aku berada kembali.  Banyak yang asing
Air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain

rasa laut telah berubah dan dupunya wajah
juga disinari matari lain

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja
Lebih lengang aku dikelok-kelok jalan
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas

Telinga kiri masih berpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh

                                                                   1949