Perpres Mobil Pejabat
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara;
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Andalas
|
KOMPAS,
08 April 2015
Setelah menghadirkan pergunjingan luas di masyarakat, Senin
(6/4), Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Presiden No 39 Tahun 2015
tentang Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk
Pembelian Kendaraan Perorangan.
Dengan upaya ini, bisa jadi perubahan atas Peraturan Presiden
(Perpres) No 68 Tahun 2010 tersebut tercatat sebagai salah satu produk hukum
yang berumur pendek; hanya 14 hari terhitung sejak diundangkan pada 23 Maret
lalu.
Sebagaimana ditulis "Tajuk Rencana" harian ini,
pencabutan dilakukan dengan alasan kondisinya tidak tepat, baik dari
perekonomian, keadilan, maupun naiknya harga barang, tarif listrik, dan harga
BBM (Kompas, 7/4). Lebih jauh dari
itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menambahkan, suara masyarakat dan tak
ingin mencederai perasaan masyarakat juga menjadi pertimbangan penting
Presiden. Bahkan, Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto mengakui telah terjadi
kelalaian dalam penerbitan Perpres No 39/2015.
Terlepas dari berbagai pergunjingan yang muncul, langkah
Presiden Jokowi mencabut Perpres No 39/2015 tetap harus diapresiasi. Namun,
jika diletakkan dalam konteks pengelolaan negara, kejadian ini tak boleh
dibiarkan berlalu begitu saja. Bagaimanapun, suatu produk hukum yang berusia
pendek karena adanya penolakan luas masyarakat berpotensi menurunkan
kredibilitas pembentuknya. Artinya, kalaupun pada
akhirnya dicabut, kredibilitas tetap menjadi pertaruhan.
Lebih dari itu, sekalipun pantas diapresiasi, bagi sebagian
kalangan, pertanyaan lain yang mengikuti upaya pencabutan ini: mengapa Presiden
Jokowi begitu sensitif dan responsif dengan penolakan masyarakat terhadap
Perpres No 39/2015? Padahal, dalam rentang waktu hampir enam bulan berkuasa,
banyak keberatan masyarakat yang masuk wilayah gayung tak bersambut dan kata
pun tak berjawab. Penilaian demikian dapat dilacak dari bentangan fakta sekitar
kisruh KPK dan kepolisian.
Kuasa Presiden
Dari berbagai penjelasan yang hadir ke permukaan, perubahan
Perpres No 68/2010 menjadi Perpres No 39/2015 dimulai dari permintaan yang
diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Berdasarkan usulan tersebut, pemerintah melakukan
proses internal sebelum sampai ke meja Presiden untuk mendapatkan pengesahan.
Demi memenuhi permintaan ini, pemerintah memakai dasar argumentasi
bahwa fasilitas uang muka pembelian mobil pejabat negara dalam Perpres No
68/2010 tidak sesuai lagi dengan peningkatan harga kendaraan bermotor. Karena itu, diperlukan aturan baru guna menaikkan jumlah uang
muka pembelian kendaraan.
Apabila dilacak suasana dan waktu pengusulan yang disampaikan
ketua DPR, boleh jadi sangat sulit bagi pemerintah untuk menolak usulan
kenaikan persekot kendaraan pejabat negara. Dalam konteks hubungan
antarlembaga, melihat waktu pengusulan pada 5 Januari 2015, hubungan presiden
dengan DPR masih jauh dari kondusif. Selain itu, pemerintah sedang menghitung
banyak agenda yang membutuhkan "dukungan" kekuatan politik DPR,
termasuk APBN Perubahan 2015.
Meskipun demikian, sebagai sebuah produk hukum yang berada dalam
kuasa Presiden, sangat tak tepat menyandarkan alasan utama penerbitan Perpres
No 39/2015 hanya pada permintaan DPR. Secara hukum, Pasal 13 UU No 12/2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, materi muatan
perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan
peraturan pemerintah atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.
Berdasarkan ruang lingkup materi pengaturan tersebut, revisi
Perpres No 39/2015 jelas bukan substansi yang merupakan dan/atau berasal dari
perintah UU. Begitu juga, bukan merupakan substansi yang berasal dari
perintah peraturan pemerintah. Alasan tunggal yang memberikan peluang
menerbitkan Perpres No 39/2015 adalah kemungkinan untuk "melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan". Karena itu, kenaikan uang
persekot kendaraan perseorangan pejabat sepenuhnya dalam wilayah kuasa Presiden
sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. Dengan kuasa itu, usul boleh saja berasal dari berbagai
kalangan, keputusan akhir di tangan Presiden.
Sebagai pemegang kuasa pembentuk perpres (termasuk juga
peraturan pemerintah), Presiden harusnya punya standar prosedur yang ketat
sebelum sampai tahap akhir berupa mengesahkan. Untuk produk hukum yang
berpotensi menimbulkan pergunjingan luas, langkah pembahasan di internal
pemerintah mesti dilakukan mendalam dan memperhitungkan semua kemungkinan
risiko yang akan terjadi. Sebab, begitu ditandatangani dan diundangkan,
Presiden harus mengambil semua tanggung jawab dan risiko dari
pemberlakuannya. Apalagi, Pasal 30 UU No 12/2011 mengamanatkan perencanaan
penyusunan perpres dilakukan dalam suatu program penyusunan terencana
sehingga tidak muncul rancangan yang mendadak.
Melihat luasnya kuasa Presiden dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, baik yang diberikan UUD 1945 maupun UU No 12/2011,
Presiden harus memiliki waktu yang cukup untuk membaca dan meneliti semua
rancangan peraturan sebelum ditandatangani. Jika dalam proses tersebut masih
diperlukan pendalaman dan penjelasan lebih jauh, Presiden bisa meminta
menteri terkait untuk memberikan tambahan informasi.
Merujuk pengalaman yang pernah ada, ketersediaan waktu presiden
dapat menjadi salah satu kunci penting menghindari kemungkinan terjadinya
penyelundupan aturan hukum melalui kuasa presiden. Sebagai contoh, pada
pengujung 2006, dengan alasan mendorong peningkatan kinerja DPRD, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Peraturan Pemerintah No 37/2006 tentang
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Sebagaimana
diketahui, kehadiran PP tersebut menimbulkan penolakan luas karena memberikan
berbagai jenis tunjangan kepada anggota DPRD yang berada di luar akal sehat.
Ujungnya, desakan masyarakat memaksa SBY merevisi PP No 37/2006. Kejadian
tersebut harusnya jadi pelajaran penting agar kewibawaan pemerintah dan/atau
presiden tak merosot karena kelalaian menimbang segala risiko penerbitan
aturan hukum.
Semangat penolakan
Respons cepat
menindaklanjuti keberatan masyarakat terhadap PP No 39/2015 tentu jadi kredit
tersendiri bagi Presiden Jokowi. Namun, pertanyaan lain yang menyusul langkah
tersebut: mengapa respons serupa tidak muncul dalam menyelesaikan kekisruhan
antara KPK dan kepolisian? Pertanyaan ini jadi amat
penting karena tapakan Jokowi menuju tangga istana penuh untaian janji untuk
menjaga dan memastikan selamatnya agenda pemberantasan korupsi.
Sekalipun telah menghadirkan banyak kekecewaan, keberanian serta
langkah cepat Presiden Jokowi menindaklanjuti keberatan masyarakat ihwal PP
No 39/2015 harusnya bisa pula jadi modal menyelamatkan agenda pemberantasan
korupsi. Salah satu pembuktian paling dekat, apakah Jokowi memiliki
keberanian pula untuk menolak rencana revisi PP No 99/2012 yang terkait
pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor.
Dalam rentang waktu yang tidak berbeda, masyarakat juga sedang
menunggu nama-nama anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK. Setelah
menyaksikan empasan gelombang mahadahsyat yang menerpa KPK, lembaga ini hanya
mungkin diselamatkan selama Presiden mampu memilih calon panitia seleksi yang
memiliki kredibilitas untuk mencari calon nakhoda baru KPK. Sekiranya panitia
seleksi diisi oleh mayoritas orang yang tidak memiliki komitmen untuk
menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, KPK segera menjadi bangkai akibat
ganasnya perang melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar