Sarkasme Politikus, Sarkasme Kita
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
08 April 2015
Dua partai terbelah. Menteri Hukum dan HAM memutuskan mengakui
salah satu pihak dari masing-masing partai. Bambang Soesatyo, Bendahara Umum
Golkar hasil Munas Bali, menyindir Yasonna Laoly: "Ada begal politik
sekaligus begal demokrasi."
Sebelum itu beredar di media massa caci maki anggota DPRD DKI
terhadap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Diberitakan, seusai
rapat mediasi antara sang gubernur dan DPRD di Kementerian Dalam Negeri, 5
Maret 2015, terdengar umpatan "gubernur goblok", "Cina
anjing", "bangsat", dan "orang gila, sinting".
Anggota DPRD itu mengaku turut mencaci, tetapi kepada pers ia berdalih meniru
kebiasaan Ahok yang ceplas-ceplos.
Makin banyak orang yang suka memaki: di layar TV, di radio, dan
terutama di media sosial. Ruang publik di dunia maya pas menanggapi naluri
manusia yang sehari-hari kerap dipendam demi etika sosial. Di muka umum,
seseorang sungkan melontarkan kata-kata kasar dan vulgar tanpa merasa tak
nyaman. Media sosial menyediakan ruang pelampiasan segala unek-unek.
Maka, khalayak bisa dan biasa memaki pejabat, politikus, atau
selebritas dari balik dinding entah di mana, berupa sindiran halus sampai
umpatan brutal. Tak selalu jelas siapa yang mengkritik atau mengecam sebab
banyak akun anonim di Twitter, Facebook, Path, dan lain-lain.
Bahasa kasar sudah mengisi berita harian. Setelah aksi begal
sepeda motor merajalela di banyak daerah, istilah begal dipakai masyarakat
untuk kasus korupsi (begal APBD DKI). Kita lihat, pejabat Partai Golkar pun
melontarkan ungkapan begal terhadap menteri.
Ikut andil menyebarluaskan sarkasme, pers bisa berdalih hanya
merekam perilaku khalayak. Tiada rasa risi pada kata makian goblok, gila, sinting,
bangsat yang dilontarkan secara terbuka.
Sungguh, kita berharap politikus menyaring ungkapan dalam
komunikasi publik. Kesantunan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, dua
presiden yang terkenal kalem, rupanya tidak dijadikan cermin di gedung parlemen.
Tak jelas apakah kegemaran mengumpat di dunia politik akhir-akhir ini
disebabkan sebagian politikus datang dari lingkungan yang tak disiplin
menjaga prinsip-prinsip etika, mungkin juga dari keluarga yang tak kenal
etiket pergaulan. Atau, mereka datang dari lingkungan yang baik, tetapi
kekuasaan telah mengubah mereka.
Sarkasme dalam komunikasi politik akhir-akhir ini mengingatkan
kita pada suasana politik 1960-an. Banyak media kala itu, sebagai corong
partai-partai politik, mencetak kata-kata kasar untuk menyerang lawan.
Kehidupan politik kala itu: saling ancam dan gertak dengan gaya
paling galak sonder peduli tata krama. Frasa-frasa atau nama-nama yang netral
pun dibuatkan akronim yang bentuk dan bunyinya menjurus ke hal-hal yang tidak
senonoh, misal Manikebu untuk Manifes Kebudayaan. Bunyi manikebu dekat dengan
"mani kebo atau kerbau". PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo dan
Surachman oleh koran-koran pro-Orde Baru disebut PNI Asu (PNI Ali-Surachman).
Orang yang mengerti bahasa Jawa bisa risi membaca akronim itu.
Di era berikutnya, selama 32 tahun Soeharto berkuasa, politik
Indonesia membeku. Bagai dalam paduan suara, berbagai jenis suara didikte
bernyanyi tunggal nada. Namun, setelah huru-hara 1998, banyak penganggur jadi
politikus. Ruang publik pun hiruk-pikuk tiap hari.
Kini, siapa pun yang punya gadget leluasa menyuarakan opini
terhadap segala persoalan. Orang Betawi bilang "adu bacot". Yang
paling gede bacot ialah politikus, sebab setiap ucapan mereka dikutip
wartawan. Kekasaran ungkapan dan diksi vulgar yang diproduksi, tanpa mereka
sadari, masuk ke alam pikiran remaja dan anak-anak yang setiap saat
mendengar, menyaksikan, dan membaca berita.
Teladan bahasa indah bertenaga dari orator besar Bung Karno dan
bahasa intelek Bung Hatta tak berbekas dalam jiwa banyak politikus zaman
mereka. Begitu juga tampaknya kesantunan Yudhoyono dan Jokowi tak pernah
sempat direnungkan oleh politikus masa kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar