Refleksi Konflik di Timur Tengah
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Program
Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 08 April 2015
Kawasan Timur Tengah mendapat perhatian dunia dalam beberapa
pekan terakhir. Peristiwa pertama yang mengawali kejutan politik dari kawasan
itu di tahun 2015 adalah kudeta yang dilakukan oleh pasukan Houthi terhadap
Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Peristiwa itu kemudian membawa negara-negara Arab turut campur
dan berbalik menyerang pemberontak Houthi di Yaman. Serangan bersama itu juga
disinyalir sebagai balasan atas bantuan Iran kepada pemberontak Houthi yang
dilakukan pada awal-awal serangan.
Beberapa pesawat yang diduga berasal dari Iran, tertangkap
melintasi dan memberikan bantuan serangan udara ke wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Presiden Yaman. Peristiwa kedua yang juga penting adalah
tercapainya kesepakatan antara P5+ 1 (yakni lima negara anggota tetap Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa: AS, Rusia, China, Inggris, Prancis
ditambah Jerman) dengan pemerintah Iran.
Walaupun masing-masing pihak menyatakan yang disepakati tersebut
adalah outline (garis besar) dan bukannya agreement (perjanjian) karena
kesepakatan tersebut terbilang masih jauh dari harapan masing-masing pihak,
setidaknya kesepakatan itu dapat dijadikan titik tolak untuk masuk ke dalam
isu-isu lain yang lebih strategis.
Beberapa isu yang telah dinegosiasikan antara P5 + 1 dan Iran
antara lain berkurangnya fasilitas pengayaan nuklir Iran dan kemampuannya
untuk meningkatkan kualitas teknologi tersebut dalam kurun waktu 15 tahunan.
Di sisi lain, Iran menunggu Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mencabut
sanksi ekonomi atas Iran.
Selain dua peristiwa tersebut, ISIS juga mengalami popularitas
cukup tinggi. Tidak hanya di Indonesia, ideologi ISIS juga menarik
orang-orang muda di Eropa. Survei yang dilakukan oleh ICM untuk Kantor Berita
Russian Rossiya Segodnya pada Agustus tahun lalu menyebutkan 16% dari anak
muda Prancis menyokong ideologi ISIS.
Data itu menunjukkan ISIS semakin menyaingi Al-Qaeda yang
umumnya hanya disokong oleh beberapa kelompok kuat di Pakistan dan
Afghanistan. Kejadian-kejadian tersebut ada yang membawa kabar baik dan ada
juga kabar buruk. Hal itu membuat kita menjadi sulit untuk menyimpulkan
apakah sedang ada kecenderungan terjadinya perdamaian di Timur Tengah, atau
justru situasi semakin memburuk, atau status quo (tidak maju dan tidak
mundur).
Namun, pernyataan yang paling mengerikan adalah apabila kita
mulai mempercayai bahwa kawasan tersebut tidak akan pernah damai dan mereka
hidup dari pertikaian. Pertanyaan yang sering muncul di benak publik, apakah
konflik dan ketegangan tersebut dilatarbelakangi oleh persaingan ideologi
Sunni dan Syiah?
Media Al-Jazeera dalam konteks konflik di Yaman menyimpulkan
konflik yang terjadi di Yaman adalah konflik berkepanjangan antara kelompok
Syiah yang dipimpin oleh Abdulmalik al-Houthi melawan Presiden Abd Rabbu Mansour
Hadi dari kelompok Sunni. Kelompok Hadi ini didukung oleh kelompok Partai
Islah Sunni.
Konflik ini dianggap sebagai buntut penggulingan mantan Presiden
Ali Abdul Saleh yang telah memerintah Yaman sejak 1990 seiring protes publik
pada masa Arab Springs tahun 2011. Tidak jelas juga dasar simpulan dari media
tersebut karena mereka tidak menggali lebih dalam perihal konflik horizontal
tersebut.
Masalahnya, seperti yang terjadi di beberapa negara Arab lain,
transisi demokratis yang lahir dari gerakan Arab Springs memang tidak
dibimbing oleh semangat kebangsaan dan gagasan negara demokratis ideal. Hanya
beberapa negara yang berhasil melewati tahap yang kritis itu untuk berlalu
dari sistem pemerintahan yang otoriter menuju menjadi pemerintahan yang
demokratis.
Kita dapat menyebutkan sedikit di antaranya adalah Tunisia,
walaupun itu sempat ternodai dengan aksi penyanderaan kelompok teroris tiga
pekan lalu. Dalam kekosongan gagasan kebangsaan tersebut, politik identitas
masuk mengisi dan mempertegas perbedaan antarkelompok.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana politik identitas itu
menjadi pemicu atau yang memotivasi konflik? Ataukah politik identitas itu
hanya dijadikan sebagai alat bagi sejumlah kelompok? Agak sulit tampaknya
untuk mengurai kerumitan tersebut dan menentukan faktor apa yang menentukan.
Apa yang dapat kita lihat bahwa politik identitas dan kepentingan kelompok
adalah saling melengkapi dalam konteks di Timur Tengah.
Sejauh ini perjalanan sejarah transisi politik di negara-negara
Arab yang kita pahami dari gerakan Arab Springs adalah dimotivasi oleh
perubahan dan gagasan yang sekuler dan bukan dari gagasan yang sektarian.
Masyarakat menghendaki berakhirnya pemerintahan otoriter yang telah menguasai
negara selama lebih dari 20 atau 30 tahun.
Pemerintahan yang dibayangkan oleh gerakan masyarakat sipil pada
saat itu adalah sebuah pemerintahan demokratis, dimana setiap warga negara
memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih. Ada kesadaran
sebetulnya pada masa tersebut bahwa persaingan antarsuku untuk merebut
kekuasaan adalah kesalahan yang harus dihindari.
Hal yang menarik kemudian adalah perjalanan fokus konflik yang
berubah di Timur Tengah: dari konflik antara pemerintahan otoriter terhadap
gerakan masyarakat prodemokrasi menjadi konflik antara kelompok dan suku, dan
kemudian terakhir menjelma menjadi konflik antara Sunni dan Syiah.
Konflik itu mungkin sudah ada namun menguat dan menurun seiring
dengan konflikkonflik internal yang ada di setiap negara. Kita masih ingat
bagaimana delapan negara yang saat ini berada di bawah Operation Decisive
Storm untuk menyerang Houtis (Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait,
Yordania, Mesir, Maroko, dan Sudan) pernah berbeda pendapat tentang krisis
yang terjadi di Mesir terkait dengan berkuasanya Jenderal Sisi dan
dilarangnya organisasi Persaudaraan Muslimin di Mesir.
Pada saat itu, legitimasi Jenderal Sisi dipertanyakan oleh
negara-negara sekutunya. Demikian pula ketika menanggapi posisi organisasi
lain seperti Hammas. Dari jauh, yang dapat kita simpulkan, konflik yang
terjadi di dalam negeri negara-negara di Timur Tengah dapat menarik
intervensi negara lain baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Negara-negara tersebut sulit menahan diri untuk tidak mencampuri
urusan dalam negeri negara lain. Hal ini tidak terbatas hanya kepada
negaranegara Arab. Israel juga merasa mereka harus turut campur walaupun
mesti beraliansi dengan negara-negara Arab lain untuk menghadapi Iran.
Di sini kita menilai pentingnya norma dan etika dalam hubungan
internasional. Norma dan etika bukan sesuatu yang mengikat seperti konvensi
namun menjadi landasan dalam berkomunikasi dengan negaranegara lain. Norma
dan etika dapat menjadi jalan keluar dari rasa curiga yang biasanya menjadi
dasar interpretasi dalam menganalisa fakta di lapangan.
Apakah norma dan etika ini benar-benar hilang di Timur Tengah?
Tampaknya tidak. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara Israel dan
beberapa negara Arab lain seperti Yordania, Mesir, dan bahkan Arab Saudi. Ada
sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa tidak mungkin di antara mereka akan
saling serang, apalagi dalam konteks menghadapi Iran.
Pada hubungan inilah sering kali para analis menganggap bahwa sebetulnya yang terjadi bukanlah konflik sekterian, tetapi konflik untuk menjaga status quo kekuasaan yang selama ini berkuasa di Timur Tengah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar