RUU PEMASYARAKATAN
Perlakuan Asasi dan Penegakan Hukum Korupsi
Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan sepertinya akan menjadi UU baru dalam waktu dekat ini. Baik pemerintah maupun DPR merasa perlu segera mengundangkan RUU Pemasyarakatan agar seluruh permasalahan pemasyarakatan, seperti kelebihan kapasitas penjara (overcapacity), keamanan, dan ketertiban, dapat segera teratasi. Konsinyering terakhir panitia kerja KUHP dengan pemerintah akan menyepakati beberapa pasal krusial setelah para anggota panja meminta konsultasi ke fraksi masing-masing.
Oleh karena itu, perlakuan terhadap para tersangka, terdakwa, dan terpidana yang dirampas kemerdekaannya harus didasarkan pada prinsip perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Perlakuan asasi
Ada beberapa perbedaan penting yang diatur dalam RUU Pemasyarakatan apabila dibandingkan dengan aturan lama UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Perbedaan terpenting yang kami kaji adalah apabila UU No 12/1995 mengatur tentang perlakuan manusiawi kepada para tersangka, terdakwa, dan terpidana, ternyata yang menarik RUU Permasyarakatan ini memberikan perlakuan asasi terhadap para tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Perlakuan asasi merupakan perlakuan yang sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang tecermin dalam perlakuan dan keadilan yang sama tanpa diskriminasi terhadap para tersangka, terdakwa, dan terpidana dewasa dan anak, termasuk dalam pemberian hak-hak dasar (primary rights) dan hak- hak lain (secondary rights), seperti pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat.
Dengan adanya perlakuan asasi, maka tujuan dari penyelenggaraan pemasyarakatan tidak saja mengubah warga binaan menjadi orang baik dan diterima kembali di masyarakat, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak tahanan dan anak serta warga binaan lainnya. Ini yang tidak ada dalam UU yang lama.
Perbedaan lain adalah rumusan dari fungsi pemasyarakatan yang dalam RUU Pemasyarakatan diatur secara lebih komprehensif dan lengkap dalam fungsi pelayanan, pembinaan, pembimbingan, perawatan, dan pengamanan. Ini merupakan kemajuan dari RUU Pemasyarakatan yang sedang digodok oleh pemerintah dan DPR karena tidak hanya fokus pada upaya pembinaan semata.
Pandangan fraksi-fraksi pada umumnya berpendapat sebagai konsekuensi dari perlakuan asasi di atas, kita harus memberikan perlakuan yang sama dan adil kepada seluruh tersangka, terdakwa, dan terpidana dewasa dan anak tanpa terkecuali. Ini artinya persyaratan yang ketat atau pembatasan-pembatasan tertentu dalam pemberian hak-hak terhadap tahanan atau narapidana tertentu, termasuk anak dan warga binaan lainnya, bertentangan dengan perlakuan asasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP No 99/2012) yang memberikan persyaratan yang ketat dalam pemberian hak remisi dan lain- lain kepada para tersangka, terdakwa, dan terpidana tertentu. Apakah hal itu bertentangan dengan perlakuan asasi sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945?
Penegakan hukum korupsi
Dalam pertimbangan RUU Pemasyarakatan telah disebutkan di atas bahwa pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka penegakan hukum. Pertanyaannya, bagaimana kaitannya dengan penegakan hukum korupsi?
Sebagaimana kita tahu, PP No 99/2012 telah memberikan persyaratan yang ketat dalam pemberian hak-hak sekunder warga binaan yang melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap kemanusiaan berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi. Pertanyaan lanjutan, apakah persyaratan yang ketat tersebut bertentangan dengan perlakuan asasi menurut Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam RUU Pemasyarakatan yang baru?
Terkait dengan hak asasi manusia, kita mengenal konsep derogable rights, yaitu hak yang masih dapat dibatasi atau ditangguhkan. Sementara konsep nonderogable rights adalah hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Dalam konsep di atas, ada dua kovenan penting hak asasi manusia yang diakui secara internasional, yaitu hak sipil dan politik (sipol) yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi; dan kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekososbud) yang dapat dibatasi atau dikurangi dengan persyaratan tertentu.
Pembatasan terhadap hak sipol hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan kumulatif, yaitu terdapat keadaan darurat yang mengancam kehidupan bernegara; tidak didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, bahasa, agama, dan asal-usul sosial; dan harus dilaporkan ke PBB. Adapun pembatasan terhadap hak ekososbud hanya bertujuan untuk kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dari penjelasan di atas, menurut kami, hak dasar narapidana (primary rights) adalah hak yang tidak bisa dibatasi atau dikurangi, sedangkan hak sekunder (secondary rights) seperti pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat dapat dibatasi atau dikurangi. Oleh karena itu, menurut hemat kami, perlakuan asasi yang dimaksud dalam RUU Pemasyarakatan tak perlu kemudian mencabut keberadaan PP No 99/2012 karena tak bertentangan dengan perlakuan asasi menurut Pancasila dan UUD 1945. PP No 99/2012 justru perlu disempurnakan agar pemenuhan rasa keadilan masyarakat terhadap para terpidana korupsi dan sejenisnya, yang telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar kepada masyarakat, tetap tidak boleh mendapatkan perlakuan yang sama atau lebih istimewa dibandingkan dengan tahanan atau narapidana tindak pidana biasa.
Apabila pemerintah dan DPR berkeinginan untuk mencabut PP No 99/2012, hal ini tentu bertentangan dengan semangat awal untuk mencegah dan memberantas korupsi. Padahal, PP No 99/2012 dibuat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat juga memberikan efek jera (deterrent effect). Pencabutan PP No 99/2012 akan mempermudah bagi para terpidana koruptor dan terpidana lainnya untuk bisa bebas lebih cepat dari hukuman yang sebenarnya. Akibatnya, mereka atau masyarakat lainnya tidak perlu takut untuk melakukan perbuatan korupsi lagi karena hukumannya bisa diperingan dan tidak perlu takut dengan penjara.
Kita patut menghargai usaha pemerintah dan DPR untuk segera mengundangkan RUU Pemasyarakatan karena perlakuan asasi atau penegakan hak asasi manusia bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana dewasa dan anak sudah harus dilakukan. Namun, masyarakat perlu terus mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa penegakan hukum korupsi tidak akan jalan apabila proses legislasi tidak berpihak pada upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(Amir Syamsudin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar