Basuki dan Otonomi Indonesia
Irfan Ridwan Maksum
; Guru Besar
Tetap Ilmu Administrasi;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
08 April 2015
Ibu kota RI adalah barometer Indonesia. Dapat dikatakan pula, wajah
suksesnya pemerintahan daerah di Indonesia dapat dilihat dari wajah suksesnya
pemerintahan daerah di Ibu Kota.
Namun, kita mengetahui bahwa akhirnya APBD 2015 DKI Jakarta
ditentukan dalam bentuk peraturan gubernur, bukan peraturan daerah sebagai
hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama dapat tantangan keras dari DPRD DKI, partner kerjanya dalam
pemerintahan DKI Jakarta, dalam menyusun APBD. Akhirnya pemerintah pusat
lewat Kementerian Dalam Negeri turun tangan.
Penyelesaian melalui instrumen formal negara tersebut apakah
mencukupi dalam menyelaraskan hubungan kedua elemen penting di DKI Jakarta?
Ini pertanyaan yang cukup serius, menjadi tantangan otonomi Jakarta sekaligus
tantangan jalannya otonomi Indonesia. Pada April, momen otonomi daerah
diperingati kembali. Tentu bangsa Indonesia berharap banyak agar permasalahan
di Ibu Kota dapat diselesaikan dengan baik.
Medan magnet
Bhenyamin Hoessein, guru besar emeritus Fakultas Ilmu
Administrasi UI, penyusun UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pernah
mengilustrasikan bahwa hubungan pusat dan daerah seperti layaknya hubungan
antara dua magnet. Dikatakan demikian karena di dalam hubungan tersebut jika
ruang antara kedua magnet terlalu besar, dapat terjadi putus hubungan.
Sementara jika hubungan antara keduanya yang terlalu dekat, tentu magnet
dengan daya yang lebih kecil akan tidak berkutik: ia akan mengikuti magnet
dengan daya yang besar.
Hubungan tersebut berbeda dengan hubungan antara unit pusat dan
instansi vertikalnya di daerah, yang dikatakan seperti hubungan elektrikal
tersambung oleh kabel (electric field).
Hubungan elektrik amat bergantung pada sumber listriknya. Jika sumber
listriknya besar, jaringan yang ada ikut besar. Jika sumber listriknya
dimatikan, jaringan yang tersambung juga ikut padam.
Hubungan antara pemerintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta
adalah hubungan magnetik yang amat dekat karena DKI berkedudukan sebagai ibu
kota, di mana pemerintah pusat berkantor di Ibu Kota. Hubungan tersebut berbeda
dengan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah lain, terlebih dengan
daerah pinggiran yang berbatasan dengan negara lain. Hubungan dengan
daerah-daerah di luar DKI Jakarta adalah hubungan magnetik yang semakin jauh.
Ruang informal-eksternal
Sebagai konsekuensi hubungan magnetik, segala persoalan
pemerintahan di DKI amat cepat dirasakan oleh pemegang kendali pemerintahan
nasional. Pemerintah DKI Jakarta sesungguhnya amat dikendalikan oleh
pemerintah nasional, terlebih Joko Widodo sebelum menjadi kepala pemerintahan
RI adalah Gubernur DKI Jakarta, di mana wakilnya adalah Basuki, gubernur
sekarang. Maka, struktur informal- eksternal di luar koridor yang digariskan
dalam standar prosedur operasional hubungan pusat-daerah dalam hubungan
seperti ini dapat bersifat dominan.
Struktur formal seolah tidak berdaya, berbeda dengan hubungan
magnetik yang jauh. Hubungan yang teramat jauh dalam ruang yang besar bahkan
membuka gerak sentrifugalistik negara-bangsa. Tidak heran kenapa gerak
sentrifugal selalu terjadi pada daerah-daerah yang paling jauh dari Jakarta.
Tidak sekadar di meja Menteri Dalam Negeri, kasus penyelesaian
APBD DKI Jakarta oleh Kementerian Dalam Negeri menuntut adanya ruang
informal-eksternal. Jika kita berorientasi pada penyelesaian masalah,
"perdamaian" antara Basuki dan DPRD DKI Jakarta harus didukung oleh
elemen-elemen yang lebih besar.
Pihak DPRD DKI Jakarta dengan elemen-elemen yang memang masuk
dalam hubungan magnetik memiliki backing yang besar. Kementerian Dalam Negeri
dapat saja mendapat tantangan keras. Gejalanya saja sudah terlihat sejak
pelantikan Basuki. Pada awalnya, DPRD protes dan sempat menyampaikan kepada
Mahkamah Konstitusi.
Pelantikan Basuki berjalan karena Presiden turun tangan
mengatasi masalah tersebut. Jalannya pemerintahan DKI Jakarta ternyata
ditentukan oleh dokumen rencana keuangan APBD, dan APBD melibatkan DPRD. Dari
situ tampak DPRD belum sepenuhnya legawa dengan kepemimpinan Basuki. Dapat
disimpulkan, ruang besar magnet tersebut diisi oleh berbagai elemen yang
"merasa" lebih besar daripada magnet pemerintahan nasional.
Belum selesainya APBD DKI ini kembali akan dimanfaatkan oleh
sejumlah pihak yang berkepentingan. Semua elemen tersebut "tidak
sadar" berada dalam instrumen-instrumen negara- bangsa dalam meraih
tujuan yang diinginkan bangsa Indonesia karena terjebak kepentingan sesaat.
Sudah saatnya bangsa Indonesia disadarkan. Kasus ini jadi barometer bangsa
Indonesia. Sepantasnya, tidak sekadar prosedur formal untuk menyelesaikan
ketidakefektifan hubungan antara Basuki dan DPRD DKI Jakarta.
Dukungan Megawati, Amien Rais, dan Prabowo dalam kasus ini mau
tidak mau diperlukan. Jika tidak, kasus ini dipastikan akan laten dan
berulang kelak di kemudian hari. Memalukan bangsa Indonesia jika pemerintahan
DKI Jakarta berjalan tersendat-sendat dalam manajemen kesehariannya.
Dampaknya terhadap roda perekonomian pun niscaya dapat terasa.
Tersendatnya Jakarta akan mengganggu pemerintahan nasional
karena berada tepat di pusat kepala layaknya seorang manusia. Pemerintahan
nasional dapat lumpuh, terlebih Jakarta mendapat tantangan keras soal banjir
dan kemacetan. Semoga soal ini dapat disikapi dengan arif oleh berbagai pihak
yang berkepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar