RUU PERKOPERASIAN
Potensi Premanisme di RUU Perkoperasian
Pada 13 September pemerintah dan DPR akan membahas draf final RUU Perkoperasian. RUU yang sebelumnya telah digodok di tingkat panja DPR ini bakal jadi UU Perkoperasian kedua yang dihasilkan DPR setelah UU Perkoperasan No 17/2012 dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Konstitusi. Dengan dibatalkannya UU No 17/2012 itu, maka UU lama, yaitu UU No 25/1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai terbentuknya UU yang baru.
Potensi premanisme
Premanisme yang dimaksudkan di sini tendensi merebut hak orang lain, bahkan hak publik, dengan mempertontonkan kekuatan atau kekuasaan. Atau menekankan perilaku seseorang atau kelompok orang yang membuat resah dan merugikan lingkungan masyarakat atau orang lain. Potensi premanisme ada di bagian ketiga Pasal 130-134 tentang Gerakan Koperasi. Bagian ini mengatur tentang wadah tunggal gerakan koperasi Indonesia, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), beserta pendanaan pelaksanaan tugas Dekopin, alokasi anggaran APBN/APBD untuk kegiatan Dekopin dan dana pembangunan untuk pengembangan Dekopin.
Penekanan wadah tunggal gerakan koperasi beserta mekanisme pendanaan yang diatur di RUU ini bertentangan dengan prinsip koperasi sejati yang menekankan demokratisasi dan kemandirian. Wadah tunggal gerakan koperasi juga bertentangan dengan Konstitusi dan tak sejalan semangat reformasi. Konstitusi Pasal 28 menjamin kemerdekaan warga negara berserikat dan Pasal 28 C mengakui hak warga negara untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak kolektif.
Pemaksaan wadah tunggal gerakan koperasi yang disertai kewajiban anggota membayar iuran untuk operasional Dekopin dan menyetor dana pembangunan untuk pengembangan Dekopin berpotensi menciptakan premanisme di tubuh gerakan koperasi. Membayar iuran secara sukarela oleh anggota penting bagi gerakan koperasi. Namun pemaksaan membayar iuran dan dana pengembangan melalui UU adalah sebentuk tindakan premanisme. Apalagi ketika koperasi tak dapat manfaat dari wadah tunggal itu.
Wadah tunggal yang dipaksakan dari atas dan bukan bertumbuh alami melalui proses dari bawah jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang jadi karakter koperasi sejati. Wadah tunggal yang ditopang alokasi APBN/APBD juga tak sejalan dengan prinsip kemandirian koperasi. Ini menciptakan keter- gantungan. Bagaimana mungkin Dekopin mampu memperjuangkan kepentingan koperasi berhadapan dengan pemerintah dan pihak-pihak lain kalau ia sendiri tak otonom. Terbukti, misalnya, terhadap UU Perkoperasian yang dibatalkan MK, posisi Dekopin justru mendukung UU tersebut.
Ketergantungan gerakan koperasi pada pemerintah dan pihak-pihak lain di luar koperasi memperbesar peluang koperasi diintervensi pihak luar dan dijadikan kuda tunggangan bagi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pemaksaan wadah tunggal selama ini sudah terbukti kontraproduktif bagi bertumbuhnya gerakan koperasi di Indonesia. Koperasi (primer, sekunder dan induk koperasi) seharusnya memiliki kebebasan membentuk dan mengembangkan gerakan koperasinya sendiri sebagaimana organisasi usaha dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Koperasi sebagai obyek
Mengikuti pemikiran Dawam Rahardjo, ada tiga model koperasi: (1) koperasi sebagai gerakan sosial ekonomi, (2) koperasi sebagai program pemerintah, (3) koperasi sebagai badan usaha. Koperasi di Indonesia didominasi koperasi sebagai program pemerintah dan koperasi sebagai badan usaha. Koperasi belum jadi gerakan sosial-ekonomi secara luas. Ini bukan karena koperasi tak mampu jadi gerakan sosial ekonomi tetapi karena selama ini koperasi diposisikan dan dikondisikan hanya sebagai obyek.
Hasilnya, data kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, jumlah koperasi yang terdaftar di Indonesia saat ini mencapai 212.000 dan yang aktif hanya 150.000. Nama koperasi sering dijadikan modus penyelewengan atau tindak kriminal, seperti investasi bodong, koperasi fiktif untuk menjarah dana pembinaan, kegiatan rentenir berkedok koperasi simpan pinjam, dan lainnya. Bahkan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi sejak 1999 dipimpin oleh tokoh yang terjerat kasus korupsi.
Alih-alih membenahi pengaturan koperasi ke arah terwujudnya koperasi sebagai gerakan sosial ekonomi, substansi RUU Perkoperasian justru melanggengkan posisi koperasi sebagai obyek. Ini terlihat setidaknya dari lima indikasi.
Pertama, birokratisasi dalam proses pendirian koperasi (Pasal 11). Kedua, intervensi dan pengaturan berlebihan terhadap urusan internal koperasi, mulai dari perencanaan kerja hingga alokasi hasil usaha (Pasal 77-80 dan Pasal 87). Ketiga, diposisikannya koperasi sebagai sub-ordinat dan tempat penyaluran laba BUMN dan BUMD, pemberian fasilitas sarana prasarana dari pemerintah pusat dan daerah, dan bantuan lembaga perbankan (Pasal 122).
Keempat, dilanggengkannya Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi. Kelima, RUU terfokus pada pengaturan koperasi sektor simpan pinjam dan belum memuat pengaturan koperasi sektor produksi, konsumsi dan lainnya.
PBB dalam sidang di Afrika Selatan akhir 2016 mengakui koperasi sebagai gerakan otonom untuk menolong diri sendiri melalui cara kerja sama di antara anggotanya sebagai warisan bukan benda (intangible herritage) dunia. Definisi International Cooperative Aliance (ICA) juga tegas menyebut koperasi sebagai organisasi otonom. Dengan terus memosisikan koperasi sebagai subordinat/ obyek, maka gerakan koperasi di Indonesia tak akan beranjak ke mana-mana.
Koperasi-koperasi terbaik di berbagai belahan dunia mengajarkan, koperasi berkembang justru karena bertumpu pada kemampuannya mengatur diri sendiri. Pengaturan oleh pemerintah dibutuhkan untuk mendorong dan memperkuat karakter kemandirian serta menumbuhkembangkan prakarsa koperasi sendiri.
(Sri Palupi ; Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, anggota koperasi CU dan koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar