Kekerasan di Papua hanya dapat diakhiri dengan dialog. Dialog terwujud hanya jika Jakarta serius mencari solusi di luar pembangunan ekonomi. Hal ini dikatakan oleh Sidney Jones dalam laporannya, “Radikalisasi dan Dialog di Papua” (ICG, Maret 2010). Jones juga memperingatkan, “semakin lama Jakarta menolak untuk membahas masalah-masalah itu, semakin radikal tuntutan yang akan muncul.” (Indonesia: Kebuntuan yang Semakin dalam di Papua, ICG, 2010).
Gema laporan Sidney Jones semakin terasakan kebenarannya saat ini. Inti masalah di Papua belum berubah 10 tahun setelah laporan itu terbit. Persepsi diperlakukan tidak adil, tidak dihormati, atau tidak diwongke (Bahasa Jawa) sangat dirasakan bukan hanya kalangan masyarakat Papua yang anti-Jakarta, tetapi juga masyarakat kebanyakan.
Birokrat Jakarta yang memandang rakyat Papua sebagai deretan angka semata sering kali mendatangkan rasa sakit hati. Ukuran pembangunan dengan menonjolkan besaran-besaran ekonomi mendatangkan luka perasaan yang harus diobati. Contohnya, pernah ada pernyataan pejabat bahwa Dana Otsus jika dibagikan ke seluruh penduduk Papua, rata-rata akan bisa mendapatkan Rp 10 juta per orang, sementara, jika dibagikan ke Pulau Jawa, hanya beberapa juta saja.
Banyak tokoh Papua marah atas pernyataan ini. Selama ini upaya untuk melakukan dialog serius terhambat oleh ketidaksediaan Jakarta melihat inti soal Papua di luar masalah ekonomi. Ada keengganan yang sulit dijelaskan, padahal semakin terang bahwa berbicara dengan rakyat Papua tidak memadai bila hanya menjelaskan tentang menaikkan alokasi anggaran atau percepatan pembangunan. Hidup bukan tentang roti, nasi, sagu dan sangu.
Jalan dialog masih terbuka
Sepanjang tahun 2003-2005 saya terlibat dalam upaya penjajakan dialog Jakarta-Aceh yang kemudian menghasilkan kesepakatan Helsinki. Kesepakatan Helsinki mengakhiri konflik selama 30 tahun, menciptakan perdamaian yang bersejarah dan mengganjar Martti Ahtisaari hadiah Nobel Perdamaian 2008.
Tugas mengupayakan perdamaian ternyata tak selesai sampai di sana. Pada 1 Desember 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi penugasan kepada saya dalam Tim Penyelesaian Konflik Papua bersama Velix Wanggai, Staf Khusus Presiden untuk Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, dan Letjen Bambang Dharmono yang di kemudian hari menjadi kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Tim ini diminta membantu SBY menyelesaikan konflik Papua melalui penjajakan dialog. SBY mengatakan model dialog di Aceh dapat dipakai. Perkataan SBY tentang model dialog di Aceh saya camkan baik-baik. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008) yang dilakukan oleh Muridan S Widjojo dan kawan-kawan juga mendukung pendekatan model Aceh. Dalam laporan penelitiannya, Muridan dkk mengatakan dari empat konstruksi masalah Papua, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.
Berbeda tetapi Tetap Ada yang Sama
Apakah model Aceh dapat dipakai di Papua? Bukankah konflik Aceh sangat berbeda dengan Papua? Pertanyaan ini banyak diarahkan kepada saya dalam upaya penjajagan dialog tersebut.
Harus diakui kelompok-kelompok di Papua yang berseberangan dengan Jakarta tak memiliki satu komando seperti yang ada pada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kelompok-kelompok nasionalis Papua ini berada dalam sejumlah organisasi otonom, di dalam maupun di luar negeri. Dewasa ini peranan gerakan kaum muda, khususnya para mahasiswa di kota-kota besar, kian penting.
Pergerakan mereka menjadikan perlawanan yang sebelumnya terisolasi dalam perjuangan bersenjata di hutan-hutan, menjadi gerakan politik berbasis perkotaan (urban). Gerakan bersenjata yang terisolasi dan relatif kecil, digantikan dengan gerakan partisipasi rakyat dan aksi massa yang lebih luas. (Studi LIPI 2012).
Kendati terpisah, ada satu hal yang ‘mempersatukan’ mereka yang bersifat positif bagi upaya terwujudnya dialog: semua pihak membuka diri untuk mengadakan dialog. Mereka sangat terbuka berbicara dengan Jakarta, walaupun kekecewaan dan sakit hati masih sangat mendominasi reaksi mereka. Ini menunjukkan bahwa ada kesamaan Papua dan Aceh. Kehendak seperti ini yang saya temukan sebagai titik terang dalam penjajakan perdamaian di Aceh.
Kesimpulan ini saya peroleh dari lapangan – termasuk dari hutan dan wilayah terpencil di perbatasan dengan Papua Niugini — ketika dalam kapasitas sebagai utusan khusus Presiden SBY, saya melakukan pertemuan maraton selama tiga bulan (Mei-Juli 2011) untuk berbicara dengan sebanyak mungkin representasi rakyat Papua.
Dalam upaya ini, saya telah berbicara dengan para tokoh gereja Papua dari berbagai sinode dan denominasi, bertemu dengan mahasiswa aktivis Papua yang belajar di berbagai kota, khususnya Yogyakarta, menjumpai sejumlah pentolan Tentara Pembebasan Nasional TPN-OPM, termasuk Kolonel Jonah Wenda, juru bicara TPN-OPM dan orang-orang kepercayaan Brigjen Richard Hans Howeni, yang merupakan salah satu sosok yang dihormati di kalangan OPM.
Dalam menangani konflik di Aceh, saya menggunakan latar belakang profesi sebagai dokter untuk memahami apa yang terjadi. Puluhan tahun bekerja dan berpraktik sebagai spesialis bedah digestif salah satu prinsip yang saya selalu jalankan ialah tidak pernah langsung percaya dari hanya membaca suatu diagnosis. Juga tak bisa mengambil keputusan hanya dari mendengar keluhan pasien. Dokter harus melihat langsung dan memeriksa kondisi pasien.
Dalam menangani konflik, hal itu juga berlaku. Untuk menemukan solusi, harus didahului dengan mendengar dan melihat langsung persoalan, menemui dan berbicara langsung dengan pihak-pihak yang berkonflik. Semua hal yang terungkap ke permukaan lewat berbagai kajian, seminar, pembicaraan di surat kabar, bahkan informasi intelijen, harus dibuktikan dengan mendengar dan melihat langsung.
Di Aceh, walaupun para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Swedia sudah menyatakan bersedia untuk berunding, masih diperlukan untuk sekali lagi berbicara dengan kelompok-kelompok pejuang di hutan, untuk memastikan hal itu. Demikian pula hendaknya dalam upaya mewujudkan dialog Papua.
“Soft power” dan representasi rakyat Papua
Salah satu upaya mendasar yang perlu dilakukan di Papua (sudah pernah dilakukan tetapi tampaknya berhenti) ialah terobosan soft power; pendekatan informal dan tak terlihat untuk membangun kepercayaan kedua belah pihak (Jakarta dan Papua). Penjajakan dialog dilakukan dengan melepas ‘baju’ dan ‘kursi’ resmi, seperti di Aceh. Saya datang ke sejumlah pihak sebagai orang Bugis dan dokter, bukan sebagai Deputi Menko Kesra. Jakarta harus masuk ke dalam suasana emosi elemen-elemen Papua yang berkonfrontasi demi menciptakan ikatan emosional. Percakapan-percakapan dalam upaya ini harus berkonsentrasi pada persamaan, bukan pada perbedaan.
Sejumlah ulasan mengatakan bahwa terkendalanya upaya dialog dengan Papua dikarenakan sulitnya menemukan tokoh yang dapat merepresentasikan rakyat Papua. Lebih lanjut dikemukakan bahwa upaya menemukan representasi rakyat Papua diserahkan kepada rakyat Papua sendiri. Argumen ini dalam hemat saya bukan faktor penghalang dialog.
Walaupun terpisah dan tidak memiliki komando satu sama lain, tidak berarti kebuntuan untuk menghasilkan representasi rakyat Papua tak dapat diatasi. Membiarkan kelompok ini tetap terpecah dan bergerak sendiri-sendiri pada akhirnya juga menjauhkan penyelesaian konflik. Jakarta harus punya inisiatif untuk mendorong bahkan memfasilitasi kelompok-kelompok ini menemukan representasi yang dapat diterima semua pihak.
Dari pertemuan-pertemuan dengan kelompok nasionalis Papua, dapat disimpulkan mereka terbuka bagi upaya pertemuan dan penyamaan persepsi, dan bila perlu difasilitasi oleh Jakarta. Pertemuan tersebut diharapkan dilaksanakan di luar Indonesia dengan alasan keamanan. Vanimo di Papua Niugini atau kota di Vanuatu pernah terlontar sebagai lokasi pertemuan.
Satu hal yang jelas, syarat untuk memfasilitasi pertemuan tersebut ialah tumbuhnya kepercayaan satu sama lain, khususnya dari Papua terhadap Jakarta. Upaya untuk menumbuhkan rasa percaya tersebut membutuhkan kerendahan hati untuk mendengar dan berempati terhadap keluhan Papua. Selanjutnya adalah political will dari semua elemen di Jakarta untuk mengetok palu dialog. Hal ini yang tampaknya belum sungguh-sungguh ada di masa lalu.
(Farid Husain ; Penanggung Jawab Delegasi Pemerintah RI di Perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki 2005, Utusan Khusus SBY untuk Konflik Papua 2010-2012)