Politik Baru Perikanan
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor
|
KOMPAS,
07 April 2015
Lima bulan Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan
Perikanan, terdapat sejumlah gebrakan yang mengentakkan publik.
Gebrakan pertama berupa Peraturan Menteri (Permen) No 56 dan
57/Permen-KP/2015 tentang Moratorium Kapal Eks Asing dan Pelarangan
Transhipment yang telah mendapat dukungan publik yang luar biasa.
Gebrakan kedua adalah Permen No 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan
Tiga Spesies Perikanan Penting, yakni Lobster, Kepiting, dan Rajungan, serta
Permen No 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) yang telah membuat
polarisasi respons nelayan.
Apakah regulasi tersebut akan menjadi babak baru perikanan
Indonesia?
Kedaulatan dan
keberlanjutan
Gebrakan pertama lebih berorientasi pada kedaulatan. Hasilnya
adalah semakin sadarnya publik tentang betapa pentingnya menjaga kedaulatan
bangsa di laut. Telah terbongkar sejumlah kasus.
Pertama, ternyata perikanan ilegal masih marak terjadi dengan
modus pelanggaran batas wilayah, berbendera ganda, alih muatan, dokumen
palsu, atau tanpa dokumen. Ditemukan pula satu kapal eks asing diiringi
dengan tiga kapal tanpa izin. Jadi, apabila kapal eks asing yang resmi
berjumlah 1.132, pada kenyataannya bisa beranak pinak menjadi jauh lebih dari
itu.
Kedua, perikanan ilegal biasanyadiikuti BBM ilegal dan pekerja
ilegal pula. Masih banyak ditemukan anak buah kapal (ABK) asing di kapal eks
asing, padahal ABK asing dilarang. Dominasi ABK asing bisa mengindikasikan
masih adanya kepemilikan asing pada kapal tersebut.
Ketiga, ikan hasil tangkapan dilarikan ke luar negeri secara
ilegal, padahal industri pengolahan ikan masih kekurangan bahan baku.
Gebrakan ini membuat lengangnya laut sekitar Arafura dan Laut
Tiongkok Selatan dari kapal asing. Hal ini berdampak positif bagi pemulihan
sumber daya dan kenyamanan armada nasional memanfaatkan sumber daya ini.
Gebarakan ini juga berdampak pada menurunnya suplai bahan baku untuk industri
pengolahan ikan di Thailand, Filipina, dan Tiongkok. Namun, yang lebih
penting adalah kedaulatan dan kehormatan bangsa di mata internasional semakin
terjaga.
Gebrakan kedua berorientasi pada keberlanjutan sumber daya ikan.
Gebrakan ini ditunggu-tunggu nelayan tradisional yang selama ini dirugikan
praktik kapal pukat hela dan variasinya. Bahkan, para nelayan Labuhan Deli
Belawan melakukan upacara syukuran atas keluarnya permen tersebut.
Ada sejumlah dampak positif pelarangan pukat ini. Pertama,
dampak terhadap pemulihan sumber daya ikan. Menurut WWF Hongkong,
diperkirakan dalam lima tahun setelah pelaksanaan larangan trawl di Hongkong,
populasi cumi-cumi bisa meningkat hingga 35 persen, ikan karang 20 persen,
dan ikan yang lebih besar, seperti kerapu, bisa 40-70 persen. Hongkong juga
menerapkan larangan tersebut secara bertahap.
Kedua, menurunnya konflik nelayan. Pengoperasian trawl dan
sejenisnya sering menimbulkan konflik nelayan. Hal ini karena trawl sering
beroperasi di wilayah nelayan tradisional. Konflik di Pekalongan tahun
1970-an dan di pantura Jawa hingga 1980-an telah mendorong Presiden
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl.
Di Aceh, Sumatera Utara, dan pantura Jawa konflik juga mengemuka saat ini.
Ketiga, penghematan BBM mengingat trawl boros BBM. Di Amerika
Serikat, trawl butuh 1 liter BBM per kilogram ikan, gillnet sepertiga liter
per kilogram, dan purse seine 0,03 liter per kilogram (Satria, 2008). Di
Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan terbesar adalah trawl,
yakni 52 persen, sementara longline dan purse seine masing-masing 40 persen
dan20 persen.
Namun, gebrakan ini menuai demonstrasi nelayan cantrang di Jawa.
Suara pendemo tersebut lebih keras terdengar daripada suara nelayan kecil
tradisional yang mendukung permen. Memang harus diakui adanya dampak negatif
berupa potensi hilangnya mata pencarian nelayan. Apalagi, sebelumnya ada
Permen No 42/Permen-KP/2014 yang sifatnya hanya membatasi penggunaan pukat.
Namun, baik permen lama maupun permen baru sama-sama melarang
penggunaan kapal cantrang ukuran di atas 30 gross tonnage (GT). Hanya saja,
sering ditemukan fenomena mark down ukuran kapal menjadi kurang dari 30 GT
agar bisa beroperasi. Jadi, sebenarnya permen baru ini bukan hal baru untuk
kapal cantrang besar tersebut.
Gebrakan baru
Gebrakan pertama dan kedua berciri sama, yakni menjalankan
fungsi pemerintah sebagai ”rem” atau menurut Bryant (2000) adalah pelindung
lingkungan. Fungsi ini penting dilakukan agar kedaulatan dan keberlanjutan
bisa terjaga. Apakah fungsi ini bisa menyejahterakan? Dalam fungsi ”rem”,
kesejahteraan bersifat tidak langsung dan jangka panjang. Ketika kebijakan
ini diterapkan,sumber daya lambat laun pulih dan akhirnya dapat dinikmati
nelayan secara berkelanjutan.
Untuk mengimbangi fungsi ”rem”, perlu gebrakan baru yang
tujuannya adalah kesejahteraan secara langsung dan jangka pendek. Di sinilah
fungsi pemerintah sebagai ”gas” atau menurut Bryant sebagai agen pembangunan.
Fungsi ”rem” dan ”gas” harus dimainkan dengan tepat. Bagaimana langkah untuk
memainkan ”gas” dan ”rem” kebijakan perikanan dalam situasi saat ini?
Pertama, harus ada solusi jangka pendek terhadap nelayan yang
terkena dampak permen. Solusi bisa berupa pembukaan akses permodalan untuk
perubahan alat tangkap, pelatihan pengoperasian alat tangkap baru, dan
penyediaan mata pencarian alternatif. Juga ada masa transisi untuk
penyesuaian alat tangkap. Kerja sama pusat dan daerah penting untuk solusi
ini.
Kedua,proyek padat karya, seperti rehabilitasi kawasan pesisir.
Ada 2.200 desa pesisir rawan rob yang harus diatasi dan perlu banyak tenaga
kerja. Ketiga, pengembangan 100 sentra perikanan dan akselerasi gerakan
kemandirian perikanan budidaya. Keempat, menciptakan iklim investasi yang
lebih baik agar armada nasional bisa mengisi kekosongan alokasi izin yang
ditinggalkan kapal eks asing.
Semoga kombinasi ”gas” dan ”rem” yang baik bisa menjadi babak
baru perikanan Indonesia yang berkedaulatan, berkelanjutan, dan
menyejahterakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar