Rabu, 15 April 2015

Mengapa Politisi tidak Jera Korupsi?

Mengapa Politisi tidak Jera Korupsi?

   Burhanuddin Muhtadi  ;  Dosen FISIP UIN Jakarta; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia; Kandidat PhD Australian National University (ANU)
MEDIA INDONESIA, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan yang kali ini menyeret anggota DPR Fraksi PDIP Adriansyah, yang diduga terkait dengan proses pemberian izin tambang. Penangkapan Adriyansah yang terjadi pada saat Kongres PDIP di Bali tersebut menambah daftar panjang politisi yang terjerat kasus korupsi. Tempo (23 September 2014) mencatat hingga 2014 sebanyak 466 politikus sudah dipidana dalam kasus korupsi. PDIP menempati juara pertama dengan mengirimkan 157 kader ke jeruji penjara karena kasus korupsi, disusul Golkar 113 kader, Demokrat 49 kader, PAN 41 kader, PPP 22 kader, Hanura 13 kader, dan PKS 4 kader. Meski belum semuanya berkeputusan tetap, data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2014 menyebutkan terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004-2014. 

Pertanyaan yang kemudian mengemuka ialah mengapa politisi tak kunjung jera melakukan korupsi? Apakah korupsi itu telanjur menjadi cacat bawaan politisi? Setidaknya ada tiga jawaban atas pertanyaan sulit ini. Pertama, pendekatan kultural (Banfield 1958). Korupsi akan terus langgeng karena bertumpu di atas fondasi norma sosial yang menekankan resiprokalitas dan loyalitas pada klan atau kelompok. Dalam teori negara patrimonial, elite politik, termasuk anggota DPR, ialah sumber patronase utama untuk mengakses anggaran publik. Selama cara pikir kita masih bergantung pada mindset kerajaan, bukan res publika (bahasa Latin yang berarti `urusan publik'), kekuasaan akan mengalami personalisasi dan menjadi `properti eksklusif' pejabat yang rentan dikorupsi.

Kedua, pendekatan revisionis yang lebih `empatik' dalam melihat korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan ini terjadi sebagai harga yang harus dibayar untuk mencapai modernisasi (Scott 1972). Pada tahap pembangunan, menurut mazhab revisionis, korupsi kadang bisa ditoleransi dalam rangka mengakumulasi modal di tengah masalah inefisiensi birokrasi (Huntington 1968).

Ketiga, mazhab institusi yang menjelaskan korupsi akan selamanya menjadi bahaya laten jika proses pelembagaan politik dan sistem kepartaian belum terjadi. Ketiga pendekatan tersebut belum sepenuhnya bisa menjawab pertanyaan klasik mengapa politisi selalu tergoda korupsi. Faktanya, di negara- negara maju yang secara ekonomi sudah mapan, secara kultural juga tidak terjangkiti pola patron-klien yang menyuburkan korupsi dan institusionalisasi politiknya berjalan baik, tapi kejahatan korupsi toh masih terjadi. Memang kadar penyakitnya tidak seendemik di negara-negara berkembang, tapi in deks korupsi di ne gara-negara Eropa mengalami peningkatan (MacDonald & Majeed 2009).

Subsidi partai

Belakangan muncul dua penjelasan yang cukup mainstream di Indonesia mengapa korupsi tak kunjung berhenti. Pertama, argumen populis yang menyebutkan bahwa korupsi menjadi instrumen untuk pembiayaan partai politik dan sistem kampanye yang makin mahal. Pendekatan instrumentalis tersebut mengandaikan seolaholah tidak ada rezim subsidi partai sama sekali. Padahal, faktanya kita sudah menyubsidi partai politik sejak lama meski dalam jumlah yang masih terbatas. Ambang batas sumbangan perseorangan atau perusahaan bagi partai politik juga sudah dinaikkan.Wacana subsidi Rp1 triliun per tahun juga sudah didengung-dengungkan, tapi nyatanya syahwat korupsi kaum politisi tak juga mampu direm.

Kedua, kaum moralis seolah menemukan momentum dengan menyebut korupsi terjadi karena banyak politikus yang tak dibekali nilai-nilai agama. Mudah sekali mematahkan argumen tersebut dengan menyodorkan Luthfi Hasan Ishaaq dan Suryadharma Ali sebagai bukti betapa partai-partai Islam di Indonesia pun bagian dari masalah korupsi yang pelik di negeri ini. Fuad Amin yang notabene keturunan ulama besar NU pun harus menjadi pesakitan KPK dan hartanya yang ratusan miliar rupiah disita karena diduga hasil jarahan korupsi. Data Global Religion Monitor selalu menempatkan Indonesia dengan indeks religiositas tertinggi, tapi indeks korupsi kita menurut Transparency International juga tak kalah tinggi.

Lagi-lagi penjelasan di atas terkesan tidak memadai untuk menjelaskan maraknya korupsi yang melibatkan politisi. Jangan jangan ada penjelasan lain. Partai tidak peduli isu korupsi, bahkan dalam beberapa hal memerankan diri sebagai bungker perlindungan koruptor karena pemilih juga tidak lagi menjadikan masalah korupsi sebagai basis pilihan politik mereka. Publik tidak menghukum partai atau politisi korup sehingga hubungan antara korupsi dan elektabilitas partai kurang terlihat (Renno, 2007).

Efek minimal

Dalam konteks Indonesia, data Kemendagri pada 2014 menunjukkan PDIP partai paling korup, tapi tetap saja partai berlambang banteng gemuk itu menang. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan sebanyak 48 anggota legislatif periode sekarang tetap terpilih pada Pemilu 2014 meskipun tersangkut perkara korupsi. Dari 48 orang yang tersangkut korupsi, sebanyak 26 orang terpilih sebagai anggota DPRD kabupaten/kota madya, 17 anggota DPRD provinsi, dan 5 anggota DPR RI. Berdasarkan status hukum, sebanyak 32 orang berstatus tersangka korupsi, 15 orang terdakwa, dan 1 orang merupakan terpidana.

Secara sekilas argumen di atas masuk akal. Buat apa peduli isu korupsi jika tak punya efek elektoral terhadap partai? Namun, jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Isu korupsi punya efek minimal terhadap elektabilitas partai jika publik tak punya informasi memadai mengenai korupsi partai atau politisi yang bersangkutan. Jika pemilih memiliki informasi mengenai korup-tidaknya suatu partai atau politisi, efek elektoralnya akan terlihat (Figueiredo, et al 2013). Dalam survei nasional dengan teknik eksperimen di Brasil, Winters dan Weitz-Shapiro (2010) juga menemukan pola yang sama. Pemilih cenderung akan menolak politisi korup jika informasi tentang korupsi bisa disosialisasikan secara kredibel dan dijangkau publik secara lebih luas.

Dengan demikian, jangan cepat menyalahkan publik mengapa politisi korup bisa melenggang kangkung ke Senayan. Media massa dan kalangan civil society punya `misi suci' untuk menyosialisasikan daftar politisi busuk ke publik. Studi mutakhir yang menunjukkan publik menghukum partai atau politisi korup bisa terlihat dalam kasus Partai Demokrat. Publikasi media yang sedemikian masif selama tiga tahun terakhir sebelum Pemilu 2014 membuat suara Demokrat anjlok sekitar 50%. Namun, sebelumnya media terlihat kurang bergairah memberitakan kasus-kasus korupsi yang melibatkan PDIP atau Golkar. Atau jangan-jangan publik pilih kasih dalam memberikan hukuman terhadap partai atau politisi yang korup? Teori peran harapan (role expectation) bisa menjelaskan perbedaan sikap publik ini. Pemilih menjatuhkan hukuman elektoral yang jauh lebih pedih kepada Demokrat atau PKS ketimbang terhadap Golkar atau PDIP karena dua partai yang terakhir dianggap sudah biasa korup.

Ada juga variabel lain yang bermain di luar faktor tersebut. Popularitas Jokowi pada 2014 turut menyumbang elektabilitas partainya meski PDIP menempati juara korupsi. Tak terkecuali faktor politik uang yang terjadi secara masif pada Pemilu 2014 lalu.Sebagian politikus kemudian berpikir melakukan patgulipat korupsi untuk bisa melakukan investasi elektoral dan terpilih lagi melalui money politics. Jadi hubungan antara korupsi, politisi, dan pemilih tak bisa dinafikan. Pemilih punya kontribusi besar menghalau politisi korup menghuni degung parlemen jika mereka menolak praktik jual beli suara. Publik juga harus memberi hukuman sosial kepada politisi korup agar mereka jera. Zero tolerance terhadap korupsi bukan hanya ditunjukkan oleh penegak hukum, melainkan juga lapisan masyarakat agar siapa pun yang menduduki posisi terhormat sebagai pejabat publik tidak tergoda korupsi.

Urusan teknis

Namun, realitas di lapangan masih jauh panggang daripada api. Masyarakat terlihat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Pada saat yang sama, KPK seperti mengalami amputasi. Sebagian partai juga masih setia memajang politisi bermasalah sebagai pengurus terasnya. PDIP, misalnya, masih dengan percaya diri mendapuk dua terpidana korupsi dan satu tersangka korupsi di jajaran pengurus pusat hasil kongres terakhir.

Kejahatan korupsi makin lama makin turun derajatnya menjadi urusan teknis, bukan substantif. Teknis dalam arti politisi yang korup semata-mata dilihat karena dianggap kurang pintar mengelabui aparat hukum, kurang rapi dalam tertib administrasi dan akuntansi. Korupsi dimaknai semata sebagai urusan kesialan, menjadi arisan nasib politisi, bukan kejahatan luar biasa yang menzalimi hak publik.

Saat Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi inilah masa depan pemberantasan korupsi begitu suram. Perlu komitmen nasional yang dimulai pemimpin tertinggi agar agenda melawan korupsi kembali menemukan titik terang. Isu korupsi punya efek minimal terhadap elektabilitas partai jika publik tak punya informasi memadai mengenai korupsi partai atau politisi yang bersangkutan. Jika pemilih memiliki informasi mengenai korup tidaknya suatu partai atau politisi, efek elektoralnya akan terlihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar