Mewaspadai
Frustrasi Sosial
Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang
|
KORAN SINDO, 16 April 2015
Lelah. Barangkali kata itulah yang paling tepat menggambarkan
kondisi psikologis yang tengah dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia
menghadapi situasi sosial-politik yang gaduh di negeri ini.
Kecuali mungkin, orang-orang yang mengisolasi diri dari gempita
informasi yang saban hari membombardir kita. Tapi, normalnya, siapa sih yang
tidak lelah menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang selalu
karut-marut untuk problem yang bahkan remeh-temeh sekalipun. Sementara tugas
besar memajukan kehidupan masyarakat yang menjadi raison draison detre eksistensi negeri ini seakan terlupakan, tersandera oleh
kegenitan politik yang banal.
Padahal, beberapa bulan yang lalu, begitu gegap gempita rakyat
mendapatkan pemimpin yang baru. Sejuta harap pun tersemat di pundak
pemerintah terpilih, yang mengemban citra jujur, merakyat, dan hebat. Begitu
tinggi ekspektasi itu bersemi bahwa pemerintah mampu menyejahterakan rakyat,
menggapai bonum publicum,
sebagaimana mimpi para pendiri negeri.
Hingga kini sebagian masyarakat masih menyimpan optimisme akan
kehadiran kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, sebagian masyarakat, pula
mahasiswa, telah kadung ”ilfill”
dengan pencitraan dan janji-janji. Meski baru seumur jagung berkuasa,
pemerintah dinilai telah menyia-siakan, bahkan mengkhianati dukungan rakyat
yang meruyak saat pilpres lalu. Jika kita berkenan jujur menilai, trust
(kepercayaan) rakyat kepada pemerintah memang mulai menunjukkan grafik
penurunan.
Lihatlah, betapa suara-suara sumbang tentang pemerintah telah
mulai bermunculan dalam obrolan keseharian. Banyak pendukung fanatik Presiden
yang merasa tidak lagi bisa memahami langkah dan kebijakan presiden
pilihannya. Di dunia maya, masyarakat yang ketika pemilu terpolarisasi pun
kembali ”bertempur”. The Lover, di
satu sisi, mengangkat kebaikan dan kehebatan kebijakan pemerintah. Sementara
di sisi yang lain, The H(e)aters
seakan selalu mendapatkan amunisi baru untuk mengkritisi kebijakan pemerintah
yang seringkali kontroversial dan tidak populis itu.
Celakanya, trust yang turun itu berseiring sejalan dengan
turunnya wibawa pemerintah di mata rakyat. Lihatlah di dunia maya dan media
sosial. Betapa artikel, plesetan lagu, komik, meme yang mengolok-olok,
menyindir, dan membercandai Presiden dan kebijakan yang diambil pemerintah
bertebaran. Ini jelas tidak sehat untuk sebuah negara karena berpotensi
menjadi bola salju yang kian membesar mengingat mudahnya informasi diakses
publik. Tentu ini terjadi bukan tanpa sebab.
Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah salah satu alasannya.
Bagi masyarakat, indikator utamanya tentu sederhana saja. Apakah rakyat telah
merasakan kesejahteraan, penegakan hukum, kekompakan dalam kabinet, serta
ada tidak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan.
Selama ini muncul persepsi bahwa rakyat justru banyak disuguhi kebijakan
kontroversial yang mengundang kegaduhan yang melelahkan. Bukan kebijakan dan
langkah taktis yang efektif solutif.
Meski baru seumur jagung berkuasa, tampaknya pemerintahan ini
telah berhasil membuat banyak rekor terpecahkan. Mulai dari ranah hukum,
politik, hubungan internasional, hingga perihal ekonomi dan investasi. Zaman kleptolitikum
(Akung, 2010), kleptomania politik
dan hukum, tampaknya kian terasa ruh realitasnya di hari-hari belakangan ini.
Kegaduhan dan silang-sengkarut akibat kegemaran merobek-robek hukum, membuat
kita lupa tugas memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan politik balas
budi yang kian meraja di negeri ini.
Kita pun alpa untuk menempatkan stabilitas negara dan
kepentingan bangsa pada aras utama setiap kebijakan. Banyak pihak mensinyalir
bahwa Negeri Pancasilais ini lamban, namun pasti tengah dibawa menjadi negeri
kapitalis-liberalis. Satu per satu subsidi dipereteli, dicabut, entah untuk
kepentingan siapa.
Dialihkan, tidak tahu entah ke mana. Harga minyak dilepas bebas,
liberal mengikut harga pasar dunia, nyaris tanpa subsidi. Tentu tidak perlu
terlalu pandai untuk menakar multiplier
effect kebijakan ganjil ini. Sewaktuwaktu harga minyak bisa naik kapan
saja, membuat situasi ketidakpastian (uncertainity)
kian menjadi-jadi, harga barang tak terkendali. Apalagi ketika rupiah mulai
tumbang, hilang keperkasaannya.
Jangan Undang Amarah
Jika kondisi tidak populis ini dibiarkan berlarut-larut tanpa
solusi, tentu yang akan menyandang duka terdalam adalah wong cilik (rakyat
kecil), yang sebagian besar adalah pendukung fanatik presiden terpilih.
Mereka memiliki ekspektasi (harapan) perubahan nasib yang sangat
tinggi ketika ”Satria Piningit” pujaan hati terpilih menjadi pemimpi negeri.
Sayangnya, semakin tinggi ekspektasi, semakin tinggi pula tingkat kekecewaan
apabila ekspektasi tersebut tidak terpenuhi. Dalam telaah bukubuku klasik
psikologi sosial, kekecewaan demi kekecewaan berpotensi besar melahirkan apa
yang disebut sebagai frustrasi.
Solberg (2002) menunjukkan bahwa frustrasi muncul dari
kesenjangan antara harapan dan pencapaian. Frustrasi (frustration) adalah sebuah kondisi psikologis tidak nyaman yang
diakibatkan karena ada penghalang untuk mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki individu. Bila situasi kekecewaan serupa ini menjangkiti sebagian
besar rakyat, dirasakan secara bersama-sama oleh sebagian besar individu
dalam konteks masyarakat, frustrasi ini akan berarak menuju frustrasi sosial.
Jika kondisi ini berlangsung dalam durasi waktu yang cukup lama,
akumulasi kekecewaan yang semakin banyak, kuldesak penghidupan yang semakin
akut, serta persepsi tidak ada harapan perbaikan keadaan, efeknya bisa
meluas. Salah satu yang sangat ditakutkan tersebab frustrasi adalah munculnya
agresi sebagaimana hipotesis frustrasi-agresi Dollard-Miller. Rasa frustrasi
yang terakumulasi berpotensi melahirkan agresi yang sangat berbahaya dalam
konteks individu.
Terlebih dalam konteks negara, kondisi frustrasi ini jelas akan
jauh lebih berbahaya karena melibatkan lebih banyak pihak yang dapat memicu
instabilitas. Orang-orang yang kecewa, sakit hati, bahkan frustrasi juga bisa
saja mengambil respons lain seperti melakukan penarikan diri (withdrawal), cuek, dan abai terhadap
apa yang terjadi. Tak jarang mereka memendam dalam diam segenap
ketidaknyamanan.
Bila perasaan kekecewaan dan ketidaknyamanan ini terakumulasi
dengan beban kehidupan yang semakin bertambah, bukan mustahil akan terpantik
ledakan kemarahan yang memicu agresi sosial. Apalagi, ketika muncul rasa
diperdaya dan dikhianati. Represi, pembungkaman, dan justru hanya akan
memperbesar rasa amarah untuk mempercepat ledakan itu karena akan dimaknai
sebagai serangan atas eksistensi dan harga diri.
Guyon parikena orang Jawa menyebutkan, ketika dikecewakan atau
disakiti, awalnya orang akan memilih untuk ngalah (mengalah), ngalih
(berpindah agar tidak mendapat masalah). Namun, bila pun mereka masih saja
diusik, terlebih menyangkut soal ngeleh (lapar), sangat mungkin mereka akan
ngamuk (mengamuk). Amuk (run amook)
berpotensi berkecamuk, manakala kekecewaan dan frustrasi telah terakumulasi
melampaui ambang toleransinya.
Segeralah Berbenah
Negara ini ada
sesungguhnya dicita untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukankesejahteraanumum (bonum publicum) yang berkeadilan.
Siapa pun saja yang didaulat sejarah menjadi pemerintah negeri ini, wajib
hukumnya berjuang sepenuh hati, jiwa, dan raga untuk mewujudkannya.
Komitmen inilah yang semestinya dijaga, dirawat,
diimplementasikan, dan dibuktikan kepada rakyat sehingga mereka yang tengah
gundah itu merasa dibersamai dan dibela oleh pemerintah yang dipilihnya.
Bukan sebaliknya, pemerintah memeras dan memanipulasi rakyat untuk
kepentingan diri dan relawan pendukungnya.
Komunikasi politik yang adikuat juga mutlak dibutuhkan, baik di
level internal pemerintahan maupun komunikasi untuk publik. Sangatlah tidak
elok ketika para petinggi negara berkomentar centang-perenang, bahkan saling
menyalahkan, hingga terekspos di media massa. Ini indikasi koordinasi yang
tidak terjalin rapi. Ingatlah bahwa trust rakyat sewaktu-waktu bisa saja
jatuh ke titik nadir, tersebab kekonyolan komunikasi penyelenggaraan negara.
Menghadapi para pengkritik kebijakan, pemerintah tidak
selayaknya melakukan aksi represi maupun pemblokiran sepihak. Anggaplah
kritik sebagai tanda cinta dari rakyat. Kata kuncinya adalah apresiasi
aspirasinya, panggil dan ajak berdiskusi untuk dimintai masukan yang
positif-konstruktif. Pun, mahasiswa yang sudah mulai gerah, semestinya juga
digandeng, dirangkul untuk bersama memperbaiki keadaan. Bukan sebaliknya,
dibungkam. Sebagai catatan penutup, sangatlah tidak mungkin pemerintahan
sebuah negara bisa tetap bertahan manakala mereka menyelisihi titah kuasa
rakyatnya.
Kecuali, jika pemerintahan tersebut memang mendesain untuk
menjelma diri menjadi tirani. Tapi, itu pun hanya sementara. Tirani, represi,
kekerasan, dan pembungkaman sesungguhnya hanya akan melahirkan bara api
dendam dan kebencian yang sewaktu-waktu bisa membakar siapa saja.
Senyampang masih ada waktu, segenap anak bangsa harus berbenah,
membisik bangun kebersamaan. Kita tentu tidak ingin tragedi bangsa masa lalu
kembali berarak kelam di langit Ibu Pertiwi, menurunkan hujan duka di Tanah
Persada. Mari bersama kita jaga Indonesia kita. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar